Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Ada Apa dengan Sastra Kita

28 Desember 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Budi Darma

KONGRES Bahasa Indonesia VIII diselenggarakan pada 14-17 Oktober yang lalu. Salah satu moto yang dipergunakan sederhana, yaitu "Sastra adalah Pencerminan Kepribadian Bangsa". Seorang teman yang sekarang melakukan studi di Malaysia bertanya: "Kalau memang moto itu benar, bagaimana pendapat Anda mengenai sastra wanita kita sekarang?" Keesokan harinya, seorang peserta lain mengajukan pertanyaan sama, lengkap dengan data dari berbagai sumber untuk menunjukkan "betapa jauh sastra wanita sekarang dari kepribadian bangsa kita yang sebenarnya".

Jiwa semua data: sastra mutakhir kita didominasi oleh wanita, dan sastra wanita itu sendiri didominasi oleh keberanian para sastrawannya dalam mendedah masalah seks dengan terang-terangan, yang menurut Helvy Tiana Rosa dalam salah satu bukunya, "hingga kita menangkapnya sebagai pornografi murahan". Kata-kata dan adegan yang dulu tabu benar-benar diberi kebebasan untuk berkelebat saenak-nya sendiri.

Saya bilang gejala ini terjadi di mana-mana, dan Indonesia hanyalah sebagian kecil dari "di mana-mana" itu. Di Inggris ada chick literature, di Beijing ada Jiu Dan, di Shanghai ada Wei Hui, dan lain-lain yang semuanya menganggap melepas keperawanan bukanlah pekerjaan sakral. Sinyalemen Helvy Tiana Rosa, "Para perempuan tersebut tidak lagi melihat lelaki sebagai lelaki, tapi 'mangsa' atau 'hidangan'," adalah salah satu gejala yang terjadi "di mana-mana" itu, kendati mungkin tiap-tiap bagian dari "di mana-mana" itu punya versi dan variasi sendiri-sendiri.

Sastra wanita kita tidak mungkin diisolasi dari sastra wanita global, sementara isu mengenai wanita sangat melekat dengan persoalan gender yang klasik: wanita dan laki-laki adalah dua kutub dikotomis. Kendati keduanya bisa bermesraan, mereka bisa juga berperilaku bagaikan kucing dan anjing, cakar-cakaran dan ingin saling mendominasi.

Perkembangan zaman telah membuka peluang kepada wanita untuk membuktikan dirinya sebagai gender yang patut diandalkan: pendidikan maju, karier melaju, dan semua front yang dulu hanya didominasi oleh laki-laki sebagian sudah menjadi milik wanita. Semua berawal dari kebebasan wanita, yang dulu boleh dibilang tidak ada.

Ironi bergerilya: kebebasan adalah awal dari kesadaran akan tidak adanya kebebasan dan tidak adanya keadilan. Sejarah kemerdekaan Indonesia mirip: makin banyak pemuda Indonesia yang memperoleh pendidikan tinggi pada zaman penjajahan dulu, makin tajam pulalah kesadaran mereka mengenai betapa rendah martabat bangsa kita. Penjajahan harus dikutuk.

Feminisme, sementara itu, dibagi menjadi beberapa kelompok, antara lain feminisme sosial. Apa pun yang terjadi, apakah wanita ikut menyumbang produksi atau tidak, apakah wanita maju atau tidak, satu hal akan terus berlaku: untuk selamanya, wanita dianggap sebagai warga kelas dua. Kesadaran feminisme sosial timbul, justru pada saat wanita sanggup membuktikan dirinya sebagai gender terhormat.

Keberadaan suatu community, menurut Carl Gustav Jung, tidak lepas dari keberadaan "ketidaksadaran bersama". Kita menyaksikan kor besar ketika MPRS mengangkat Sukarno menjadi presiden seumur hidup, dan ketika MPR untuk sekian kalinya mengangkat Soeharto sebagai presiden, yang semuanya adalah atas nama rakyat. Dengan penuh semangat Sukarno dielu-elukan, demikian pula Soeharto. Lalu ada kor besar lain, yaitu ketika mereka dijatuhkan: dengan penuh semangat, mereka dihujat.

Pengarang adalah community, dan sastra adalah buah "ketidaksadaran bersama". Eksplisit atau implisit, sastra mencerminkan situasi dan kondisi zamannya. Maka, para pengarang wanita pun mengadakan kor bersama. Lelaki menjadi "mangsa" atau "hidangan," karena lelaki adalah kutub dikotomi yang mesti ditaklukkan.

Sewaktu Djenar Maesa Ayu dan saya menerima penghargaan dari Kompas pada tanggal 20 Juni 2003, saya menyatakan, dalam hal-hal tertentu wanita pengarang telah menjadikan karya mereka semacam forum pengakuan pribadi. Sastra sebagai confessional world dengan pembaca sebagai confidant tidak lain merupakan refleksi hasrat "ketidaksadaran bersama" untuk menaklukkan lelaki.

Sastra wanita menjadi semakin fenomenal tidak lain karena situasi dan kondisi yang mendominasi kita semua, yaitu sastra koran. Bukan hanya kreativitas saja yang dikondisikan oleh koran, dan karena itu cerpen menjadi genre yang amat menonjol, tapi juga informasi dan diskusi mengenai sastra. Sebagian besar data untuk menunjukkan "betapa jauh sastra wanita sekarang dari kepribadian bangsa kita yang sebenarnya" juga berasal dari koran.

Ada apa dengan sastra, itulah jawabannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus