Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengurangi ketergantungan terhadap dolar Amerika Serikat adalah tindakan yang sehat. Upaya itu menjadi tidak sehat jika dilakukan dengan memaksa para pelaku usaha sepenuhnya tak memakai dolar dalam transaksi bisnis internasional mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gagah-gagahan pemerintah dalam memakai mata uang lokal terlihat ketika peluncuran Satuan Tugas (Satgas) Nasional Transaksi Mata Uang Lokal (LCT) di sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN pada 5 September 2023 di Jakarta. Presiden Joko Widodo menyaksikan peluncuran Satgas yang ditandai dengan penandatanganan nota kesepahaman lembaga dan kementerian. Satgas melibatkan Bank Indonesia, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Keuangan, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Badan Usaha Milik Negara, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seluruh kementerian dan lembaga dalam Satgas akan berkolaborasi merumuskan kebijakan, koordinasi kebijakan dan penerapan ketentuan di area perbankan dan sektor keuangan, serta kebijakan yang mendukung perluasan penggunaan LCT dalam transaksi pembayaran antarnegara.
Pada dasarnya, Satgas LCT merupakan kelanjutan dari Penyelesaian Mata Uang Lokal (LCS) yang didirikan Bank Indonesia pada 2020. Lewat aturan itu, Bank Indonesia coba memudahkan pelaku usaha menggunakan rupiah ketika bertransaksi internasional. Para pengusaha tak perlu lagi menukarkannya dengan dolar.
Kerja sama pemakaian mata uang lokal ini sudah berlangsung dengan Malaysia, Thailand, Jepang, dan Tiongkok, empat rekan dagang utama Indonesia. Bank Indonesia menunjuk bank-bank di Indonesia yang menjadi pelaksana LCS, begitu juga bank sentral di empat negara tersebut. Dengan demikian, importir tidak perlu lagi harus membeli dolar, cukup membayarnya dengan rupiah sesuai dengan nilai tukar lawannya. Bank di negara masing-masing yang menyelesaikan transaksi tersebut.
Tujuan dedolarisasi adalah mengurangi ketergantungan terhadap dolar Amerika. Sebab, ketergantungan dunia terhadap dolar Amerika membuat ekonomi banyak negara rapuh terhadap fluktuasi ekonomi global. Semakin besar kebutuhan dolar, semakin ringkih rupiah, makin mahal harga yang harus dibayar oleh importir—yang kebanyakan importir bahan baku—untuk membeli kebutuhan mereka. Ini berdampak pada harga akhir barang konsumsi, bahan bakar minyak, kerugian utang valas, dan lain sebagainya. Sejak 2016, rasio penggunaan dolar Amerika cukup tinggi dalam perdagangan bilateral Indonesia, mencapai 90 persen untuk ekspor dan lebih dari 80 persen untuk transaksi impor.
Masalahnya, suka tak suka, dolar Amerika adalah mata uang yang diterima semua negara. Nilainya stabil, bahkan cenderung naik. Menyimpan dolar sama saja dengan menyimpan kekayaan.
Maka, dedolarisasi punya tantangan nyata yang krusial, yakni menjamin stabilitas uang lokal dalam transaksi perdagangan. Jika harganya anjlok, dedolarisasi malah merugikan pengusaha lokal dan ekonomi Indonesia secara keseluruhan.
Kesuksesan pemakaian mata uang lokal bergantung pada efisiensi. Transaksi dalam dolar Amerika menjadi mapan dan murah karena ia menjadi alat tukar yang efisien. Jika otoritas perbankan dan bank sanggup menjamin ongkos transaksi mata uang lokal seefisien dan sekredibel dolar, transaksi internasional memakai valuta lokal akan tumbuh dengan sendirinya. Memaksakan pemakaian mata uang lokal kepada pelaku usaha hanya melahirkan inefisiensi karena harga produksi barang jadi mahal.
Dedolarisasi itu, sekali lagi, usaha yang sehat. Jika otoritas perbankan menyediakan infrastrukturnya yang ramping, murah, dan mudah.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo