Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Pertumbuhan Ekonomi Tinggi: Mungkinkah?

2 Juli 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sjahrir
Pengamat ekonomi

SIMON Kuznets, pemenang Nobel ilmu ekonomi, menerangkan dengan jelas pertumbuhan ekonomi dalam bukunya Modern Economic Growth. Membaca buku Kuznets itu, yang merupakan buku wajib mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, kita memahami bahwa pertumbuhan ekonomi mengandung unsur-unsur tingkat pertumbuhan, struktur pertumbuhan, serta penyebaran pertumbuhan. Di Indonesia, kita lebih banyak sibuk membicarakan tingkat pertumbuhan, seolah-olah itulah satu-satunya yang perlu diketahui tentang pertumbuhan ekonomi. Meskipun pada 1970-an ada keinginan yang cukup deras untuk memahami faktor-faktor distribusi pendapatan, atau masalah pemenuhan kebutuhan pokok kawula suatu negara, atau perbandingan antarnegara, pada akhirnya tetap saja yang dibicarakan orang adalah tingkat pertumbuhan itu, bukan unsur yang lain.

Dalam kesempatan berbicara di depan kelompok wartawan yang disponsori Astaga.com, saya menjelaskan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi 2000 bisa lebih tinggi dari perkiraan 3-4 persen. Bahkan, 6 persen pun janganlah dianggap sebagai sesuatu yang mustahil. Ini serta-merta menimbulkan kesan bahwa saya tidak rigorous, atau mengada-ada, dan reaksi yang cukup luas muncul di mana-mana. Ini dapat dimengerti.

Artikel ini tidak dimaksudkan untuk membela diri dalam menghadapi reaksi publik itu, tapi untuk menjelaskan kenapa tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi itu mungkin. Sekaligus buat menjelaskan bahwa tingkat pertumbuhan itu sendiri bukanlah satu-satunya indikator yang harus dipahami dalam memperhatikan proses dan dinamika pertumbuhan ekononi di Indonesia.

Alasan untuk optimistis tentang tingkat pertumbuhan tahun 2000 dan tahun depan sangat masuk akal karena faktor-faktor sebagai berikut. Pertama, karena kontraksi yang amat tajam pada 1998, pertumbuhan untuk 1999 dan 2000 bertolak dari dataran yang amat rendah. Kontraksi sebesar 13,2 persen pada 1998, yang kemudian menjadi pertumbuhan positif di bawah 1 persen pada 1999, menyebabkan pertumbuhan 2000 yang 6 persen pun—kalau benar terjadi—masih menyebabkan kondisi ekonomi Indonesia lebih rendah secara berarti dari kondisi 1997. Belum lagi kalau dilihat ada masalah nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, yang berubah-ubah secara tajam, sehingga bila penggunaan denominasi dolar dipakai, perbaikan nilai tukar pada tahun 2000 sudah akan menyumbang secara tersendiri nilai pertumbuhan dalam dolar dibandingkan dengan tahun 1999.

Kedua, angka-angka ekspor empat bulan pertama tahun 2000 meningkat 35,9 persen dari tahun 1999 untuk periode yang sama. Kenaikan ini terjadi tidaklah semata-mata karena adanya kenaikan harga minyak bumi, tapi juga karena kenaikan volume dan nilai ekspor sektor nonmigas. Ekspor nonmigas naik 28,03 persen, sementara impor barang modal sebagai indikator mulai berlangsungnya investasi modal juga meningkat 21,36 persen.

Kecenderungan peningkatan ekspor dan perbaikan komposisi impor yang makin banyak barang modalnya, tampaknya, akan berkesinambungan dan menyebabkan sangat mungkinnya suatu export led growth yang berkolaborasi dengan consumer's led growth sejak awal 1999 menjadi makin menjadi-jadi pada enam bulan pertama tahun 2000. Kombinasi kedua-duanya itu akan sangat memungkinkan pertumbuhan yang dilihat dari sisi pengeluaran (growth dilihat dari expenditure side) menjadi tinggi karena besarnya faktor C (konsumsi), X (ekspor), dan G (pemerintah), yang meningkat karena berlangsungnya defisit fiskal yang lumayan besar. Sebagian defisit itu memang dipakai untuk kegiatan yang tidak langsung menggerakkan pertumbuhan seperti biaya bunga rekapitalisasi bank, tapi peran pemerintah sebagai sumber pertumbuhan tampaknya masih cukup berarti.

Ketiga, tumbuhnya new economy yang tidak bisa hanya diindikasikan oleh tumbuhnya kegiatan ekonomi internet, perusahaan dot.com, ataupun perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi. Penggunaan telepon genggam di Indonesia meningkat amat cepatnya. Bila dibandingkan dengan negara termaju seperti AS pun, penggunaan Indonesia sangat tinggi. Ini bisa dilihat dari rekor kenaikan permintaan terhadap kartu "prabayar" serta berbagai macam aktivitas yang tampak, antara lain, dalam peningkatan jumlah warnet, komputerisasi perusahaan-perusahaan besar, termasuk online aktivitas di bank, serta perdagangan di bursa efek.

Memang bisa saja dikatakan bahwa nilai absolutnya dianggap rendah, dan skeptisisme terhadap peran new economy wajar masih kuat. Tapi, dalam kenyataan yang kasatmata, kita juga melihat keberanian berbagai badan usaha swasta untuk mengeluarkan puluhan hingga ratusan miliar rupiah untuk memodernisasi usaha untuk efisiensi dengan penggunaan information technology dan komputer. Pendeknya, apa yang disebut e-activities mulai bangkit di Indonesia.

Namun, bila benar pertumbuhan bisa sampai di atas 4 persen, bahkan 6 persen, bisakah kita mengatakan bahwa Indonesia berada dalam right track dan recovery economy telah terjadi secara tuntas? Jawabannya adalah "belum". Suatu recovery economy yang ditimbulkan krisis keuangan tidak akan bisa membaik bila institut keuangannya belum recover.

Sampai kini, rekapitalisasi perbankan tak kunjung selesai, dan rekapitalisasi Bank Bali ditunda, sehingga menghasilkan kerugian berpuluh miliar rupiah setiap minggu. Restrukturisasi utang perusahaan-perusahaan terhadap BPPN, pada kreditor asing, ataupun kombinasi kedua-duanya, hingga sekarang pun belum menunjukkan perbaikan yang berarti. Padahal, hanya dengan keberhasilan rekapitalisasi perbankan dan restrukturisasi utang-utang itulah kita baru akan melihat mengalirnya kembali kredit, sehingga bank-bank tidak sekadar beroperasi pada tingkat treasury yang menyebabkan fungsi intermediasinya tak kunjung berjalan.

Karena itu, Kuznets benar. Pertumbuhan ekonomi harus diperhatikan tidak hanya pada level pertumbuhan, tapi juga pada struktur dan penyebarannya. Di kedua bidang itu, Indonesia masih kedodoran. Dan bila tidak diperbaiki, ini akan memakan tingkat pertumbuhan kembali, bahkan bukan tidak mungkin kita mengalami krisis yang lebih parah. Kenapa? Karena, bila perusahaan-perusahaan tak kunjung direstrukturisasi, kita akan menemukan penganggur-penganggur baru yang bertukar peran menjadi demonstran di jalan raya menggantikan para mahasiswa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum