Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Afrika dalam perubahan

Kondisi ekonomi etiopia mulai membaik sejak pemerintahan dikendalikan oleh teknokrat. pendapatan perkapitanya US$ 120 (Indonesia US$ 610). pembangunan di etiopia terhambat oleh politik, lingkungan, dan ekonomi

5 Maret 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA tahun lalu (1992) Addis Ababa, ibu kota Etiopia, masih dicengkeram kekalutan. Pemerintahan militer yang berkuasa sejak 1974 ditumbangkan oleh Front Demokrasi Revolusi Rakyat Etiopia (FDRRE). Presiden Etiopia melarikan diri ke Harare, Zimbabwe, angkatan bersenjatanya dibubarkan, dan suatu pemerintahan peralihan dibentuk oleh FDRRE yang terdiri dari Dewan Perwakilan dan Dewan Menteri. Dewan Perwakilan bertugas menyusun rancangan undang-undang dasar dan memulihkan kehidupan demokrasi serta mengungkapkan aspirasi berbagai suku, kelompok, dan agama. Dewan Menteri bertugas memulihkan stabilitas politik dan rehabilitasi ekonomi. Dalam masa dua tahun terakhir ini, Pemerintahan Peralihan yang dipimpin teknokrat berhasil memulihkan keamanan sehingga membuka peluang melaksanakan program rehabilitasi dan stabilisasi ekonomi. Kebijaksanaan ekonominya mirip dengan langkah-langkah yang diambil Indonesia pada awal Orde Baru, seperti anggaran belanja negara yang berimbang, nilai tukar mata uang "birr"-nya yang realistis, pengendalian laju inflasi, dekontrol dan deregulasi ekonomi, pemulihan mekanisme pasar, penjadwalan kembali pelunasan utang, pencarian bantuan luar negeri, dan penanaman modal asing. Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional telah membuka kantornya di Addis Ababa dan aktif membantu negeri ini. Suatu konsorsium Etiopia telah terbentuk dan sepakat membantunya. Dampak dari berbagai langkah ini sudah tampak di permukaan. Pasar mulai ramai berisikan barang, termasuk produk "Made in Indonesia", seperti sarung, tekstil, pakaian, bedak, sabun cuci B-29, dan barang kelontong lainnya. Angkutan bus Combi sudah mulai berseliweran di kota. Dan di pinggir jalan bermunculan kedai-kedai minuman, penjual buah-buahan, dan kegiatan sektor informal lainnya. Etiopia adalah contoh negara Afrika yang selama berabad- abad menderita kepemimpinan penguasa yang tak berorientasi pada pembangunan. Semula Etiopia dipimpin dinasti maharaja yang dikisahkan berasal dari keturunan Raja Solomon dan Ratu Sheba, yang kemudian digulingkan oleh rezim militer yang me merintah sejak 1974. Dalam masa 1974-1991, Etiopia terbenam dalam perang saudara yang menelan praktis sebagian besar pe nerimaan negara. Perawatan infrastruktur, jaringan jalan, jembatan, listrik, fasilitas pendidikan, dan kesehatan tertinggal. Sekarang, Etiopia dikenal sebagai negara termiskin ketiga di dunia dengan pendapatan per jiwa sebesar US$ 120 (ban dingkan Indonesia sebesar US$ 610). Sistem ekonomi yang dianut rezim militer di masa lalu, ekonomi serbanegara dengan kontrol yang ketat, ditinggalkan. Sekarang, ditempuh kebijak sanaan baru dengan mekanisme pasar. Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional mendorong dilaksanakannya Kebijaksanaan Penyesuaian Struktural, melepaskan kontrol negara dan menyerahkannya ke mekanisme pasar. Perkembangan Etiopia sekarang ini mencerminkan permasalahan pembangunan yang umumnya terdapat di banyak negara Afrika. Tahun delapan puluhan dikenal sebagai "dasawarsa yang merugikan Afrika", karena pertumbuhan rata-rata pendapatannya hanya naik 0,4% setahun sedangkan penduduk bertambah 3% setahun. Sehingga pendapatan per jiwa turun 2,6% setahun. Sekarang selama 1990-1993 laju pertumbuhan ekonominya sedikit membaik, rata-rata 1,5% setahun. Namun, karena laju pertumbuhan penduduk masih 3%, pendapatan perjiwa masih turun. Banyak faktor yang menghambat pembangunan Benua Afrika ini. Pertama, faktor lingkungan yang sering tak ramah bagi pembangunan pertanian. Musim kemarau yang kering, kondisi lahan yang miskin zat hara dan mudah menjadi gurun pasir, persediaan air permukaan atau tanah yang terbatas. Kedua adalah faktor sosial-politik. Sebagai warisan penjajah dari aneka negara, seperti Prancis, Inggris, Portugal, dan Italia, batas negara ditarik menurut wilayah kekuasaan penjajah. Batas negara tak sesuai dengan batasan yang dihuni suku-suku yang banyak terdapat di Afrika. Akibatnya, solidaritas kepada negara dikalahkan oleh solidaritas kepada suku. Karena itu, tidaklah mengherankan apabila dalam masa 1960-1993 Afrika mengalami 20 perang saudara yang terbuka. Sekarang pun masih berkecamuk sengketa di Somalia, Liberia, Sudan, Angola, dan Sierra Leone. Ketegangan politik mengakibatkan teralihkannya alokasi anggaran ke pengembangan militer. Ketiga adalah faktor ekonomi yang belum mampu melepas kan rakyatnya dari perangkap keterbelakangan. Landasan ekonomi kebanyakan negara Afrika adalah sempit dan bertumpu pada satu-dua produk pertanian dan pertambangan seperti kopi, cokelat, minyak, dan tembaga. Produk-produk ini diekspor sebagai bahan mentah, sementara harga produk-produk ini cenderung menurun dan utang luar negeri membengkak. Keadaan seperti ini tak merangsang masuknya investasi modal asing. Tingkat tabungan dalam negeri rendah, pemungutan pajak sedikit, sementara pengeluaran -- terutama untuk membiayai angkatan bersenjata -- tetap tinggi. Defisit anggaran belanja daninflasi meningkat. Nilai tukar mata uang tak realistis sehingga terjadilah penyelundupan dan larinya modal ke luar negeri. Jadi, dari mana perbaikan harus dimulai? Lebih dahulu Afrika harus membereskan rumah tangganya sendiri, menghentikan pertikaian di dalam negeri. Stabilisasi politik harus ditegakkan sebagai syarat mutlak bagi pembangunan. Sangatlah menarik bahwa Organisasi Persatuan Afrika telah menggalang kesepakatan antara para pemimpin Afrika untuk membentuk kelompok pendamai. Mereka membantu Sekjen Organisasi Persatuan Afrika mengusahakan pencegahan, pengendalian, dan manajemen konflik. Langkah berikut adalah menggalang usaha rehabilitasi dan stabilisasi ekonomi. Maka, sangatlah menarik usaha para menteri keuangan Afrika yang berkumpul pada tanggal 1-2 Maret 1994 ini di Libreville, Gabon, untuk membentuk Dana Moneter Afrika sebagai pelengkap dari Bank Pembangunan Afrika yang sudah ada. Di samping ikhtiar para pemimpin Afrika memecahkan permasalahannya sendiri, tak kurang penting adalah peranan Gerakan Nonblok untuk mendorong kerja sama Selatan-Selatan, membantu pembangunan Afrika terutama bidang pertanian, kependudukan, dan kerja sama ekonomi makro. *)Pengajar pada Fakultas Ekonomi UI, yang Februari lalu mengunjungi Afrika

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus