Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Amarahnya Meluap

19 Desember 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

  • Putu Setia

    Karena protesnya tidak ditanggapi, amarahnya meluap, ia merusak kantor kepala desa itu.” Kalimat ini pernah muncul di berbagai koran dan majalah, termasuk di media ini. Kenapa amarah? Kenapa bukan marah? Rupanya, para wartawan sangat taat pada kamus. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) terbitan Balai Pustaka, kata amarah dirujuk ke marah. Saya sudah mengecek ke lebih dari lima kamus, termasuk kamus susunan W.J.S. Purwadarminta dan kamus kontemporernya Peter Salim. Isinya sama saja, kata amarah disamakan dengan marah, tanpa ada penjelasan sedikit pun.

    Dengan demikian, semua kamus tidak konsisten dalam pemakaian awalan ”a”. Sebab, kata amoral dalam KBBI diartikan tidak bermoral, asusila diartikan tidak susila. Dalam kamus Peter Salim, hampir sama, kata amoral diartikan tidak punya moral, tetapi dalam kamus ini kata asusila tidak muncul. Bahkan di kamus Purwadarminta, kata asusila dan amoral tidak ada sama sekali.

    Kenapa kata marah itu menjadi sangat istimewa sehingga bentukan baru, amarah, menjadi sama artinya? Apa dasar pemikiran itu?

    Kita memang tidak mengenal awalan ”a”. Ini pengaruh bahasa Sansker-ta. Awalan ”a” menjelaskan bahwa kata yang di belakangnya punya arti yang bertolak belakang. Seperti dalam kata amoral dan asusila, yang sudah muncul dalam KBBI. Namun, kata marah dan moral bukan dari Sanskerta. Moral berasal dari bahasa Latin yang berarti kebiasaan yang baik. Lawan katanya adalah immoral, namun kamus lebih condong memakai amoral, mengacu ke awalan ”a” versi Sanskerta. Adapun susila, bentukan itu adalah campuran dari Sanskerta dan Jawa Kuno (Kawi). Dalam Sanskerta, yang ada sila, yang berarti tingkah laku. Kata depan ”su” adalah khas Jawa Kuno, yang berarti ”baik”. Jadi, susila adalah tingkah laku yang baik.

    Ada beberapa kata Sanskerta yang sudah lazim dipakai di sini, baik yang sudah berbentuk ”a” maupun aslinya, namun belum masuk dalam kamus. Misalnya ahimsa, awidya, ananta, acintya. Himsa artinya menyakiti, ditambah ”a” menjadi ”tidak menyakiti”. Widya berarti pengetahuan, awidya menjadi tidak punya pengetahuan. Meski kata widya belum muncul dalam kamus, kata widyaiswara sudah muncul, yang diartikan sebagai guru, pendidik, atau pengajar. Ini tak salah, walaupun arti yang sebenarnya jika mengacu pada bahasa Sanskerta adalah seseorang yang memberikan ilmu pengetahuan kepada orang lain. Tidak harus orang itu berprofesi sebagai guru. Dalam kamus juga sudah ditemui kata widyawisata, yang artinya kunjungan untuk menambah ilmu pengetahuan.

    Mirip awalan ”a” adalah awalan ”nir”. ”Nir” selain berasal dari Sanskerta juga dipakai dalam bahasa Kawi. ”Nir” berarti berlawanan, tetapi tidak bertolak belakang. Sudah ada beberapa serapan dalam bahasa Indonesia untuk kata yang berawalan ”nir” ini, misalnya, nirlaba, nirmala, niraksara. Yayasan adalah lembaga nirlaba, tidak mencari untung. Tetapi bukan mencari rugi. Kalau ada yayasan yang mencari kerugian, lebih tetap disebut alaba, bukan nirlaba.

    Begitu pula kata wana, yang artinya hutan. Ditambah ”nir” menjadi nirwana. Apa artinya? Dalam kitab-kitab Hindu (baik yang berbahasa Sanskerta maupun Kawi), wana tidak berarti hutan secara kasatmata, tetapi seseorang yang menuju ke tempat sepi dan sunyi untuk melatih pengendalian diri, misalnya melakukan tapa, semadi, dan lain-lainnya, lalu meninggalkan hiruk-pikuk dunia. Nirwana menjadi sebaliknya, seseorang yang menuju ke tempat yang penuh hiburan. Secara salah kaprah, nirwana lalu diartikan surga, padahal konsep surga dalam Hindu tidaklah seperti yang dimaksudkan oleh istilah nirwana. KBBI terjebak dalam salah kaprah itu. Pemakaian kata nirwana yang tepat, ya, seperti Bakrie Nirwana Resort, kawasan wisata gemerlap di Bali, tempat orang bersenang-senang dan (mungkin) berjudi serta mabuk, yang jauh dari gambaran surga dalam Hindu.

    Bahasa Sanskerta maupun Kawi saat ini menjadi bahasa yang ”mati”, bukan lagi bahasa pergaulan. Ia banyak dipelajari karena berkaitan dengan agama Hindu. Karena serapannya dalam bahasa Indonesia cukup banyak—apalagi jika ditambah dengan nama-nama gedung—nanti akan saya sambung sorotan ini dengan penuh amarah (suka hati).

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus