Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Sejumlah Catatan Pelaksanaan Desentralisasi

22 Desember 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Robert A. Simanjuntak

  • Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

    DESEMBER 2008 ini sudah hampir genap delapan tahun pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Banyak catatan yang bisa dibuat dalam periode yang cukup panjang itu. Sebagian mungkin merupakan keberhasilan, sebagian lainnya adalah pekerjaan rumah-untuk tidak dikatakan sebagai suatu kegagalan-yang mesti diselesaikan. Yang pasti menarik tentunya adalah beberapa catatan terkait dengan keuangan negara (fiskal).

    Pertama, hal yang paling kerap menyita perhatian adalah dana perimbangan. Ini adalah dana transfer dari pemerintah pusat kepada daerah sejak implementasi otonomi daerah tahun 2001, yang terdiri atas dana alokasi umum (DAU), dana bagi hasil (DBH), dan dana alokasi khusus (DAK). Seluruhnya mencakup hampir 85 persen anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) provinsi dan kabupaten/kota. Bersama dengan dana otonomi khusus dan penyesuaian, jumlahnya sepertiga APBN atau sekitar Rp 300 triliun pada 2008.

    Dari semua itu, dana alokasi umumlah yang paling sering mengundang "konflik". Ini bukan hanya karena jumlahnya yang terbesar, tapi juga terkait dengan tujuan pemerataan yang sering dipersepsikan berbeda-beda.

    Sebagian besar daerah sangat bergantung, dan menggantungkan diri, pada dana alokasi umum ini. Alasan utamanya, gaji pegawai negeri sipil daerah dibayarkan lewat dana ini. Karena itu, sering muncul keluhan daerah bahwa walaupun DAU besar, dananya sudah tersita untuk membayar gaji. Hanya sedikit dana tersisa untuk membangun daerah.

    Lalu, karena DAU dimaksudkan untuk pemerataan kemampuan keuangan daerah, ada sebagian kecil daerah yang dianggap kaya hanya mendapat alokasi sedikit. Bahkan, mulai 2009, ada daerah kaya yang tidak akan mendapat DAU sama sekali. Ini yang membuat daerah-daerah itu meradang. Kecuali DKI Jakarta yang potensi penerimaan pajaknya sangat besar, daerah-daerah ini umumnya punya sumber daya alam yang berlimpah. Sehingga mereka menerima bagian dana bagi hasil yang memang besar.

    Namun, mereka berargumen, karena baru sekarang berkesempatan menikmati langsung hasil perolehan dai sumber daya alam yang ada di daerahnya, semestinya mereka tidak "dihukum" dengan pengurangan jumlah dana alokasi umum. Apalagi kerusakan lingkungan karena eksploitasi sumber daya alam selama ini membutuhkan dana besar untuk pemulihannya. Belum lagi kalau mengingat keterlambatan transfer dana bagi hasil ke daerah yang kerap terjadi. Demikian protes daerah-daerah tersebut, yang tetap terdengar sampai 2008 ini.

    Kedua, terkait dengan pendapatan asli daerah (PAD). Persoalan utama seputar PAD sejak dulu adalah jumlahnya yang relatif tidak signifikan dibanding transfer dari pusat. Sejak Indonesia merdeka, sudah beberapa kali undang-undang yang mengatur pajak dan retribusi daerah berganti. Namun PAD tetap menjadi "anak bawang" bagi sumber pendapatan umumnya daerah di Indonesia. Padahal jumlah PAD di era otonomi daerah seyogianya mesti memadai. Berbagai literatur dan praktek di negara maju menunjukkan bahwa tingkat "kehati-hatian" (cautiousness) dan kecermatan daerah dalam membelanjakan uang publik akan lebih tinggi untuk PAD (yang mereka upayakan sendiri) ketimbang transfer dari pusat. Ini berarti akuntabilitas daerah bisa lebih tinggi.

    Langkah yang sudah menjadi isu lama dalam memperkuat PAD adalah dengan menyerahkan pajak bumi dan bangunan ke daerah. Sebab, ditinjau dari sisi teori perpajakan, ataupun praktek di banyak negara, pajak ini memang jauh lebih cocok berada di tangan daerah. Namun usul ini ternyata mendapat resistensi yang cukup kuat dari beberapa pihak.

    Persetujuan antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat pada Oktober lalu (akhirnya tercapai!) menyatakan bahwa pajak bumi dan bangunan untuk sektor perkotaan dan perdesaan akan dialihkan menjadi pajak daerah. Namun ada kemungkinan prosesnya akan makan waktu lima tahun. Sedangkan pajak ini untuk sektor perkebunan, pertambangan, dan kehutanan tetap di tangan pemerintah pusat, dengan dalih kompleksitasnya terlalu tinggi untuk diserahkan kepada daerah. Alasan itu sesungguhnya meragukan, khususnya jika kita berbicara tentang pajak bumi dan bangunan untuk sektor perkebunan.

    Ketiga, terkait dengan pemekaran. Sejak otonomi daerah diimplementasikan pada 1 Januari 2001, jumlah daerah di Indonesia membengkak. Pada 1999 ada 26 provinsi, 234 kabupaten, dan 59 kota, sedangkan pada akhir 2008 ini jumlahnya menjadi 33 provinsi, 387 kabupaten, dan 90 kota, atau secara keseluruhan ada peningkatan jumlah daerah hampir 60 persen.

    Pertambahan jumlah daerah yang cukup pesat ini jelas berimplikasi pada anggaran. Yang paling kentara adalah semakin berkurangnya porsi masing-masing daerah dari DAU. Lalu ada transfer berupa DAK infrastruktur untuk daerah-daerah otonom baru. Namun, yang mesti menjadi perhatian kita semua, sebagian besar daerah pemekaran ternyata berkinerja kurang bagus di bidang pelayanan publik. Berbagai indikator ekonomi juga menunjukkan kondisi yang lebih jelek. Lebih dari 80 persen berada di bawah rata-rata nasional. Rakyat daerah pemekaran ternyata belum tersentuh benar oleh pembangunan sebagaimana yang mereka idam-idamkan. Pemekaran yang sudah berlangsung sejak reformasi 1998 ini masih jauh dari memberikan manfaat nyata bagi kesejahteraan masyarakat.

    Keempat, yang terakhir, adalah isu surplus anggaran. Sudah beberapa tahun ini sebagian besar daerah mengalami surplus berupa sisa lebih anggaran. Di sebagian besar daerah mungkin tidak terlalu signifikan, dan hanya beberapa yang jumlahnya besar. Namun, secara keseluruhan, pada 2007 dan 2008 ini, misalnya, surplus daerah mencapai lebih dari Rp 40 triliun. Sebagian dari surplus inilah yang akhirnya bermuara ke Sertifikat Bank Indonesia.

    Masalah pokoknya, ketika pemerintah pusat berupaya keras mencari sumber pembiayaan defisit anggaran-di antaranya dengan menjajaki standby loan dari luar negeri-sebagian uang masyarakat justru "menganggur" dalam bentuk surplus tersebut. Apalagi kalau mengingat jumlahnya yang lebih besar daripada pinjaman yang dijajaki pemerintah. Jadi terasa ironis.

    Belum lagi kalau kita berbicara tentang fakta bahwa dalam situasi krisis keuangan global seperti sekarang, peran belanja pemerintah untuk mendorong perekonomian sangat vital. Jadi adanya dana surplus dalam jumlah besar yang tidak produktif seperti itu sangat tidak favorable buat kita.

    Berbagai persoalan tersebut sesungguhnya bisa sangat dikurangi dengan mendorong pemerintah daerah memberikan peran yang lebih besar. Dana-dana yang parkir di Sertifikat Bank Indonesia, misalnya, bisa sangat dikurangi apabila ada perencanaan belanja yang baik dengan pemahaman akan pentingnya upaya menggerakkan sektor riil. Di sini, peran kepala daerah menjadi krusial. Itulah sebabnya upaya untuk mencari best practice dari kepala daerah (bupati/wali kota) agar bisa ditularkan kepada kepala-kepala daerah lain sangat baik untuk dilakukan. Di negeri ini, pada hari-hari ini, contoh yang baik tampaknya masih merupakan suatu kemewahan yang sulit diperoleh.

    Sumber Pendapatan Daerah (Miliar Rupiah), Jumlah Daerah Otonom, dan Surplus APBD

     20042005200620072008
    1. Dana Perimbangan122.867,6143.221,3222.130,6244.607,8278.436,1
    - DAU36.700,349.692,364.900,362.726,377.726,2
    - DBH82.130,988.765,4145.664,2164.787,4179.507,1
    - DAK4.036,44.763,611.566,117.094,121.202,1
    2. Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian6.855,37.242,64.049,49.593,213.986,7
    Jumlah 1 & 2129.722,9150.463,9226.180,0254.201,0292.422,8
    3. PAD36.413,7740.312.0344.755,7847.339,4153.915,57
    4. Jumlah Daerah (Provinsi, Kabupaten, Kota)411467467467467
    5. Jumlah Daerah Surplus APBD241311362399403
    - Nilai Surplus16.723,018.912,127.072,543.444,144.324,9

    SUMBER: DEPARTEMEN KEUANGAN

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus