Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bayangkan suatu hari ketika kita masuk ke sebuah negeri di mana sinonim-ya, sinonim-dimatikan.
Bayangkan jika dalam bercakap-cakap dan menulis, yang sah dipakai cuma kata "sholat" dan bukan "sembahyang"; "saum" dan bukan "puasa". Bayangkan jika tak boleh dipergunakan lagi kata "Cina" dan yang boleh hanya "Tionghoa". Bayangkan jika yang bisa menamai gender ibu kita hanya "perempuan", dan kata "wanita" disingkirkan.
Kita mungkin tak segera menyadari bahwa ketika sinonim hilang, ia tak akan hilang sendirian. Ada yang dihapus dari kehidupan. Kita pelan-pelan akan menemukan diri berada di dunia yang gagap.
Sinonim mendampingi kosakata dengan kata yang berbeda untuk satu pengertian; dalam bahasa Indonesia disebut "persamaan kata". Ia membuka pintu untuk menemui kata lain, seakan-akan jalan-jalan tikus di sebuah ruangan-alur yang membuat pengertian lebih kaya dan lebih terurai. Ruangan itu selamanya akan terbatas, maka memang lebih tepat bila bahasa diumpamakan sebagai "rumah".
Rumah bagi [apa saja] yang ada, itulah bahasa. Sprache ist das Haus des Seins, kata Heidegger. Di dalam "rumah" itu, ruang tempat manusia tinggal, benda dan barang-barang terhimpun dan diberi label, hingga dikenali. Bahasa memiliki kata yang menunjuk dan memperlihatkan: dengan itulah "jendela" dipandang sebagai "jendela", bukan sekadar lubang persegi di tembok. Dengan itulah "kunci", "laci", "asbak" dikenali. "Dengan pertama-tama memberi nama pada obyek-obyek," kata Heidegger, "bahasa membawa hal-ihwal yang ada kepada kata dan menampilkannya."
Dilihat secara demikian, aku memahami dunia sekelilingku dan dalam diriku secara reseptif: dalam posisi menerima. Bukan aku, subyek, yang memproduksi bahasa dan makna. Bahkan dengan sedikit berlebihan dikatakan, dalam perjamuan atau pertengkaran, bahasa itulah yang berbicara. Die Sprache spricht. Aku berbicara sebab sebelumnya aku mendengarkannya.
Tentu, manusia tak cuma menerima, tak sekadar reseptif. Dalam berbahasa, manusia juga mencipta. Tapi satu hal yang perlu dilihat lebih jauh: hubungan kekuasaan dengan kehidupan linguistik.
Manusia pada dasarnya tak dapat keluar dari bahasa, juga ketika diam. Kita ingat ungkapan "berkata dalam hati". Manusia selamanya mendengar dan mendengarkan bahasa, mengutarakan diri dan memandang dunianya melalui bahasa. Proses itu mengikuti dorongan berkomunikasi-meskipun belum tentu terjadi komunikasi, meskipun yang terjadi mungkin sirkulasi kata-kata dalam sebuah ruang tertutup. Manusia seakan-akan terjebak dalam penjara bahasa.
Lakon La Cantatrice chauve (Biduanita Botak) Eugène Ionesco pernah menyindir itu: percakapan sering terdengar seperti kalimat orang yang menghafal pelajaran bahasa asing: statemen yang tak perlu dijawab. Dalam sebuah adegan, Tuan dan Nyonya Smith duduk menemui tamunya, Tuan dan Nyonya Martin.
Nyonya Martin: "Saya sanggup beli satu pisau lipat untuk adikku, tapi kau tak akan mampu beli Irlandia buat kakekmu."
Tuan Smith: "Orang berjalan dengan kakinya, tapi memanaskan dengan listrik atau batu arang."
Tuan Martin: "Ia yang hari ini jual sapi akan punya sebutir telur besok."
Nyonya Smith: "Dalam kehidupan nyata, orang mesti menengok ke luar jendela."
Kita tak tahu ke mana arah percakapan, kita bahkan tak tahu itu adalah sebuah "percakapan". Dalam pentas "teater absurd" itu, tampak manusia berbicara tanpa perlu membentuk makna. Kelihatan sekali bahasa memaksa manusia berbicara. Mungkin itu sebabnya Roland Barthes menyebut bahasa "fasis", sebab "fasisme tak melarang bicara, malah memaksa bicara".
Barthes sedikit berlebihan, tapi kekuasaan dan kepatuhan memang berkelindan dalam penggunaan bahasa. Sejak ibu-bapak kita mengajari kita berbicara, sampai dengan di perguruan, di media massa, di akad nikah, dan di pengadilan, kita wajib mengikut orang lain atau orang banyak. Saya, misalnya, tak bisa terus-menerus mengartikan "bergeming" sebagai "bergerak" ketika di luar saya dengan deras didesakkan bahwa "bergeming" artinya "tak bergerak". Dalam bahasa-bahasa Eropa, kata benda disebut "maskulin" atau "feminin" dan ketentuan ini harus dipatuhi tanpa alasan. Kita juga tak tahu kenapa floor (satu "f" dan satu "r" dengan dua "o") dibaca sangat beda dengan flood. Kita tunduk.
Pertalian bahasa dan kekuasaan bisa sangat ekstrem, sebagaimana digambarkan fiksi terkenal George Orwell, 1984: Alkisah, sebuah rezim totaliter berkuasa di Inggris, dan menegakkan kekuasaannya dengan teror, pengawasan, dan kontrol atas bahasa. Bahasa bentukan rezim dipaksakan agar dipakai, disebut Newspeak, "basabaru". Dengan basabaru, warga negara dikendalikan agar tak berpikir leluasa. Seorang anggota Partai yang berkuasa dengan bangga menyatakan: "Basabaru satu-satunya bahasa di dunia yang kosakatanya makin sedikit setiap tahunnya."
Sinonim dibunuh dan manusia dijebloskan dalam bahasa sebagai rumah yang sempit, bahkan sebagai penjara yang tak punya jalan alternatif. Tak ada kemungkinan memperluas pengalaman verbal yang berbeda dan beraneka. Pikiran dan perasaan direduksi, dan kalimat-kalimat yang itu-itu juga terbentuk agar mudah dihafal. Dihafal: dilakukan secara mekanistis. Melepaskan diri dari situ berarti kembali hidup dan tak jadi mesin, tapi itu Dosa. Sesat.
Maka ketika kita diwajibkan hanya memakai kata "sholat" atau "Tionghoa", misalnya, ada yang direnggutkan dari diri dan dunia kita. Politik antisinonim adalah genosida pikiran dan perasaan.
Tapi tak berarti semua berakhir mencekik. Sinonim tak pernah bisa punah; kata selalu punya bayangan-sering samar, tak jelas, tak tertebak, tak menyerah. Setidaknya puisi yang bebas dari klise dan slogan merawat itu-sampai ia dimatikan.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo