Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEMAKIN lama semakin sering meletik gesekan antara Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Bukan lagi soal beda pendapat, perselisihan dua pemimpin ini mulai mengarah pada friksi politik. Pemicunya dari urusan Budi Gunawan hingga soal Kantor Staf Presiden yang kini diributkan.
Friksi yang kurang elok itu berpotensi mengganggu kinerja pemerintah. Kubu Jusuf Kalla, juga partai politik penyokong Jokowi-JK, semestinya tidak perlu kelewat risau ihwal Kantor Staf Presiden yang dipimpin Luhut Binsar Panjaitan. Presiden Jokowi jelas memerlukan staf penyokong buat memastikan pelaksanaan program yang dijanjikan dalam kampanye lalu.
Keberadaan Kantor Staf Presiden yang dilandasi Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2015 tak akan menggerogoti wewenang para menteri dan Wakil Presiden. Lembaga ini hanya melakukan tugas yang bersifat koordinasi untuk membantu Presiden dan Wakil Presiden. Hubungan kerja kedua pemimpin ini juga bisa dijembatani lewat Kantor Staf. Luhut mesti memastikan kantornya berperan sesuai dengan aturan.
Bukan hanya soal Kantor Staf, gesekan juga muncul dalam soal Partai Golkar. Dikabarkan, keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly yang mengakui kepemimpinan Agung Laksono di Golkar lebih didorong oleh keinginan Wakil Presiden. Menteri Hukum bergerak setelah Kalla berhasil meyakinkan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri untuk menyokong keputusan itu. Jika benar spekulasi ini, betapa kacau proses pengambilan keputusan di Istana. Presiden Jokowi semestinya tidak tinggal diam dalam urusan yang sangat penting ini.
Tarik-menarik serupa telah terjadi saat kisruh pencalonan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai Kepala Kepolisian RI. Budi menghadapi penolakan publik setelah ia ditetapkan sebagai tersangka kasus suap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Tapi Jokowi cukup lama mengambil keputusan untuk membatalkan pelantikan Budi, yang sudah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat. Problem ini menjadi rumit karena Budi disokong penuh oleh Megawati.
Dalam situasi itu, Kalla tidak kompak dengan Jokowi. Ia berbeda pendapat soal penyelesaian kasus, dari keberadaan Tim Sembilan hingga pembatalan pelantikan Budi sebagai Kepala Polri. Atas nasihat sejumlah pendamping, Jokowi semula berniat menerbitkan keputusan presiden sebagai payung hukum bagi Tim Sembilan—lembaga ad hoc yang melibatkan sejumlah akademikus dan tokoh independen. Tujuannya agar Tim punya legalitas dalam bekerja. Kalla menolak penerbitan keputusan itu.
Pergulatan di Istana diperkirakan tak segera reda seiring dengan pengaruh Kalla yang akan semakin besar. Dengan adanya perubahan konstelasi di Golkar, ia memiliki basis politik yang lebih kuat. Bagaimanapun, ia masih memiliki akar di partai ini. Sebaliknya, pengaruh politik Jokowi di PDI Perjuangan justru merosot bersamaan dengan hubungannya yang renggang dengan Megawati.
Keadaan sekarang mirip era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (2004-2009)—bahkan bisa lebih buruk. Saat itu Kalla, yang juga Ketua Umum Golkar, terkesan sering berjalan sendiri tanpa berkoordinasi dengan Presiden. Dalam banyak hal, ia juga bertindak dan bereaksi lebih cepat ketimbang Presiden Yudhoyono. Kedua pemimpin bahkan terlihat berebut tampil di muka umum pada setiap peristiwa yang mengundang sorotan publik. Jangan heran bila pada periode kedua, Yudhoyono memilih berpasangan dengan Boediono.
Wakil Presiden Jusuf Kalla semestinya mengambil pelajaran dari pengalaman itu. Sekalipun Wakil Presiden cukup kuat secara politik, ia bukanlah pemegang tampuk kekuasaan. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang menganut sistem presidensial jelas dinyatakan: presiden memegang kekuasaan pemerintahan. Nah, dalam melaksanakan "kewajiban" (bukan kekuasaan), presiden dibantu oleh wakil presiden.
Dengan kata lain, tidak ada kekuasaan yang benar-benar dimiliki oleh wakil presiden. Seperti halnya menteri, ia hanya membantu presiden. Mirip ban serep, posisi wakil presiden penting karena ia akan menjadi pengganti bila presiden diberhentikan atau berhalangan tetap. Wakil Presiden Jusuf Kalla semestinya memahami aturan main ini. Bila Wakil Presiden "main serobot", jelas Presiden akan berada pada posisi serba salah dalam menghadapi suatu persoalan.
Presiden Jokowi pun seharusnya menyadari kekuasaannya yang amat besar. Ia mesti pandai-pandai meniti buih: mengelola pemerintahan seraya tak membiarkan kekuasaan digerogoti, baik oleh pasangan sendiri maupun oleh pihak luar. Pada akhirnya, Presidenlah yang bertanggung jawab atas kebijakan pemerintah. Presiden pula yang akan ditagih janjinya oleh orang ramai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo