Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Nasib Di Tanjung Satai

Nasib nelayan tradisional di Ketapang semakin terdesak oleh pukat harimau. Bupati tak setuju dengan usaha Dirjen Perikanan memodernisasi nelayan tradisionil melalui KIK.

21 Mei 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NASIB yang sedang dialami para nelayan di 9 desa Kecamatan Pulau Maya Karimata (Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat) bukanlah derita baru di kalangan para penangkap ikan. Di sini pernah tercatat 2.527 orang nelayan. Mereka berdiam di pulau-pulau Pelapis, Betok dan Kampung Padang. Daerah operasi mereka di kawasan Selat Karimata. Mereka umumnya menangkap ikan melalui belat (sero). Tapi jika belakangan ini jumlah nelayan ini hanya tinggal sekitar 600 orang lagi, tentulah karena desakan pukat harimau (trawler). Hingga sekarang saja sudah tercatat tak kurang dari 34 orang tauke pemilik armada pukat yang terkenal akan kebolehannya menyapu habis isi laut itu. Bahkan di Tanjung Satai saja tercatat 142 buah motor pukat yang mesinnya rata-rata berkekuatan 33 PK. Tak heran jika rezeki para nelayan kecil makin terdesak jua. Dan karena itu "setiap tahun terjadi percekcokan antara nelayan belat dengan nelayan pukat", ucap Sofyan Yusuf, Kepala Sub-direktorat Perekonomian Kabupaten Ketapang. Tahun 1974 Dinas Perikanan Ketapang memang pernah mengeluarkan aturan permainan dalarm pengoperasian belat dan pukat harimau. Isinya menentukan: operasip enangkapan ikan dengan belat boleh dilakukan sepanjang musim, tapi operasi pukat hanya diperkenankan mulai pertengahan Pebruari. Tapi peraturan ini, seperti diduga, tak jalan. Para pemilik pukat tetap saja merajai laut sepanjang tahun dengan sembunyisembunyi atau terang-terangan. Untung bahwa ketika di akhir tahun 1976 lalu para nelayan kecil melancarkan protes tak sampai terjadi peristiwa Muncar kedua. Lucunya waktu itu Wakil Camat Tanjung Satai buru-buru mengirim surat kepada Bupati Ketapang untuk "mohon atas nama rakyat agar operasi pukat dapat berlangsung sepanjang tahun". Kontan Zainal Arifin, Bupati Ketapang naik pitam. "lni suara tauke-tauke, bukan kehendak rakyat", katanya dengan geram. Bupati tetap berpegang teguh pada ketentuan Dinas Perikanan tahun 1974. Tanjung Satai adalah pelabuhan ikan terbesar di Kalimantan Barat. Tahun 197S lalu hasil penangkapan ikan di sini bernilai Rp 747 juta lebih. Tapi jika Bupati Zainal Arifn selalu marah jika bicara soal ikan di daerahnya tentulah juga karena "laporan berapa volume ikan yang didapat tak ada samasekali dari Dinas Perikanan di Tanjung Satai". Bupati ini juga menduga selama ini telah terjadi penyulapan volume pada surat muatan. "Sepuluh ton yang dikirim yang ditulis hargaa 2 ton. Kalau mau ngakal jangan keterlaluan lah", kata Zainal. Jadi siapa yang main? Bupati tak menjawab, juga tak disebutnya apakah dia sudah menindak bawahannya yang diduga tak beres itu. Yang pasti menurut sumber TEMPO, karena hubungan kurang lancar, tak mustahil pejabat-pejabat tingkat atas tak dapat selalu langsung menengok polah bawahannya, terutama di pedalaman. Akan nasib para nelayan yang terdesak oleh pukat itu sendiri, sebenarnya masih merisaukan Bupati Zainal. Pejabat ini juga dulu kurang setuju ketika Dirjen Perikanan buru-buru mengganti alat-alat penangkap ikan tradisionil ke alat-alat modern. Sebab dengan KIK ternyata tak semua nelayan mampu dan memenuhi syarat, sehingga kredit itu malahan banyak jatuh ke tangan tauke. Bupati Zainal memang pernah menganjurkan agar nelayan tradisionil itu kembali saja ke darat, bertani. Tapi begitu ada yang mencoba, cepat-cepat ditinggalkan. Karena ternyata tanah pertanian di sekitar itu menyimpan kadar garam tinggi, bahkan tergenang air laut jika pasang naik. Sehingga satu-satunya harapan bagi para nelayan yang lebih banyak menganggur itu menurut Bupati Zainal adalah jika fishing centre di Telok Batang sudah selesai. Di sini nanti akan ditampung hasil tangkapan para nelayan tradisionil untuk dipasarkan dan sekaligus pengalengan. Namun ini juga tak begitu menggembirakan para penangkap ikan. Sebab "yang jadi soal bagaimana agar kami masih kebagian ikan, tidak habis dilalap pukat" seperti dikatakan seorang nelayan di sana. Yang banyak dilakukan para nelayan yang sudah kehilangan rezeW di laut itu adalan menjadi buruh penggesek kayu di tengah hutan. Inipun tak menolong hidup mereka benar, sebab penghasilan mereka lebih banyak ditentukan oleh para tengkulak kayu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus