Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Angkatan Siber dan Represi Negara

Pembentukan angkatan siber sebagai matra TNI dapat membahayakan demokrasi dan meningkatkan represi negara.

25 Agustus 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Tempo/Imam Yunni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Gubernur Lemhannas Andi Widjajanto melontarkan gagasan tentang angkatan siber.

  • Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi mengubah lanskap gerakan sosial.

  • Selama ini negara menggunakan kewenangan sibernya untuk mengendalikan suara kritis rakyat.

Yuli Isnadi
Pengajar Digital Governance Fisipol UGM

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Koran Tempo edisi 21 Agustus 2023 menyoroti rencana pembentukan angkatan siber sebagai matra baru di Tentara Nasional Indonesia (TNI). Gagasan itu dilontarkan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Andi Widjajanto dalam sebuah seminar. Pernyataan tersebut sontak membuat heboh, terutama di kalangan aktivis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Banyak pihak yang mengkhawatirkan dampak buruk dari ide tersebut. Selama ini, institusi negara yang memiliki kewenangan mengontrol dan memata-matai aktivitas virtual publik cenderung menampilkan wajah represif negara. Amnesty International mencatat 90 kasus serangan siber terhadap 148 korban sepanjang Januari 2019 hingga Mei 2022. Sebagian besar korban tersebut adalah jurnalis, aktivis, akademikus, dan mahasiswa. Jika angkatan siber terwujud, tingkat represi negara justru membahayakan pertumbuhan demokrasi dan kebebasan sipil di negeri ini.

Saya punya pendapat serupa terhadap kekhawatiran itu. Dari sudut pandang tata kelola digital, demokrasi digital memiliki kelemahan fundamental yang belum ditemukan obatnya. Kelemahan inilah yang kerap dimanfaatkan negara dalam membungkam suara kritis rakyat.

Kelemahan Aksi Konektif

Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi mengubah lanskap gerakan sosial di dunia. Dulu gerakan sosial memiliki ciri kolektif, sekarang berubah menjadi konektif. Perbedaan di antara keduanya ada pada peran organisasi. Organisasi memiliki peran krusial pada model gerakan kolektif. Organisasi mengidentifikasi persoalan masyarakat, mendefinisikannya, merumuskan pihak yang disalahkan atau yang harus bertanggung jawab, menyusun rangkaian aksi, serta melakukan mobilisasi. Semua itu di bawah kendali organisasi gerakan sosial.

Sejak berkembangnya media sosial, ciri ini bertransformasi. Twitter, Facebook, dan Instagram menyingkirkan peran organisasi. Setiap orang kini mendefinisikan sendiri persoalan yang sedang dihadapi publik, merumuskan pihak yang bertanggung jawab, kemudian mendiskusikan dan menyusun rencana aksi secara egaliter di dunia maya. Keterlibatan mereka mewakili diri mereka sendiri, bukan organisasi tertentu. Kendali gerakan ada pada percakapan di antara warganet, bukan organisasi.

Model konektif ini membuat gerakan sosial berubah menjadi masif serta menyebar dengan cepat, tanpa batas ruang dan waktu. Siapa sangka aksi bakar diri pedagang kaki lima di Tunisia, misalnya, menyebabkan runtuhnya rezim otoriter di Mesir. Siapa mengira kekerasan remaja di Jakarta berimbas pada polemik anggaran di Kementerian Keuangan. Sifat gerakan ini cepat, masif, dan meledak.

Gerakan semacam itu tampak perkasa, tapi sesungguhnya memiliki kelemahan mendasar. Risiko merupakan hal terpenting dalam gerakan sosial dan di sini pula persoalannya. Pada gerakan kolektif, organisasilah yang menanggung risiko. Namun, pada model konektif, individulah yang harus menanggung risiko tersebut.

Sebagai contoh, dulu, ketika negara menangkap atau memanggil aktivis sosial perihal gerakan kritis, organisasi akan memberikan dukungan penuh, dari pengacara, penyusunan framing di media massa, hingga memobilisasi dukungan LSM dan tokoh publik. Namun, pada gerakan konektif, saat negara menangkap atau memanggil seseorang ihwal aktivitas gerakannya, amat jarang ada organisasi yang memberikan dukungan. Hal ini karena orang tersebut mewakili diri sendiri, tidak saling mengenal dengan anggota lain, dan menggunakan akun anonim.

Angkatan Siber

Kelemahan inilah yang kerap dimanfaatkan negara. Ketika gelombang demonstrasi meledak, negara mengirim sinyal ancaman terhadap warganet. Warganet, yang bergerak mewakili diri sendiri, menyadari risiko yang harus ditanggungnya sendiri. Maka, secara rasional, warganet menarik diri dari gerakan kritis tersebut.

Contohnya dalam gerakan #reformasidikorupsi dan #tolakomnibuslaw pada 2019 dan 2020. Dengan menganalisis data yang dirilis Drone Emprit (2019, 2020), saya menemukan penurunan aktivitas terjadi ketika sejumlah aktivis "diamankan" aparat keamanan. Narasi rasa takut ditemukan pada beberapa komentar warganet. Walhasil, warganet menarik diri dari perlawanan tersebut karena risiko yang pasti akan dihadapinya seorang diri sangat besar.

Artinya, selama ini negara sebenarnya telah cenderung menggunakan kewenangan sibernya untuk mengendalikan suara kritis rakyat dengan memanfaatkan kelemahan fundamental gerakan sosial berbasis Internet (media sosial). Jika dengan kewenangan siber yang masih "biasa" saja negara kerap represif, bagaimana jadinya jika diberi kewenangan yang jauh lebih besar? Karena itu, gagasan pembentukan angkatan siber ini perlu betul-betul dikalkulasi ulang.


PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Yuli Isnadi

Yuli Isnadi

Pengajar Digital Governance Fisipol UGM

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus