Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tamrin Amal Tomagola
Sosiolog, dosen Pascasarjana UI, Dekan FISIP Universitas Terbuka
KEADAAN darurat di Maluku, khususnya Ambon, sesungguhnya telah dialami rakyat sejak 19 Januari 1999. Pemberlakuan keadaan darurat sipil sejak awal pekan lalu hanya bermakna bagi pihak aparat keamanan. Pihak militerlah yang terus mengeluh bahwa mereka membutuhkan payung hukum dan mereka tidak dapat bertindak leluasa tanpa melanggar hak asasi manusia bila keadaan darurat tidak diberlakukan. Alasan takut melanggar hak asasi ini sebetulnya cukup menggelikan karena kenyataannya, sejak konflik komunal ini pecah sampai dengan Mei 2000, menurut data Kontras dan Lerai, 70 persen korban meninggal dan luka-luka adalah akibat tembakan aparat keamanan. Sehingga, sangat tepat bila Munir dari Kontras mengatakan bahwa alasan takut melanggar hak asasi manusia ini adalah sekadar sinisme militer terhadap hak asasi itu sendiri.
Apakah keadaan darurat sipil ini akan berhasil menghentikan pembunuhan dan pertikaian di Maluku dan Maluku Utara? Kemungkinan ini menurut pendapat penulis kurang dari 50 persen. Dalam darurat sipil, gubernur yang mewakili presiden di daerah adalah pengendali tertinggi dan penanggung jawab. Ini berarti darurat sipil sangat mengandalkan wibawa dan efektivitas seorang gubernur dalam bertindak. Di sinilah letak batu sandungan itu karena di dua provinsi ini, wibawa dan dasar akseptabilitas gubernur beserta semua jajaran pemda sesungguhnya telah porak-poranda. Wibawa dan kepemimpinan efektif di lapangan ada di tangan para "kapitan lapangan" yang dikomandani oleh para pemimpin komunitas. Karena itu, setiap upaya yang mengandalkan wibawa dan efektivitas dari gubernur kecil kemungkinannya akan berhasil. Pemberlakuan darurat sipil ini bisa ditingkatkan keberhasilannya sampai di atas 50 persen bila beberapa syarat dipenuhi. Pertama, kosongkan lapangan dari semua pasukan tempur, baik Satuan Marinir, Brimob, Kostradterutama pasukan Brawijayamaupun Kopassus yang berseragam ataupun tidak. Sejumlah anggota militer yang tidak berseragam yang selama ini berbaur dengan kedua belah pihak yang bertikai sebaiknya segera dipanggil balik ke kesatuan masing-masing. Mereka yang sedang cuti pun dipanggil kembali. Pasukan Pattimura sebaiknya ditarik dari lapangan karena sudah jauh terkontaminasi. Yang boleh tinggal di lapangan hanya satuan polisi reguler milik Daerah Kepolisian Maluku. Kedua, alihkan komando militer di kedua provinsi ini kepada pimpinan TNI-AL di daerah tersebut karena AL akan lebih gesit menjelajahi kepulauan ini. Ketiga, bentuklah suatu kesatuan Special Force yang anggotanya terdiri dari prajurit-prajurit pilihan. Penyeleksian mereka dipimpin langsung oleh presiden dan Panglima TNI saja. Mereka hanya menerima perintah dari dan bertanggung-jawab langsung kepada Presiden RI. Mereka dipilih berdasarkan paling-kurang dua kriteria utama, yaitu mantap kesetiaannya kepada Republik, tidak partisan ke arah mana pun, dan terampil dalam kebolehan khusus. Mereka diberi seragam khusus yang baru dengan tanda pengenal berupa nomor saja. Tak ada pencantuman nama karena nama dapat langsung memberi tahu agama seseorang di Maluku. Dibutuhkan paling kurang 500 personel untuk ditempatkan di kedua provinsi ini. Turunkan mereka sesegera mungkin di Kota Madya Ambon dan Galela, Halmahera Utara, karena kedua tempat ini adalah titik-titik terpanas di wilayah ini. Keempat, begitu tiba, Special Force segera melakukan penyekatan daerah untuk mengisolasi kelompok yang bertikai dari kelompok lainnya. Aksi polisional ini kemudian diikuti sweeping penggeledahan dan penyitaan senjata tajam dan amunisi secara tegas, tanpa pandang bulu. Kelima, operasi pelumpuhan laskar tempur kedua belah pihak perlu diikuti dengan operasi eliminasi jaringan kekerasan (structure of violence). Proses eliminasi ini diawali dengan memblokir pengiriman dana dari luar Maluku. Penyandang dana dari kedua belah pihak harus dilacak dan ditangkap. Jaringan organisasi kekerasan ini mesti dilacak alur kerjanya sejak dari penggalangan dana, pengiriman senjata dan amunisi, sampai pengerahan laskar tempur tiap-tiap pihak. Para pemimpin komunitas dan kapitan lapangan tidak perlu ditangkap, sebaliknya harus dirangkul untuk nantinya menjadi simpul-simpul penguasaan lapangan guna memulihkan kehidupan normal. Keenam, kembalikan pengungsi muslim dan Nasrani ke blok-blok daerah yang telah relatif aman menurut KTP masing-masing. Tahap realokasi ini sebaiknya segera diikuti dengan perajutan jaringan sosial yang sudah demikian terkoyak. Perajutan kembali dapat dilakukan melalui mekanisme lembaga-lembaga adat dan agama yang ada, tanpa melupakan peranan penting para pemimpin komunitas dan kapitan lapangan. Usaha ini bisa menjadi landasan minimal kerja sama sosial, untuk membangun kembali desa-desa yang hancur. Pemerintah sebaiknya hanya menyediakan bahan bangunan yang diperlukan. Biarkan rakyat yang melakukan rehabilitasi fisik bangunan-bangunan fasilitas umum seperti rumah ibadah, pasar, sekolah, dan puskesmas. Ketujuh, penegakan hukum secara berangsur-angsur dapat dimulai dengan menyeret para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan. Hal ini perlu dilakukan terhadap mereka yang sudah dikenal masyarakat sebagai pembantai manusia. Upaya-upaya yang diusulkan agar keadaan darurat sipil dapat berhasil itu hanya dapat dilakukan bila, pertama, Presiden Abdurrahman menuntaskan pekerjaan rumahnya dengan membersihkan tangan-tangan kotor di tingkat Kodam Pattimura dan para letnan pelaksana di lapangan. Kedua, pers asing ataupun nasional diperbolehkan terus memantau kondisi lapangan. Ketiga, DPR daerah ataupun DPR RI tetap memantau dan meminta pertanggungjawaban gubernur dan Panglima TNI setiap bulan. Pengetatan kontrol ini mutlak dilakukan. Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO pendapat editorial cari-angin marginalia bahasa Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |