ABORTUS dibicarakan di Universitas Al Azhar, Kairo. Itu sahsah saja, tidak ada yang melarang. Tidak hanya abortus, tetapi juga bayi tabung, kemungkinan rekayasa genetik sampai ke kloning. Pembicaraan itu dilakukan Desember lalu dalam pertemuan, yang membahas etika penelitian biomedis dan KB menurut Islam. Lalu, kapan suatu tindakan pengakhiran kehamilan dianggap sebagai abortus? Tentu, banyak yang mengira sejak saat pembuahan. Ternyata tidak. Pendapat para pakar kedokteran, yang kemudian disetujui para pakar syariah di Al Azhar, adalah sejak sel telur, yang sudah dibuahi itu, tertanam di rahim -- kira-kira 14 hari sesudah terjadi pembuahan. Sidang juga sepakat bahwa tidak semua abortus dilarang. Abortus untuk menolong jiwa ibu dapat disetujui. Di sinilah mulai terjadi perdebatan ramai. Seorang ahli sosiologi dari Al Azha,r yang didukung oleh seorang wanita sarjana hukum dari Jordania, mempertanyakan: bagaimana kalau wanita itu gila? Bagaimana kalau kehamilan itu terjadi akibat perkosaan? Peristiwa yang menakutkan dan menimbulkan tekanan batin sejak diperkosa akan terus dibawanya selama sembilan bulan. Ditambah selama anak itu hadir di depan matanya. Seorang ulama bersikeras bahwa kehamilan itu tetap tidak boleh digugurkan. Tetapi, dua orang ulama Al Azhar lainnya, dari Fakultas Syariah, mengakui: Apalah artinya hidup bagi wanita itu jika, selama hidup, jiwanya terganggu sehingga ia tidak mungkin melaksanakan tugasnya sebagai ibu yang baik? Betulkah Islam melarang pengguguran tanpa pandang bulu? Ternyata, belum ada kesepakatan. Bangladesh, misalnya, membolehkan pengguguran sampai kehamilan usia delapan minggu. Barangkali karena mereka menganut mazhab Hanafi. Mungkin juga Iran, yang Syiah menganut ucapan Ali bin Abi Thalib, yang berbasis Hadis Nabi menyatakan bahwa "bukanlah pembunuhan (pengguguran) jika janin belum selesai mengalami proses kejadian menjadi manusia (mendapat ruh), yang berlangsung selama 120 hari." Jadi, tampaknya yang melarang atau membolehkan bukan Islamnya, tetapi ajaraan imam yang dianut. Dalam pertemuan di Kairo itu, tidak ada saling mengecam atau menyalahkan. Masing-masing mengikuti ajaran yang mereka anut sehingga tidak terjadi saling mengafirkan. Dan tidak pula yang satu mendosakan yang lain. Pengertian adanya perbedaan ajaran itu membuat tidak seorang ulama pun mengatakan bahwa ialah yang berhak mewakili Islam, atau bahwa pandangan pribadinya adalah pandangan Islam yang paling benar. Kita di Indonesia pun mempunyai pandangan yang sama, yaitu jika dilakukan atas indikasi medis, terutama untuk menolong jiwa ibu, abortus tidak akan dituntut. Lalu, kalau memang ada abortus, yang dibolehkan dan ada yang tidak dibolehkan, bukankah sebaiknya diatur tentang mana yang boleh dan mana yang tidak, dengan indikator-indikator yang jelas dan obyektif? Agar kalau ada yang memerlukan secara sah dapat ditolong, dan kalau ada yang melalaikan dapat secara tegas pula ditindak. Demikian pula diatur di mana pertolongan itu boleh diberikan, serta bagaimana mengawasinya. Dengan apa sebaiknya hal itu diatur? Tentu dengan undang-undang yang diserahkan kepada negara masing-masing. Dan setuju atau tidak, itulah undang-undang tentang abortus. Dalam perdebatan di Kairo itu pun diakui bahwa masalah abortus bukanlah masalah hitam-putih yang berbatas tegas. Masih ada daerah yang kelabu, yang perlu dipilah-pilah kasus per kasus. Pada pertemuan itu, seorang wanita Mesir, yang juga alumnus Al Azhar, dengan berani mengajukan pertanyaan: apa sikap orang-orang, yang secara apriori menentang abortus, jika keluarganya sendiri mengalami musibah mendapatkan kehamilan yang tidak diinginkan? Katakanlah, misalnya, akibat perkosaan, atau akibat peristiwa yang membawa aib lainnya. Berani jamin bahwa ia pun secara diam-diam akan mendatangi dokter atau dukun merengek-rengek minta janinnya digugurkan. Tuduhan bahwa abortus hanya berkaitan dengan hubungan di luar nikah atau penyelewengan semacamnya, ternyata, tidak pula benar. Penelitian yang dilakukan oleh Budi Utomo di Indonesia, beberapa tahun lalu, menunjukkan bahwa sebagian besar (90%) dari yang menghendaki abortus adalah wanita yang masih hidup bersama suaminya. Tentunya, wanita-wanita itu juga mengetahui bahwa abortus, yang dilakukan secara gelap itu akan terasa sakit, membawa risiko infeksi, bahkan mati. Jadi, kalau mereka tetap nekat untuk memilih abortus tentulah karena ia tidak tahu lagi jalan keluar lain, untuk mengatasi kehamilan yang tidak diingininya itu. Salah atau benar, mereka itu perlu mendapat simpati dan perlu dicarikan alternatif penyelesaiannya jika tidak dibolehkan menggugurkan. Secara apriori mengutuk atau mendosakan mereka bukanlah penyelesaian dan bukan pula pertolongan. Lebih munafik lagi jika ada dokter yang di luar berteriak mengutuk tindakan pengguguran gelap, tetapi diam-diam di tempat prakteknya ia sendiri melakukannya. Teriakannya itu hanyalah untuk menutup agar tidak ada dokter lain yang merebut pasarnya. Ada hal yang agak mengejutkan bagi saya dalam mengikuti pertemuan di Kairo itu. Tidak seorang pun pembicara, termasuk Rektor Syariah dan Mufti Agung Al Azhar, yang mengawali pidatonya dengan ucapan "assalamualaikum". Untunglah, mereka berpidato di Mesir, dan bukan di Indonesia. Jadi, tidak ada seorang hadirin pun yang mengejeknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini