Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Kepentingan Nasional dalam Agenda Perpajakan G20

Agenda perpajakan G20 dapat membantu Indonesia mempercepat usaha memperbesar ruang fiskal bagi pembangunan.

6 Juli 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • G20 ingin memperkuat integritas sistem perpajakan nasional di negara berkembang.

  • Agenda perpajakan internasional perlu digunakan untuk kepentingan nasional.

  • Dapat mencegah dana haram kabur ke luar negeri atau masuk dari negara lain.

Bonataon Maruli Timothy Vincent Simandjorang
Peneliti Pusat Riset Kebijakan Publik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerintah di seluruh dunia sangatlah mengandalkan sumber pendapatan negara dari pajak untuk membiayai pembangunan infrastruktur, layanan masyarakat, dan menjawab guncangan ekonomi. Sistem perpajakan yang adil akan memberikan perbedaan signifikan bagi pembangunan, terutama bagi negara-negara berpendapatan rendah, untuk menjamin haknya terhadap basis pajak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebagai forum utama dari negara-negara yang menghimpun sekitar 85 persen produk domestik bruto (PDB) dunia, kelompok negara G20 menekankan perlunya keterlibatan setiap anggotanya dalam penguatan hubungan antara agenda pembangunan dan ketahanan ekonomi. Ini dilakukan dengan mendorong mobilisasi sumber-sumber pendapatan dari dalam negeri (DRM), seperti perbaikan sistem perpajakan global serta melawan penggelapan dan penghindaran pajak.

G20 berkomitmen memperkuat integritas sistem perpajakan nasional di negara-negara berkembang. Hal ini mendukung tujuan G20 untuk memperkuat ketahanan ekonomi global terhadap krisis dan guncangan pada masa mendatang. Sistem perpajakan dalam negeri dan internasional yang efektif juga penting untuk memastikan negara-negara memiliki sumber pendapatan yang berkelanjutan dan dapat mendukung terciptanya tata kelola pemerintahan yang baik.

Untuk mewujudkannya, diperlukan respons yang terkoordinasi dan koheren di semua negara yang terlibat. Hal ini mendorong G20 menyusun agenda DRM tentang perpajakan dengan tiga elemen utama. Pertama, mengatasi tergerusnya basis penerimaan pajak dan perpindahan keuntungan dari suatu negara ke negara lain (BEPS) yang bertujuan menanggulangi masalah penghindaran pajak internasional dan mereformasi sistem perpajakan internasional melalui Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) pada 2014 serta mengimplementasikan 15 poin dari G20/OECD BEPS Action Plan pada 2015.

Kedua, pertukaran informasi keuangan secara otomatis (AEOI) yang bertujuan mendorong transparansi pajak internasional melalui Forum Global untuk Transparansi dan Pertukaran Informasi untuk Tujuan Perpajakan (GFTEITP) dalam mengembangkan standar pelaporan umum (CRS) untuk pelaksanaan AEOI antar-yurisdiksi. Ketiga, pajak dan pembangunan bertujuan mendukung implementasi DRM yang efektif di negara berkembang serta memastikan dapat terlibat dengan efektif dan memperoleh manfaat dari agenda perpajakan internasional yang didorong G20.

Kepentingan Nasional

Selama kurun waktu satu dekade terakhir, kinerja anggaran Indonesia terlihat baik dengan peningkatan pendapatan negara seiring dengan meningkatnya laju perekonomian nasional. Peningkatan pendapatan tersebut terutama didorong oleh peningkatan penerimaan di sektor pajak yang menyumbang lebih dari 70 persen pendapatan dalam negeri.

Namun realisasi penerimaan pajak masih di bawah potensi penerimaannya sehingga rasio cakupan pajak masih rendah, sebesar 10,4 persen dari PDB pada 2022. Nilai ini lebih rendah bila dibanding rata-rata penerimaan pajak di negara berkembang yang sebesar 17 persen dari PDB. Bahkan nilainya sangat jauh bila dibanding rata-rata tax to GDP ratio negara anggota OECD yang sebesar 34 persen dari PDB.

Perpajakan merupakan salah satu agenda prioritas Presiden Joko Widodo ketika menghadiri KTT G20 pada 2014. Secara khusus, Presiden ingin meningkatkan rasio pajak menjadi 16 persen dari PDB. Di hadapan para pemimpin negara G20, Presiden menyampaikan optimismenya dan berbagi pengalaman tentang peningkatan rasio pajak melalui perbaikan sistem perpajakan, termasuk transparansi serta sistem informasi dan teknologi. Jokowi juga berkomitmen untuk meningkatkan kerja sama internasional guna mencegah berbagai aktivitas ilegal perpajakan, baik di Indonesia maupun lintas negara (dana haram yang kabur ke luar negeri atau masuk dari negara lain).

Pemerintah juga berusaha mencegah pelarian uang ke negara “surga pajak” (tax haven). Salah satu upayanya adalah mengirim Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro ke Singapura pada Desember 2014. Singapura merupakan salah satu negara yang paling banyak menampung uang masyarakat Indonesia yang seharusnya menjadi hak Indonesia, yang nilainya diperkirakan mencapai Rp 3.000 triliun.

Langkah ke Depan

Dalam mengatasi masalah BEPS dan berpartisipasi dalam AEOI, negara berkembang serta negara berpendapatan rendah memiliki berbagai tingkat kapasitas untuk menghadapi beragam tantangan. Terdapat dua hal utama yang harus segera dibenahi dalam implementasi BEPS Action Plan dan AEOI. Pertama, kemampuan mengidentifikasi dan menjawab beragam hambatan dalam melakukan pertukaran informasi perpajakan. Kedua, penguatan kapasitas melalui serangkaian langkah praktis untuk menjamin setiap negara yang berpartisipasi memperoleh manfaat nyata dari agenda perpajakan internasional.

Upaya serius anggota G20, termasuk dukungan politik, diharapkan dapat menerapkan agenda perpajakan tersebut. Demikian juga dengan Indonesia, yang perlu membangun kapasitas kelembagaan, sumber daya manusia, infrastruktur, serta kebijakan yang holistik dan terintegrasi serta koordinasi yang solid dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), serta organisasi masyarakat sipil.

Bila nanti tidak dapat memberikan manfaat bagi negara berkembang, termasuk Indonesia, agenda G20 tersebut perlu ditinjau kembali. Indonesia sendiri tidak dapat bersandar hanya dari citra internasional sebagai anggota G20. Maka fokus utama Indonesia adalah manifestasi diplomasi dari kerja sama internasional untuk kepentingan nasional.

Pemerintah dapat memanfaatkan agenda perpajakan G20 tersebut untuk menjadi program percepatan (quick win) dalam usaha memperbesar ruang fiskal bagi pembangunan nasional yang berkelanjutan. Jangan sampai kita ketinggalan dari Filipina, yang bukan anggota G20 tapi sudah lebih dulu memanfaatkan agenda tersebut. Manila berhasil memulihkan hak pajak negara sebesar US$ 1 juta lebih hanya dari dua kasus melalui pertukaran informasi perpajakan dengan negara mitra (treaty partner) pada 2014.


PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak, foto profil, dan CV ringkas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Bonataon MT Vincent Simandjorang

Bonataon MT Vincent Simandjorang

Peneliti Pusat Riset Kebijakan Publik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus