Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah mesti berusaha maksimal untuk membebaskan sandera.
Operasi pembebasan jangan sampai melakukan kekerasan terhadap warga sipil.
Kesalahan dalam operasi pembebasan berpotensi menambah panjang daftar pelanggaran HAM di Papua.
Penyanderaan pilot maskapai penerbangan Susi Air, Philip Mark Mehrtens, oleh kelompok Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) patut dikecam. Apa pun alasannya, penyanderaan terhadap warga sipil tidak bisa dibenarkan. Sudah semestinya pemerintah mengupayakan pembebasan Philip, sekaligus memastikan tidak ada lagi korban dalam konflik bersenjata di Papua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Philip, pilot berusia 37 tahun berkebangsaan Selandia Baru, masih ditawan TPNPB-OPM di Nduga, Papua Pegunungan, setelah mendaratkan pesawatnya di Lapangan Terbang Paro di kabupaten itu pada Selasa pagi, 7 Februari lalu. Pesawat Susi Air dengan kode registrasi PK-BVY yang ia terbangkan, dibakar. Juru bicara TPNPB-OPM, Sebby Sambom, menyebutkan sandera hanya akan dilepaskan jika pemerintah Selandia Baru menjadi fasilitator dalam mediasi untuk pengakuan kemerdekaan Papua. Tuntutan tersebut perlu direspons dengan kepala dingin agar Jakarta tidak salah langkah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah Indonesia memang mesti berusaha maksimal untuk membebaskan sandera. Namun upaya tersebut harus dilakukan dengan hati-hati dan mengedepankan pendekatan dialog. Pemerintah jangan sampai melakukan kekerasan, seperti sweeping dan menangkapi warga sipil, dalam mencari keberadaan Philip. Kesalahan dalam operasi pembebasan berpotensi menambah panjang daftar pelanggaran hak asasi manusia di Papua.
Dalam sejumlah kasus, operasi militer di Papua dilakukan dengan sembrono yang menyebabkan penduduk turut menjadi korban kekerasan. Hal itu tidak boleh terulang, karena perlindungan dan keselamatan warga sipil adalah prioritas dalam setiap operasi militer.
Memang penggunaan kekerasan dalam operasi militer sering kali tidak terhindarkan. Namun, jika kekerasan terpaksa tidak bisa dihindari, hal tersebut mesti dilakukan dengan terukur, tepat sasaran, dan dalam koridor yang legal sehingga dampak buruknya bagi penduduk yang tidak berdosa bisa dihindari. Sudah lama warga Papua menjadi pelanduk yang mati di tengah dalam konflik antara militer dan kelompok bersenjata.
Kita tahu bahwa ketidakadilan dan kekerasan yang terus berulang di Papua menjadi “bahan bakar” perlawanan sebagian orang Papua terhadap Jakarta. Operasi militer, yang kerap memperburuk situasi, menyuburkan antipati mereka. Operasi pembebasan sandera kali ini tidak boleh mengulangi kesalahan tersebut. Panglima TNI Laksamana Yudo Margono harus memastikan anak buahnya mengedepankan pendekatan humanis seperti yang ia janjikan pada saat awal memimpin TNI.
Pada Januari lalu, Presiden Joko Widodo mengakui adanya sejumlah pelanggaran HAM berat di masa lalu, termasuk kasus Wasior dan Wamena di Papua. Ini sebuah langkah maju. Namun pengakuan saja tidak akan cukup jika tidak diiringi dengan penegakan hukum, memberikan keadilan bagi para korban, serta menghentikan terulangnya pelanggaran tersebut.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo