Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Menggugat Komite Sia-sia

Rencana pembentukan Komite Rekonsiliasi ditentang korban dan organisasi hak asasi manusia. Cenderung menghindari proses yudisial.

27 Juli 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RENCANA pembentukan komite untuk kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang diumumkan Kejaksaan Agung beberapa pekan lalu, meski memiliki motivasi baik, mengandung problem serius. Komite ini akan mengalami banyak sandungan karena beberapa hal.

Salah satu sandungannya, dasar hukum yang melandasi komite ini sudah dihapus. Pada Desember 2006, Mahkamah Konstitusi membatalkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan undang-undang itu justru mempersulit upaya rekonsiliasi karena perlunya amnesti dari presiden jika pelaku dan korban sudah melakukan perdamaian. Undang-undang itu juga mensyaratkan pengungkapan kebenaran, pengakuan, dan pengampunan. Bila suatu kasus tidak terungkap kebenarannya, sulit mencapai rekonsiliasi.

Karena pemerintah menganggap pengesahan Undang-Undang KKR yang baru akan memakan waktu lama, mereka berencana mengeluarkan peraturan presiden, dan komite yang akan dinamakan Komite Rekonsiliasi ini akan bertanggung jawab langsung kepada presiden. Komite ini akan beranggotakan 15 orang, yang terdiri atas perwakilan korban, masyarakat, Komnas HAM, Kejaksaan Agung, serta purnawirawan TNI dan Polri. Adapun kasus yang akan ditangani adalah peristiwa 30 September 1965, penembakan misterius 1982-1985, kasus Talangsari 1989, penghilangan orang secara paksa 1997-1998, peristiwa Trisakti-Semanggi 1998, kerusuhan Mei 1998, dan kasus Wamena-Wasior 2003.

Problem selanjutnya dan yang terbesar adalah para korban, keluarga korban, serta organisasi seperti Komnas HAM dan Kontras sejak awal menentang pendekatan Kejaksaan Agung yang langsung ke tahap rekonsiliasi tanpa melalui pengungkapan fakta dan kebenaran. Lazimnya rekonsiliasi harus melalui lima tahap. Pertama, pelurusan dan pengungkapan fakta dan data pelanggaran, termasuk jumlah yang disiksa dan yang tewas. Kedua, pemerintah harus mengakui adanya korban pelanggaran hak asasi. Ketiga, pemerintah, diwakili presiden saat itu, meminta maaf secara resmi kepada korban. Keempat, pemerintah berjanji tak akan mengulangi pelanggaran hak asasi. Kelima, pemerintah wajib memulihkan nama korban dan keluarganya.

Ternyata Kejaksaan Agung berniat menempuh cara non-yuridis, tanpa persidangan pidana. Proses persidangan digantikan dengan pemulihan nama baik, ganti rugi (kompensasi), dan permintaan maaf kepada para korban, baik oleh negara maupun pelaku. Dengan menghilangkan tahap awal, yakni pelurusan serta pengungkapan fakta dan data pelanggaran, komite ini akan menghapus jalur yudisial. Artinya, semua pelaku tindak pidana bebas melenggang tanpa ganjaran. Komite semacam ini akan berimplikasi bahwa Indonesia membiarkan impunitas dan selamanya akan dikenal sebagai negara yang gagal menjunjung keadilan hak asasi.

Komite yang akan dibentuk ini tak boleh menghilangkan kata "Kebenaran", yang seharusnya menjadi bagian dari nama komite itu. Artinya, komite ini harus menempuh jalur yudisial dan mulai dari tahap awal, tahap terpenting kelima persyaratan itu: pengungkapan fakta. Memang untuk beberapa kasus, seperti peristiwa 1965, mungkin saja dokumen penting sudah tak bersisa. Tapi masih banyak pelaku dan saksi mata peristiwa ini yang masih hidup dan memiliki ingatan jernih.

Dengan melalui semua tahap pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi, kita sekaligus membentuk sejarah Indonesia yang lebih akurat dan tak hanya dari versi pemerintah (lama) yang berkuasa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus