Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INSIDEN Tolikara—menewaskan satu orang dan melukai sebelas lainnya—menunjukkan kegagalan pemerintah dan pemimpin agama mencegah konflik antarumat beragama. Rusuh itu melengkapi sejumlah aksi intoleransi yang selama ini terjadi di Tanah Air: serangan kepada pemeluk Ahmadiyah dan Syiah, juga perusakan gereja dalam beberapa tahun terakhir.
Amuk terjadi ketika sekelompok pemuda Gereja Injili di Indonesia (GIDI) menyerang umat Islam yang tengah menunaikan salat Id di Karubaga, Kabupaten Tolikara, Papua, pada 17 Juli lalu. Kerusuhan meledak setelah polisi melancarkan tembakan peringatan. Seperti rumput kering tersulut api, amuk massa GIDI kian menyala. Ada yang membakar kios, dan merambat ke masjid di dekat lokasi salat.
Ketidaksigapan aparat menangani konflik ini patut dipertanyakan. Tak mampunya badan intelijen mengendus amuk menunjukkan aparat lalai mengantisipasi. Investigasi menyeluruh sepatutnya dilakukan oleh tim independen yang dipercaya publik. Keterlibatan lembaga seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia layak diapresiasi.
Investigasi hendaknya menyisir hingga ke pangkal masalah. Insiden mesti ditelisik dari detik ke detik agar fakta bisa dipisahkan dari fiksi dan "bumbu-bumbu". Latar belakang radikalisme mesti diungkap—misalnya kaitan rusuh dengan kecemburuan ekonomi penduduk lokal terhadap pendatang. Investigasi juga mesti dapat memastikan kemungkinan kaitan rusuh dengan ide separatisme Papua merdeka.
Yang juga tak boleh luput dari investigasi adalah sinyalemen bahwa insiden Tolikara itu dipicu surat edaran GIDI Tolikara yang diteken ketua Nayus Wenda dan sekretaris Marthen Jingga pada 11 Juli. Edaran itu melarang muslim melakukan peribadatan di lapangan terbuka dan menggunakan pengeras suara serta berisi perintah agar ibadah cukup dilakukan di musala atau ruangan tertutup. Bertepatan dengan Hari Raya lalu, diselenggarakan Seminar dan Kebaktian Kebangunan Rohani Injili Pemuda Tingkat Pusat bertaraf internasional. Seminar ini mengundang 2.500 peserta termasuk dari Belanda, Amerika Serikat, Papua Nugini, Palau (kepulauan di Samudra Pasifik), dan Israel. Surat edaran itu juga melarang muslimat memakai jilbab.
Larangan beribadah jelas tak bisa dibiarkan. Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 jelas menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu. Jaminan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan ini bersifat mutlak dan tidak boleh dikurangi secuil pun.
Melarang atau mempersulit warga beribadah—di Tolikara atau di tempat lain seperti di Gereja Yasmin Bogor, yang hingga kini tak boleh beroperasi—adalah pelanggaran terhadap konstitusi. Pemerintah sepatutnya menegakkan aturan: mereka yang bersalah harus dihukum.
Pemerintah terkesan gagap menghadapi rusuh Tolikara. Kegiatan bagi-bagi Al-Quran yang dilakukan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo di Tolikara tidak keliru meski terkesan seremonial dan tak menyentuh akar persoalan.
Yang patut diapresiasi justru upaya rekonsiliasi yang digagas masyarakat setempat. Jabat tangan antara pemimpin GIDI Tolikara yang diwakili Ketua Klasis Toli, Pendeta Yunus Wenda, dan H. Ali Muktar, yang mewakili umat Islam, merupakan aksi positif yang diharapkan mampu mengendurkan ketegangan.
Gerakan menggalang dana pembangunan kembali masjid dan kios-kios di Tolikara yang dipelopori sejumlah tokoh, seperti aktor Pandji Pragiwaksono, dan beberapa organisasi Islam menunjukkan bahwa publik terkadang bekerja lebih cepat ketimbang birokrasi.
Pemerintah harus bekerja ekstrakeras. Radikalisme agama harus dipangkas sejak masih berwujud kecambah. Doktrin yang mengajarkan umat beragama yang satu patut membenci penganut agama lain harus dieliminasi sejak awal.
Di Papua, penghargaan terhadap pluralisme harus dipadukan dengan pembangunan ekonomi yang dapat menjembatani kesenjangan ekonomi antara penduduk lokal dan pendatang. Umumnya pendatang di Papua berasal dari Bugis, Buton, dan Makassar, yang bekerja sebagai pedagang dan beragama Islam.
Damai harus dipertahankan di Papua—juga wilayah Indonesia lainnya. Kerusuhan memang sudah berhenti. Tapi "api dalam sekam" konflik agama sebenarnya masih merambat dan bisa menyala kapan saja. Api itu tidak cuma ada di Tolikara, tapi juga di belahan lain Indonesia.
Apa yang terjadi di Tolikara merupakan pelajaran berharga. Kegagalan pemerintah dan tokoh setempat menjaga pluralisme agama tak boleh terulang. Aparat penegak hukum juga masih punya utang untuk melindungi semua kelompok dan menghukum mereka yang telah merusak jalan damai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo