Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Kabinet Besar Anggaran Besar

Para menteri kabinet Prabowo Subianto berlomba meminta tambahan anggaran. Dampak pemilihan pejabat yang tak kompeten.

21 Januari 2025 | 06.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: TEMPO/J. Prasongko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Dengan dalih tak bisa bekerja, para menteri Prabowo Subianto berlomba meminta tambahan anggaran.

  • Pembentukan kabinet besar membutuhkan anggaran besar yang membuat defisit APBN makin lebar.

  • Tak ada celah lain untuk mengongkosi kabinet selain menambah utang.

PRESIDEN Prabowo Subianto menuai dampak dari caranya mengelola negara secara amatiran. Mengutamakan kompensasi politik kepada para pendukungnya, Prabowo membentuk kabinet besar dan memilih para pembantunya yang tak kompeten. Pemecahan kementerian dan lembaga negara tanpa perencanaan berdampak pada apa yang disebut Prabowo sebagai "kebocoran anggaran".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menteri Hak Asasi Manusia Natalius Pigai paling awal meminta tambahan bujet Rp 20 triliun ketika Kabinet Merah Putih belum genap dua pekan pada Oktober 2024. Pejabat lain ikut-ikutan merajuk dengan dalih tak bisa bekerja dengan anggaran yang cekak. Di antaranya Kementerian Pekerjaan Umum meminta tambahan Rp 60 triliun untuk proyek Ibu Kota Nusantara serta Kementerian Koordinator Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan meminta Rp 325 miliar. Belakangan Badan Gizi Nasional juga mengajukan tambahan Rp 100 triliun untuk proyek makan bergizi gratis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Permintaan tambahan anggaran terjadi karena Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2025 dibuat pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo dengan tak menimbang perubahan kabinet dan program Prabowo. Ketidaksinkronan ini mencerminkan "keberlanjutan" pemerintahan Prabowo sesungguhnya rapuh meski mereka satu koalisi.

Amburadulnya pemerintahan di awal kepemimpinan Prabowo sudah diprediksi sejak awal ketika ia membentuk 48 kementerian, bertambah 14 kementerian dibanding pada era Jokowi. Penambahan nomenklatur berdampak pada pembengkakan jumlah gaji dan fasilitas, tak hanya untuk menteri serta wakilnya, tapi juga birokrasi secara keseluruhan.

Sejatinya Prabowo tahu tahun ini kebutuhan anggaran bakal besar. Dari pembayaran utang jatuh tempo hingga program-program utama, seperti penghiliran sumber daya alam, swasembada pangan, dan makan bergizi gratis, yang membutuhkan anggaran tak sedikit. Dengan begitu, membentuk kabinet besar sesungguhnya "bunuh diri" anggaran.

Kementerian yang dipecah ataupun baru mendapat anggaran minim, bahkan tak punya alokasi dana yang memadai untuk membiayai birokrasi apalagi program pemerintahan. Pemisahan atau penggabungan kementerian juga membutuhkan waktu adaptasi, termasuk perubahan alokasi anggaran dan tanggung jawab. Para menteri kini lebih sibuk membereskan urusan internal ketimbang tancap gas bekerja melayani urusan publik.

Prabowo sering mempropagandakan alasannya membentuk kabinet besar karena mengelola negara yang besar. Ketika memimpin rapat kabinet perdana, ia menyebutkan jumlah menteri yang banyak tak menjadi soal asalkan bisa mengelola anggaran secara efisien.

Ucapan Prabowo itu kini menjadi bumerang. Ketidakmampuannya mengelola kabinet membuat program-program utamanya terancam berantakan. Prabowo memerintahkan anak buahnya berhemat dengan mengurangi kegiatan seremonial dan perjalanan dinas.

Perintah Prabowo itu hanya bertahan satu setengah bulan. Penghematan hanya bisa memangkas Rp 3,6 triliun. Kini mereka kena tulah penghematan karena tak bisa berbuat apa-apa dengan bujet minim. Memasuki tahun anggaran baru, para menteri berlomba meminta tambahan anggaran untuk membiayai kegiatan operasional birokrasi, program kerja kementerian, dan membantu program prioritas Prabowo.

Manajemen kementerian yang amburadul makin menunjukkan bahwa Prabowo bukan seorang pemimpin yang cakap. Retorikanya hanya gimik karena tak tecermin dalam tindakan nyata mengelola kementerian yang besar. Jika urusan anggaran saja masih bermasalah, kerja kabinet tak akan maksimal sampai lima tahun ke depan.

Prabowo mungkin bisa menambah anggaran sesuai dengan permintaan para menterinya. Namun itu hanya bisa terjadi dengan menambah utang baru, setelah defisit dilonggarkan demi proyek makan siang gratis. Sebab, sumber penerimaan pajak makin seret akibat belum pulihnya ekonomi yang berdampak pada lesunya daya beli.

Kredibilitas pemerintahan Prabowo Subianto menurun akibat nafsu besar anggaran kurang ini. Cita-citanya menjadikan Indonesia sebagai "macan Asia" terdengar hanya auman yang makin sayup-sayup. 

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus