Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SALAHUDDIN Wahid turun gunung. Setelah niatnya jadi wakil presiden kandas pada Pemilu 2004, adik mantan presiden Abdurrahman Wahid ini sempat menghilang dari ingar-bingar jagat politik negeri ini. Dia memilih pulang kampung, menyepi jadi pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, di Jombang, Jawa Timur.
Delapan bulan menjelang Pemilihan Presiden 2009, Gus Solah—demikian pria berkacamata ini biasa disapa—kembali masuk arena. Sejak Oktober lalu, dia punya tugas baru. Salahuddin didaulat menjadi Ketua Dewan Integritas Bangsa. Lembaga ini punya hajatan besar: menyelenggarakan konvensi independen untuk memilih calon presiden alternatif untuk pemilu tahun depan.
Kandidat yang terpilih dalam konvensi ini digadang-gadang jadi calon ketiga, yang diharapkan bisa mengimbangi dua calon yang diduga kuat akan berlaga pada Juli tahun depan: Susilo Bambang Yudhoyono (Partai Demokrat) dan Megawati Soekarnoputri (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan). ”Saya merasa ini layak diperjuangkan,” kata Solah pekan lalu.
Begitu diumumkan kepada publik pada awal Desember lalu, gagasan ini langsung menyedot perhatian. Salahuddin Wahid dianggap sebagai figur yang menarik, selain karena adik bekas presiden Abdurrahman Wahid ini berhasil mendatangkan sejumlah tokoh nasional yang selama ini sering disebut sebagai ”calon alternatif”. Ada mantan Menteri Koordinator Perekonomian Rizal Ramli, Gubernur Gorontalo Fadel Muhammad, dan Gubernur Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X. Selain itu, ada dua pengurus pusat Golkar: Yuddy Chrisnandi dan Marwah Daud Ibrahim.
Bukan kebetulan jika empat dari lima ”peserta konvensi” adalah kader Partai Beringin. Pada Pemilu 2004, Salahuddin adalah calon wakil presiden dari Golkar, mendampingi Jenderal (Purnawirawan) Wiranto.
Faktor kedua tak kalah menentukan. Dua pekan sebelumnya, dalam Rapat Pimpinan Nasional Golkar di Balai Sidang Senayan, Jakarta, empat nama ini—Sultan, Fadel, Yuddy, dan Marwah—sudah ramai disebut sebagai calon presiden. Sayangnya, gerilya pendukung mereka, agar rapat pimpinan mendukung pencalonan secara resmi, terpotong oleh sikap keras Ketua Umum Golkar Jusuf Kalla.
Kalla berulang kali menegaskan calon presiden Beringin baru akan diputuskan setelah pemilu legislatif, April 2009. ”Kami akan mengadakan survei untuk memilih calon presiden Golkar,” kata ketua badan pemenangan pemilu Beringin, Firman Soebagyo.
Bisa dibilang, momentum konvensi Dewan Integritas Bangsa ini pas benar untuk menjemput ”bola muntah” dari kompetisi internal di tubuh Golkar.
”TOLONG, kosongkan jadwal saya setelah pekan pertama Januari,” kata politikus muda Golkar, Yuddy Chrisnandi, kepada sekretarisnya. Ditemui Tempo di ruang kerjanya di gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Senayan, pekan lalu, Yuddy sedang serius mempersiapkan diri berlaga dalam konvensi Dewan Integritas Bangsa. Sejumlah buku tentang politik dan tata negara terserak di meja kerjanya. Ada juga pamflet kampanye bersampul merah dengan judul besar-besar ”Perubahan Akan Datang”, yang rencananya akan dibagikan di setiap ajang konvensi. ”Sebelum 7 Januari, saya sudah harus di Jakarta, untuk gladi resik,” katanya lagi.
Yuddy mengaku diundang ikut konvensi pada akhir November lalu. Seorang utusan Dewan Integritas datang ke rumahnya di Tebet, Jakarta Selatan. Dia terus terang mengakui keputusannya ikut konvensi didorong rasa kecewa pada Golkar. Tidak takut dihukum Partai? Yuddy mengangkat bahu, ”Yang penting saya tidak membawa bendera Partai,” katanya.
Yuddy dan Marwah Daud Ibrahim adalah dua kader Golkar yang paling bersemangat ketika dilamar Dewan Integritas Bangsa pada awal Desember lalu, di Gedung Joeang, Menteng, Jakarta Pusat. ”Kalau nanti dilarang Golkar, saya tetap akan ikut,” kata Marwah. Sementara dua kader Beringin lain yang juga hadir hari itu, Sultan Hamengku Buwono dan Fadel Muhammad, tampak ragu.
Sultan, misalnya, sempat mengaku sibuk. ”Jadwal saya sudah padat,” katanya beralasan. Hanya setelah Wakil Ketua Dewan Integritas Bangsa, Nathan Setiabudi, memberikan kelonggaran: Sultan tidak harus hadir di setiap konvensi, baru dia mengangguk.
Fadel juga begitu. ”Saya belum mendeklarasikan diri jadi calon presiden,” katanya berkilah. Dia juga mengaku harus minta izin dulu kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gorontalo, sebelum bisa memastikan ikut.
PENYELENGGARA konvensi ini bukanlah partai politik. Sebuah koalisi cair yang terdiri dari delapan perkumpulan pemuda berbasis agama ada di balik layar. Mereka adalah Pemuda Muhammadiyah, Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama, Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia, Pemuda Katolik, Perhimpunan Pemuda Hindu, Gerakan Muda Buddhis, Generasi Muda Konghucu, dan Komunitas Tionghoa Anti-Korupsi.
Mereka mendeklarasikan Dewan Integritas Bangsa pada 7 Agustus lalu di Museum Kebangkitan, Senen, Jakarta Pusat. Lieus Sungkharisma, salah satu penggagas awal, menjelaskan niat awal mereka adalah mencari calon presiden yang bebas dari transaksi politik dagang sapi dengan partai. ”Selama sistem rekrutmen politik di partai belum demokratis, para pemimpin potensial akan sulit muncul ke permukaan,” kata Lieus.
Agar tidak dinilai main-main, pimpinan delapan perkumpulan ini lalu menghubungi Salahuddin Wahid. ”Kami butuh tokoh nasional yang bisa mengayomi, berintegritas, dan kredibel,” kata Ketua Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama, Idi Muzayyad.
Acara konvensi sendiri akan berlangsung di 12 kota, dari Medan, Banjarmasin, sampai Jayapura, selama dua bulan penuh. Konvensi pertama akan berlangsung di Yogyakarta pada 10 Januari tahun depan dan berakhir di Jakarta pada 7 Maret.
Delapan organisasi penggagas berbagi tanggung jawab penyelenggaraan di setiap kota. Perhimpunan Pemuda Hindu, misalnya, kebagian jadi panitia di Denpasar, Bali. ”Sekarang kami sedang mencari gedung untuk lokasi konvensi,” kata Ketua Umum Perhimpunan, Nyoman Gde Agus Asrama.
Diperkirakan, setiap konvensi dihadiri 300-500 orang yang dipilih secara acak, namun mewakili komposisi penduduk di kota tersebut. ”Akan ada lembaga survei yang memilih siapa saja yang bisa hadir,” kata Nyoman. Pada akhir pemaparan tiap calon presiden, hadirin akan memilih satu kandidat terbaik. Kandidat yang memperoleh suara terbanyak dari 12 putaran konvensi akan jadi calon presiden Dewan Integritas Bangsa.
Siapa pun yang terpilih kelak, eksperimen politik Dewan Integritas Bangsa tampaknya bakal terbentur masalah klasik: perhitungan riil politik. Masalahnya, untuk ikut pemilu, sang calon terpilih—suka tidak suka—tetap harus diusung partai politik.
Lieus Sungkharisma mengaku sudah mengantisipasi soal ini. Dia sudah mendekati Partai Nasional Benteng Kerakyatan (PNBK) Indonesia, Partai Kebangkitan Nahdlatul Ulama (PKNU), dan Partai Buruh. ”Sinyal dari mereka positif,” kata Lieus.
Namun, ketika dihubungi Tempo, Ketua Umum PNBK Indonesia, Erros Djarot, malah mengaku belum tahu. Reaksi senada muncul dari Ketua Umum PKNU, Chairul Anam. ”Saya belum diajak bicara,” katanya. Kalaupun didekati, Anam tak terlalu antusias. ”Kami masih berkonsentrasi pada pemilihan legislatif,” katanya.
Perhitungan riil politik juga yang membuat kubu Sultan Hamengku Buwono sedang berpikir untuk mundur. Pasalnya, peluang Sultan untuk maju dari Partai Golkar bisa tertutup jika nekat ikut konvensi lembaga lain. ”Kalau sekadar direkomendasikan Dewan, kami bersedia,” kata Sukardi Rinakit, anggota tim sukses Sultan. ”Tapi, kalau harus diseleksi lagi,” ia menambahkan, ”Sultan tidak bisa ikut.”
Wahyu Dhyatmika, Sahala Lumbanraja, Eko Ari Wibowo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo