Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Rancangan KUHP dan Arogansi Intelektual

Herdiansyah Hamzah, anggota Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), mengkritik intelektual yang menjauhkan diri dari publik. Dapat melahirkan monster intelektual.

18 Agustus 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pandangan bahwa hanya ahli hukum yang memahami Rancangan KUHP adalah sikap arogansi intelektual.

  • Sikap ini akan melahirkan monster intelektual yang merasa paling benar dan antikritik.

  • Intelektual seharusnya berusaha sedekat mungkin dengan masyarakat.

Herdiansyah Hamzah
Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman dan Anggota Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arogansi intelektual adalah penyakit kaum intelektual yang harus kita amputasi. Ia tidak boleh dibiarkan menjalar dan menjangkiti kaum intelektual kita. Sekali arogansi intelektual ini dibiarkan berkembang biak, ia akan merusak moralitas kaum intelektual sekaligus membunuh perannya sebagai penjaga nalar publik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arogansi intelektual merupakan sikap menyombongkan diri dengan merendahkan orang lain. Ia merasa paling benar sendiri dan menyalahkan yang lain. Menurut kamus Merriam-Webster, arogansi dimaknai sebagai “sikap superioritas yang dimanifestasikan dengan cara yang sombong atau dalam klaim atau asumsi yang sombong”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arogansi berasal dari kata dasar “arogan”, yang diartikan sebagai “sombong; congkak; angkuh; mempunyai perasaan superioritas yang dimanifestasikan dalam sikap suka memaksa atau pongah”.

Apa jadinya jika kata arogansi ini disematkan kepada kaum intelektual? Hal itu akan sangat berbahaya dan menakutkan. Ia akan melahirkan “monster intelektual” yang merasa paling benar, antikritik, dan enggan mengakui kesalahan.

Alessandra Tanesini, dalam artikelnya, “‘Calm Down, Dear’: Intellectual Arrogance, Silencing, and Ignorance” (2016), menggambarkan betapa buruknya arogansi intelektual. Arogansi intelektual, kata dia, ditunjukkan oleh individu yang tidak menghargai giliran mereka dalam percakapan, suka menyela orang lain, menyombongkan prestasinya, tidak pernah mengakui kesalahan, atau berpikir bahwa dia selalu benar. Mereka juga tidak menenggang perbedaan pendapat dan malah mencoba mengintimidasi orang lain agar setuju dengan mereka.

Gejala Arogansi

Beberapa media nasional mengutip pernyataan Profesor Harkristuti Harkrisnowo, anggota tim perumus Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pernyataan itu memancing rasa cemas, setidaknya bagi kalangan intelektual muda. Menurut Harkristuti, “Perbedaan antara Rancangan KUHP dan KUHP yang sekarang hanya bisa dirasakan oleh ahli hukum. Sementara itu, orang awam hanya mengetahui bahwa Rancangan KUHP mengubah pasal-pasal penghinaan presiden, perzinaan, dan lain-lain.”

Sepintas pernyataan itu tampak tidak bermasalah jika dilihat dari sudut pandang akademis. Namun, dari sudut pandang publik, pernyataan ini jelas mengerdilkan peran setiap warga negara, khususnya mereka yang diberi cap sebagai “orang awam”. Demarkasi antara “ahli hukum” dan “orang awam” jelas membangun jarak yang sangat lebar dengan sang ahli berada di semacam menara gading keilmuan.

Klaim otoritas pemahaman Rancangan KUHP, yang seolah-olah hanya ada di tangan para ahli hukum, justru menafikan peran dan keterlibatan publik dalam pembentukan undang-undang. Padahal pemegang otoritas sesungguhnya ada di tangan publik, dan kelompok intelektual hanya bertugas sebagai “dapur pikiran”.

Dalam bingkai autokritik, ada kesan pernyataan tersebut mengarah pada gejala umum arogansi intelektual. Dari konteksnya, pernyataan ini merupakan pemicu untuk mempercepat pengesahan Rancangan KUHP. Hal ini menggambarkan sikap tergesa-gesa yang menghendaki KUHP baru, tapi sayangnya justru seolah-olah mengeliminasi ruang bebas publik untuk berpendapat.

Apa yang disebut “orang awam” sesungguhnya memiliki derajat yang sama dalam pembentukan undang-undang. Mereka harus diperlakukan sama tanpa pembedaan antara satu dan yang lainnya. Toh, pada dasarnya kebaikan publiklah yang menjadi jantung pembentukan undang-undang, bukan atas tafsir para ahli semata.

Meminjam istilah filsuf Jeremy Bentham, kebaikan publik hendaknya menjadi tujuan legislator; manfaat umum menjadi landasan penalarannya. Mengetahui kebaikan sejati masyarakat merupakan hal yang membentuk legislasi. Ilmu tersebut tercapai dengan menemukan cara untuk merealisasi kebaikan tersebut. Karena itu, otoritas pembentuk undang-undang hendaknya diletakkan di tangan publik, dan kaum intelektual bertanggung jawab untuk memastikan agar kehendak publik itu dapat diwujudkan.

Mengikis Arogansi

Jika memang ada jarak pemahaman yang cukup lebar antara kelompok intelektual dan publik secara luas, tugas kelompok intelektuallah untuk memperpendek jarak itu, bukan dengan mempertajam diksi “ahli hukum” dan “orang awam”, yang pada akhirnya hanya akan mempertajam jarak.

Kaum intelektual harus mampu meramu bahasa agar mudah dipahami oleh masyarakat. Dengan demikian, transfer ilmu dan pengetahuan dapat berjalan dengan baik. Bukankah tugas kaum intelektual adalah mencerdaskan kehidupan bangsa? Karena itu, ilmu dan pengetahuan tidak boleh menjadi kesenangan pribadi, tapi harus diabdikan sepenuhnya bagi kepentingan umat manusia.

Kaum intelektual harus mengikis sifat-sifat arogansi intelektual dengan mengatasi hal-hal sebagai berikut. Pertama, berjarak dengan publik. Seorang intelektual harus memangkas jarak agar sedekat mungkin dengan publik. Hanya dengan cara bersenyawa dengan publiklah segala macam persoalannya dapat kita pahami.

Kedua, merasa paling benar. Seorang intelektual sejati harus terbuka terhadap kritik. Mereka harus membuka pintu kritik selebar-lebarnya sebagai mekanisme koreksi terhadap tindakannya, termasuk untuk tidak bereaksi berlebihan atas kritik yang dialamatkan kepadanya.

Ketiga, cenderung menggurui. Seorang intelektual harus mampu memposisikan dirinya sebagai pembicara sekaligus pendengar yang baik. Mereka menjadi guru sekaligus murid. Mereka mengetahui dengan baik kapan harus berbicara dan kapan mendengarkan.

Keempat, sulit menerima pendapat orang lain. Seorang intelektual harus toleran dengan pendapat orang lain dan bahkan dengan pendapat yang berbeda sekalipun. Seperti kata Voltaire, “Saya tidak setuju dengan apa yang Anda katakan, tapi saya akan membela sampai mati hak Anda untuk mengatakannya.”

Kelima, tidak independen. Watak arogansi intelektual cenderung muncul akibat independensi yang goyah. Dalam banyak kasus, iman kaum intelektual mudah patah jika berhadap-hadapan dengan kekuasaan. Di bawah kendali kuasa, kaum intelektual kehilangan kewarasan.

Hanya dengan mengatasi hal-hal tersebut, kaum intelektual dapat mengikis arogansi. Dengan begitu, mereka akan berpegang teguh pada prinsip-prinsip intelektual yang berdiri pada barisan paling depan dalam membela kepentingan publik.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus