Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tampaknya ada yang salah di dapur penggodokan kebijakan di negeri ini. Itulah yang terjadi ketika Presiden Joko Widodo memerintahkan Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri bersama Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Elvyn Masassya, 3 Juli 2015, merevisi bagian tertentu atas Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 tentang Jaminan Hari Tua (PP JHT). Padahal peraturan itu baru saja ditandatangani Presiden pada 30 Juni 2015.
Revisi ini adalah buah dari protes dan demonstrasi kaum pekerja yang mulai marak begitu mereka mengetahui isi peraturan pemerintah tersebut. Tuntutan buruh inilah yang kemudian menjadi substansi "arahan" Presiden untuk melakukan revisi.
Salah satu poin kebijakan pemerintah yang mengundang reaksi keras adalah soal batas waktu pencairan dana jaminan hari tua yang diperpanjang menjadi sepuluh tahun. Aturan sebelumnya menetapkan hanya lima tahun, dengan masa tunggu satu bulan. Inilah yang dipersoalkan. Pekerja menuntut agar dana tersebut bisa dicairkan sebulan setelah karyawan keluar dari tempatnya bekerja.
Poin lain yang juga dipersoalkan adalah besaran dana yang boleh dicairkan setelah 10 tahun kepesertaan. Dalam aturan baru, besaran itu hanya 10 persen dari saldo JHT. Pilihan lain bagi peserta adalah mengambil dana jaminan 30 persen untuk bantuan perumahan. Aturan itu ibarat rantai yang membelenggu pekerja untuk menggunakan haknya atas uang hasil keringat mereka.
Bukan hanya kali ini Presiden mengubah peraturan atau keputusan yang ditetapkannya. Sebelumnya, kontroversi muncul menyusul kelahiran Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2015 tentang Uang Muka Pembelian Kendaraan bagi Para Pejabat Tinggi Kementerian/Lembaga/Komisi. Setelah marak protes dan kontroversi yang menghebohkan, Presiden segera mencabut perpres tersebut, 6 Mei 2015. Masih ada lagi peraturan bermasalah, misalnya Perpres Nomor 190 Tahun 2014 tentang Penataan Tugas dan Fungsi Kabinet Kerja, yang dicabut dengan penerbitan perpres untuk setiap kementerian.
Kalau sudah begini, ada kesan rancangan PP atau perpres itu disiapkan terburu-buru. Ini mencerminkan kelemahan koordinasi antar-instansi, lembaga, dan tenaga ahli yang berkaitan dengan masalah yang hendak diatur lewat keputusan presiden. Akibatnya, draf PP atau perpres sampai ke meja Presiden belum sempurna, lalu bermasalah.
Perubahan-perubahan itu menunjukkan pemerintah mencoba aspiratif tapi juga reaktif alias tak berpikir jauh ke depan. Diakui atau tidak, pemerintah telah gagal menafsirkan desakan ini sebagai peringatan bahwa selama ini negara tidak hadir untuk memberikan jaminan sosial bagi warganya, sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi Indonesia pasal 34 ayat 2, yang menegaskan bahwa negara berkewajiban mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Selama ini Indonesia belum pernah mengimplementasikan konsep negara kesejahteraan dalam praktek jaminan sosial yang sesuai dengan UUD 1945 dan Pancasila.
Pasal 37 Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional menyebutkan pencairan dana JHT hanya bisa dilakukan jika peserta memasuki usia pensiun 56 tahun, meninggal, cacat total, atau meninggalkan Indonesia selama-lamanya. Namun harus selalu diingat bahwa pasal itu, dan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 tentang Jaminan Hari Tua yang tengah direvisi, harus tunduk pada ketetapan hukum di atasnya, yaitu konstitusi.
Sudah terlalu lama negara absen menerapkan Pasal 34 UUD 1945. Ayat 2 pasal ini jelas memerintahkan negara harus mengembangkan sistem jaminan sosial dan memberdayakan masyarakat yang lemah. Seharusnya semua undang-undang, apalagi peraturan presiden, dibuat dengan semangat itu, bukannya malah menyusahkan masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo