Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2022 yang mengatur bahwa hak atas kekayaan intelektual (HaKI) bisa menjadi agunan pinjaman di bank merupakan angin segar bagi pelaku industri kreatif. Karena aturan ini berlaku satu tahun sejak diteken Presiden Jokowi pada 12 Juli 2022 lalu, pemerintah, lembaga pembiayaan, dan pelaku ekonomi kreatif harus bergerak cepat menciptakan ekosistem HaKI yang menarik dan tidak berisiko bagi bank ataupun nonbank.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aturan ini merupakan terobosan yang bisa menggairahkan industri kreatif di Indonesia. Sektor ini tidak berkembang pesat karena pelaku ekonomi kreatif kerap kesulitan menembus lembaga keuangan formal untuk mendapatkan modal usaha. Penyebabnya, agunan yang mereka tawarkan umumnya tidak berwujud benda, melainkan karya-karya intelektual, antara lain buku, lagu, lukisan, bahkan konten media sosial.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Padahal sektor tersebut saat ini memiliki kontribusi signifikan terhadap ekonomi dan sangat besar potensinya untuk dikembangkan. Pada 2021, sektor ekonomi kreatif memberikan kontribusi Rp 1.274 triliun atau 7,35 persen dari keseluruhan produk domestik bruto atau PDB. Karena angka ini, industri kreatif Indonesia menduduki posisi ketiga terbesar di dunia setelah Amerika Serikat dan Korea Selatan. Sejak 2014, kontribusi industri ini terhadap PDB terus meningkat. Di antara 17 subsektor industri kreatif; kuliner, fashion, dan kriya menjadi tiga penyumbang terbesar terhadap PDB. HaKI sendiri terdiri atas hak cipta, merek, paten, desain industri, rahasia dagang, dan desain tata letak sirkuit terpadu.
Menurut peraturan pemerintah tersebut, ada sejumlah syarat bagi pelaku usaha kreatif untuk mendapatkan pembiayaan. Syarat tersebut adalah memiliki proposal pembiayaan usaha ekonomi kreatif, memiliki perikatan ihwal kekayaan intelektual produk ekonomi kreatif, dan memiliki surat pencatatan atau sertifikat kekayaan intelektual. Namun, memenuhi persyaratan ini belum menjadi jaminan bagi pelaku industri kreatif untuk mendapatkan kredit dari lembaga pembiayaan. Masih terdapat sejumlah tantangan yang menjadi sandungan sektor ini untuk bisa menikmati akses pembiayaan perbankan atau lembaga nonbank.
Tantangan tersebut, misalnya, hampir semua pelaku industri kreatif tidak memiliki aset fisik yang dapat diagunkan ke bank. Aset terbesar pelaku industri ini adalah aset nonfisik, seperti kekayaan intelektual. Selama ini, aset tak berwujud itu tak bisa menjadi agunan. Alasannya, ada kesulitan ketika melakukan appraisal atau pengukuran terhadap nilainya. Saat ini, di Indonesia belum ada lembaga yang kompeten untuk menilai valuasi aset tak berwujud seperti hak kekayaan intelektual. Padahal lembaga keuangan memerlukan valuasi untuk menentukan kelayakan, plafon, ataupun suku bunga pinjaman.
Tantangan lainnya adalah belum tersedianya pasar yang bisa menyerap aset seperti ini ketika pelaku industri kreatif mengalami gagal bayar. Tantangan lain yang juga tidak kalah penting adalah praktik pembajakan hak intelektual yang masih merajalela. Lagu, film, dan konten bajakan lainnya leluasa beredar tanpa adanya penegakan hukum yang memadai. Praktik ini membuat nilai resmi kekayaan intelektual melorot gara-gara tersedot oleh peredaran produk ilegal. Hal ini jugalah yang menjadi alasan kenapa lembaga pembiayaan enggan menyalurkan kredit. Karena itu, pemberlakuan peraturan pemerintah tersebut harus diikuti dengan pemberantasan pembajakan.
Kesadaran pelaku ekonomi kreatif untuk mendaftarkan karyanya juga masih rendah. Faktor penyebabnya, antara lain, minimnya sosialisasi. Banyak pelaku ekonomi kreatif yang baru tahu, misalnya, bahwa konten YouTube juga bisa mendapatkan hak kekayaan intelektual. Menurut Statistik Industri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif 2020, baru 1,98 persen pelaku industri kreatif yang mengantongi HaKI. Peraturan pemerintah ini semestinya bisa mendorong peningkatan kepemilikan hak kekayaan intelektual .
Indonesia bisa belajar kepada Singapura soal pemanfaatan HaKI sebagai agunan kredit. Negara ini memberlakukan skema pembiayaan kekayaan intelektual pada 2014. Salah satu kebijakannya adalah mendirikan The Intellectual Property Office of Singapore (IPOS), lembaga yang menampung permintaan pengajuan pembiayaan dengan skema agunan HaKI. Kementerian Perdagangan dan Industri Singapura juga mendirikan The Agency for Science, Technology and Research (A Star) sebagai langkah untuk menumbuhkan ekosistem penjaminan HaKI. Lembaga ini semacam "biro jodoh" untuk pemegang HaKI dan industri atau pasar. Di sisi lain, pemerintah Singapura menjamin 80 persen agunan HaKI sehingga bank berani menyalurkan kreditnya.
Masih ada waktu satu tahun untuk menyiapkan ekosistem yang mendukung regulasi tersebut. Sejatinya, ketentuan agunan HaKI ini sudah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten. Tapi baru tahun ini peraturan pelaksananya terbit. Agar peraturan tersebut segera bisa diimplementasikan dengan mulus, pemerintah harus menghilangkan sumbatan-sumbatan yang membuat lembaga pembiayaan enggan menyalurkan kreditnya ke pelaku industri kreatif.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo