Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Arahnya Sudah Benar

22 Desember 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Andi A. Mallarangeng

  • Ahli otonomi daerah.

    COBA jalan-jalan ke kabupaten dan kota mana saja di Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Rote, besar kemungkinan Anda akan melihat semangat membangun yang kuat di kalangan masyarakat. Jika sempat bertemu bupati, wali kota, atau gubernur, besar pula kemungkinan Anda akan mendengar program terobosan yang sedang atau akan dilakukannya. Sebab, mereka sekarang punya kewenangan dan sumber daya keuangan.

    Tentu saja Anda akan pula mendengar berbagai persoalan di daerah, seperti korupsi yang masih merebak, elite politik lokal yang hanya memikirkan diri sendiri, potensi daerah yang belum dikembangkan karena kurangnya investor, infrastruktur yang payah, dan kemajuan daerah yang kurang dibanding harapan.

    Tapi rasanya tidak kurang pula Anda akan mendengar dan melihat best practice yang muncul di mana-mana, atas inisiatif pimpinan daerah, baik di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi. Misalnya sistem pelayanan cepat satu atap dan satu pintu, pelayanan pendidikan dan kesehatan gratis, e-government dan e-procurement, pembangunan berbasis lingkungan, pelibatan masyarakat adat seperti hidupnya kembali Nagari di Sumbar dan Desa Pakraman di Bali, peningkatan produksi pangan yang signifikan, kepemimpinan yang mengakar, dan masih banyak lagi.

    Yang menarik, Anda akan mendengar bagaimana masyarakat mulai membandingkan kemajuan daerahnya dengan kemajuan daerah lain, kepemimpinan bupati atau wali kotanya dengan bupati atau wali kota tetangga. Begitu pula pada tingkat provinsi dan gubernur. Artinya, masyarakat daerah sadar akan haknya mendapat pelayanan terbaik dari pemimpinnya, dan sadar pula bahwa mereka mempunyai power untuk menentukan nasib bupati, wali kota, dan gubernurnya dalam pemilihan kepala daerah. Tergantung apakah mereka puas atau tidak dengan pemimpin daerahnya.

    Minggu lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyerahkan penghargaan atas peningkatan produksi dan ketahanan pangan kepada 149 bupati dan wali kota, serta 16 gubernur. Mereka diberi penghargaan pada akhir tahun ini karena telah mampu menaikkan produksi beras lima persen atau lebih, dan atau telah mencapai swasembada beras. Ini adalah upaya memberikan insentif bagi pimpinan daerah, karena kita tidak bisa hanya menghukum, tapi juga harus memberikan penghargaan bagi mereka yang berprestasi. Ini adalah penghargaan khusus dari Presiden atas upaya mereka, sehingga Indonesia tahun ini kembali berswasembada beras.

    Penghargaan itu pantas mereka terima. Semua orang tahu, budi daya padi adalah proses yang rumit yang harus dilakukan secara serius. Ini melibatkan penyuluhan yang efektif, penyediaan bibit unggul, pupuk, pengendalian hama, pembuatan dan pemeliharaan irigasi, intensifikasi atau ekstensifikasi, pengendalian kecenderungan konversi lahan pertanian, pelayanan pascapanen, pembinaan kelompok tani dan koperasi unit desa, insentif harga bagi petani, pengaturan distribusi beras, dan sebagainya.

    Hebatnya, prestasi ini tercapai dalam era otonomi daerah dan demokrasi. Pemerintah pusat bisa saja menargetkan swasembada pangan, tetapi tanpa kerja sama dengan pemerintah daerah hal itu tidak mungkin terjadi. Departemen Pertanian bahkan tidak lagi mempunyai tangan langsung di daerah dalam bentuk kantor wilayah. Sekarang yang ada adalah dinas pertanian, yang merupakan perangkat pemerintah daerah. Pada era Orde Baru, swasembada pangan bisa tercapai salah satunya karena pemerintah bisa memaksa petani menanam jenis padi tertentu, dan melarang penanaman tanaman lain di suatu lahan. Sekarang, petani bebas menanam apa saja, bebas mau mendengar atau tidak mendengar penyuluh pertanian, bebas ikut koperasi atau tidak, dan bebas menjual berasnya.

    Bagaimana dengan kabupaten/kota dan provinsi lainnya? Mungkin saja mereka mengembangkan unggulan lain sesuai dengan potensi daerahnya masing-masing. Mereka bebas menentukan prioritas daerahnya. Tentu saja dalam batas kewenangan dan keuangan yang dimilikinya, menurut ketentuan undang-undang.

    Selama hampir sepuluh tahun pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah, masih banyak persoalan yang harus dibereskan. Tetapi ketakutan banyak kalangan pada awalnya, bahwa pendekatan “big bang” yang kita lakukan akan menghasilkan “the break down of government services” ternyata tidak terbukti. Bahkan banyak pengamat internasional memuji pelaksanaan desentralisasi di negeri kita, yang dilaksanakan bersamaan dengan proses reformasi dan demokratisasi.

    Walau demikian, ada beberapa catatan penting dalam penyempurnaan otonomi daerah ke depan. Pertama, penerapan good governance harus menjadi prioritas utama. Kualitas tata pemerintahan di daerah berhubungan langsung dengan kualitas pelayanan. Ratusan pejabat negara seperti bupati, wali kota, gubernur, dan anggota DPRD telah terkena proses hukum pemberantasan korupsi. Mempercepat reformasi birokrasi untuk mencegah korupsi harus dilakukan.

    Kedua, peningkatan kapasitas aparat pemerintah daerah. Harapan masyarakat yang tinggi dengan kewenangan dan keuangan daerah, serta pemimpin daerah yang dipilih langsung tidak mungkin terwujud dengan baik tanpa percepatan peningkatan kapasitas aparat pemerintah daerah. Terutama lagi di daerah-daerah pemekaran yang mengalami euforia otonomi daerah. Pada beberapa hal bisa saja dilakukan outsourcing, seperti dalam penerapan e-government, tetapi menjadikannya bagian internal dalam kelembagaan pemerintah daerah adalah sesuatu yang niscaya.

    Ketiga, manajemen keuangan yang profesional. Memang ini yang sering menjadi kelemahan daerah, sehingga menciptakan celah penyimpangan dan inefisiensi sumber daya keuangan. Di lain pihak, sekitar sepertiga dari Sertifikat Bank Indonesia justru adalah simpanan pemerintah daerah, yang artinya ada dana yang tidak mengalir dalam bentuk pembangunan di daerah.

    Keempat, sementara desentralisasi dari pusat ke daerah mengikuti pola “big bang”, sentralisasi pada tingkat kabupaten masih menggejala, yang kurang memberdayakan kecamatan dan desa. Itulah sebabnya, kelima, kita juga harus terus melakukan penguatan dan pemberdayaan masyarakat. Ini adalah proses growing pain yang menjadi pembelajaran bagi semua. Dengan adanya pemilihan langsung di mana masyarakat bisa melakukan koreksi secara reguler, dan pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu, tidak ada lagi bupati atau wali kota yang berpikir menjadi raja-raja kecil di daerah. Mereka tahu, kekuasaannya tidak tak terbatas.

    Keenam, prioritas pada pelayanan harus diperkuat. Masih ada kecenderungan bahwa kewenangan yang menghasilkan uang lebih diprioritaskan daripada kewenangan yang tidak menghasilkan uang. Banyak balai latihan kerja yang telah didesentralisasi menjadi terbengkalai, karena balai semacam itu tidak menghasilkan uang dan bahkan menjadi pos pengeluaran. Padahal peningkatan keterampilan kerja dalam pembangunan daerah menjadi sangat penting.

    Ketujuh, kerja sama antardaerah harus diperkuat. Persaingan antardaerah adalah wajar dalam era otonomi daerah. Justru persaingan yang sehat akan menjadi pemacu pembangunan di daerah. Namun demikian, kerja sama antardaerah harus pula semakin dikembangkan. Banyak masalah yang hanya bisa diselesaikan dengan kerja sama antardaerah, apakah itu pemanfaatan sungai atau pencegahan banjir, persampahan, dan sebagainya.

    Kedelapan, karena itu supervisi pemerintah pusat harus kuat. Desentralisasi tidak berarti pemerintah pusat harus lemah. Justru sebaliknya, pemerintah pusat harus kuat. Kuat dalam melakukan supervisi, agar daerah bisa meningkatkan kapasitasnya, mengefektifkan manajemen dan kepemimpinan daerah, serta memberikan bingkai bagi persaingan dan kerja sama antara daerah. Otonomi daerah, termasuk otonomi khusus, tetap dalam satu sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

    Kesembilan, mekanisme kontinjensi pelaksanaan fungsi pemerintahan perlu dipertegas. Jika suatu fungsi pemerintahan seperti balai latihan kerja atau persampahan, misalnya, memang tidak dapat dijalankan oleh daerah, pemerintah di atasnya harus bisa mengambil alih, sampai daerah itu bisa melakukannya. Namun pengambilalihan itu juga berikut keuangannya (money follows function). Ini untuk mencegah daerah menyerahkan semua hal yang tidak menghasilkan uang ke pusat.

    Kesepuluh, desentralisasi dan otonomi daerah juga membutuhkan etika politik dan pemerintahan. Masih saja ada cerita bupati atau wali kota yang tidak datang dalam rapat koordinasi dengan gubernurnya, tanpa alasan yang jelas. Walaupun ini bersifat kasuistis yang berhubungan dengan persaingan dalam pemilihan kepala daerah. Tentu saja pemimpin-pemimpin daerah harus membedakan hubungan persaingan politik dengan sistem pemerintahan. Persaingan politik bisa berjalan dengan sehat sekaligus pada saat yang sama tetap bekerja sama dalam satu sistem pemerintahan.

    Akhir kata, proses desentralisasi dan otonomi daerah di negeri kita adalah bagian yang tak terpisahkan dengan proses demokratisasi. Semuanya dalam proses konsolidasi. Dan arahnya sudah benar, tinggal kita lanjutkan.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus