Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Bab persekongkolan sayidina ali

Fuad moch fahruddin menjelaskan tujuan seminar tentang syiah yang diselenggarakan alumni timur tengah. pendiriannya terhadap ali ra., masalah jabatan khalifah setelah usman terbunuh & menuduh alwi orang syiah.

20 Februari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO, 23 Januari, Agama, memuat reportase seminar sehari, yang diselenggarakan alumni Timur Tengah. Sejumlah reaksi pun bermunculan (TEMPO, 6 Februari). Tujuan seminar itu, mencari kebenaran dan menunaikan amanat agama. Ini untuk meluruskan akidah guna rnenyelamatkan umat dari gangguan yang menggelisahkan dan menimbulkan keragu-raguan. Sasaran kami bukan politik, tetapi agama. Jangan sampai agama dipolitikkan, seperti pernah terjadi dalam sejarah, sehingga timbul golongan Syiah dan lain-lain. Kami tidak melebar-luaskan soal politik seperti itu. Kami hanya mempunyai tugas menegakkan Islam yang sebenarnya. Kami mengakui, Sayidina Ali ra. sebagai seorang sahabat terdekat Rasulullah saw. dalam bermacam segi. Tetapi beliau bukan seorang nabi, yang harus mendapatkan sebutan alaihish shalatu wassalamu. Namun, golongan Syiah menggunakan sebutan itu untuk Sayidina Ali ra. Dalam tulisan itu, nama saya dibawa-bawa dengan cara lain. Misalnya pendirian saya mengenai Sayidina Ali karramallahu wajhahu. Kami tidak pernah mengatakan bahwa dalam Perang Unta (36 H./656 M.), Ali bersekongkol mengejar ambisi pribadi. Itu di-quote salah. Sebaiknya, perhatikan teks asli makalah saya secara jujur. Dengan demikian pendirian saya dapat ditangkap dengan baik dan tidak disalahgunakan. Saya mengatakan, perselisihan yang timbul, waktu itu, telah membawa satu krisis yang perlu diperhatikan secara serius dengan kepala dingin dan dada lapang. Hendaknya soal itu ditinjau dari segi fakta dan agama. Ada alasan yang mendasar dan penuh keimanan Islami. Saudara Alwi Shihab bertanya seraya menuduh secara a priori bahwa saya seorang Khawarij. Tuduhan itu tidak wajar, tidak fair, dan tak tepat. Mungkin, sebagai orang Syiah, ia membalas tanggapan saya mengenai Ali ra. Ia mempertanyakan saya ini keluar dari golongan apa. Karena Khawarij, di masa lalu tentunya keluar dari golongan Alwi/Syiah. Sebab, yang ada hanyalah Khawarij di satu pihak, dan Syiah di pihak lain. Sebenarnya, saya tidak berpikir sejauh itu, karena Saudara Alwi sendiri, seusai seminar, datang dan menyalami saya seraya minta maaf. Namun, ia kemudian membangkitkan soal itu kembali di TEMPO. Saya tetap berpegang pada pendirian saya itu dan untuk itu saya tetap bertanggung jawab. Sebab, saya berpegang pada pendirian agama, fakta, dan logika, dengan menyingkirkan perasaan, cinta, dan hubungan keluarga. Sebab, ini soal ilmiah. Karenanya, secara ilmiah pula, Saudara Alwi bertanya. Misalnya, "Saudara Fuad Fachruddin mengatakan 'kurang Islami', mana pula yang dikatakan 'Islami' itu?" Kalau itu pertanyaannya, maka saya akan menjawab secara ilmiah dan bukan mengembalikan hal itu kepada Saudara Alwi dengan kedudukannya sebagai keluarga golongan Alawiyiin (Syiah). Perhatikanlah sejarah. Sayidina Ali ra. diangkat oleh para pemberontak setelah Sayidina Utsman ra. terbunuh. Maka, bai'at tak dilakukan seperti biasanya. SayidinaAli menjadi kepala negara revolusioner. Para sahabat kebanyakan bersikap abstain. Mereka, antara lain, Abdullah bin Umar, Hasan bin Tsabit. Sedangkan sebagian lagi, misalnya Thalhah bin Zubeir, bahkan Siti Aisyah rodhiallahu 'anha (ra.) ikut memerangi Sayidina Ali dengan bergabung kepada pasukan Muawiyah. Thalhah bin Zubeir gugur dalam Perang Unta (Jamal) dan Siti Aisyah ra. diantar pulang oleh Sayidina Ali. Siapa Siti Aisyah ra. kita semua mengetahui dan beliau seorang yang berilmu pengetahuan agama. Mengapa itu terjadi? Tentu ada persoalan yang menjadikan Siti Aisyah ra. dan para sahabat lainnya mengambil pendirian seperti itu . Tetapi kita tak dapat mengatakan, golongan mayoritas, termasuk di dalamnya Siti Aisyah ra., bersalah. Itu tak fair. Pendirian saya, kalau tidak mereka yang bersalah, tentu, Ali ra. Sebab, Ali ra. bukan manusia maksum. Sehingga, mungkin Ali bersalah. Sebab, para sahabat lain pun pernah berbuat salah. Menurut analisa saya, permasalahnnya sebagai berikut. Sayidina Ali ra. seharusnya tidak menerima jabatan khalifah itu begitu saja. Pertama-tama, sebaiknya, ia menyelesaikan dahulu persoalan yang ada waktu itu. Antara lain, masalah terbunuhnya Khalifah Utsman ra., karena Sayidina Utsman bukan manusia sepele. Ia seorang di antara para sahabat yang banyak jasanya. Lagi pula, ia menantu Rasulullah saw., karena dua putri Rasulullah saw. dikawini Sayidina Utsman. Bahkan, setelah istri keduanya meninggal, Rasulullah saw. bersabda kepada Sayidina Utsman ra.,"Sekiranya aku mempunyai putri yang ketiga, pasti akan aku kawinkan dengan engkau." Untuk mengatasi keadaan dan persoalan itu, seharusnya, diangkat dulu "penjabat" khalifah sampai soal-soal keruh yang dihadapi kaum Muslimin itu diselesaikan. Baru kemudian diadakan bai'at, mengangkat pengganti Khalifah Utsman. Sekalipun yang akan diangkat itu, tiada lain, Ali ra. juga. Ini akan lebih mengukuhkan kedudukan Sayidina Ali ra. Apalagi ada tuduhan bahwa Sayidina Ali ra. berkomplot dalam pembunuhan Khalifah Utsman. Itu semua hendaknya dijernihkan dahulu, sehingga jabatan yang diterima Ali ra. itu benar-benar wajar, pada tempatnya, dan memen-hi syarat yang diinginan Islam . Sayidina Ali ra., waktu menerima jabatan khalifah sekurang-kurangnya harus berjanji kepada Muawiyah. Bahwa ia akan menyelesaikan soal pembunuhan atas Utsman dan akan meneliti secara tuntas sampai diketahui siapa pembunuhnya dan dijatuhi hukuman secara Islami yang wajar. Sayidina Ali ra. adalah orang pertama yang bertanggung jawab atas masalah itu sebagai khalifah. Juga, berdasarkan hubungan tali-temali beliau dengan Utsman. Apalagi korban pembunuhan itu seorang khalifah. Ada masalah yang sangat meragukan dan senantiasa menjadi persoalan dalam sejarah sehubungan dengan pengangkatan Ali ra. sebagai khalifah oleh pemberontakan. Juga penerimaannya atas jabatan itu tanpa syarat serta tidak ikutnya para sahabat membai'at beliau atau bahkan ada yang menentangnya. Sayidina Ali ra. menyaksikan timbulnya kelompok pro terhadap beliau (Syiah), yang a priori sudah memihak dan membentuk kelompok terpisah dari golongan Islam lainnya. Bahkan, telah menimbulkan kesukaan jahiliyah dengan timbulnya kelompok pro- Utsman/Muawiyah. Ini disadari Sayidina Ali ra., yang berada dalam lapangan dan kancah pertikaian. Penyelesaian yang Islami, menurut saya, sebagai berikut. Allah swt. telah menentukan segala sesuatu dalam kitab suci-Nya, Quran. Jangan sampai terjadi perang saudara dan menghancurkan umat Islam. Karena itu, Allah memerintahkan, agar kembali kepada Dia dan Rasul-Nya, jika ada perselisihan dalam bentuk apa pun. Ayat-ayat suci dalam hubungan itu sangat banyak. Islam menyuruh melakukan musyawarah sebagai satu sistem hidup untuk mendapatkan kata sepakat dalam menyelesaikan segala persoalan secara damai dan persaudaraan serta tak merugikan umat. Sayidina Ali ra. dalam menerima kepemimpinan negara hendaklah bersifat demokratis. Bisa menerima segala pendapat yang ada dan menyelesaikan persoalan dengan bijaksana. Apalagi, ketika itu, para sahabat masih banyak yang hidup dan dapat diikutsertakan. Apalagi, tidak pernah ada pertikaian antara Aii ra. dan Muawiyah sebelum terbunuhnya Khalifah Utsman. Artinya, sebelumnya memang terdapat kesatuan dan persaudaraan yang utuh teguh. Secara Islami, Muawiyah tidak mempunyai alasan lagi dan harus tunduk sekiranya Sayidina Ali ra. berjanji akan menyelesaikan soal pembunuhan Khalifah Utsman. Satu-satunya tuntutan Muawiyah adalah penyelesaian masalah itu. Saya bukan tak mencintai Ali ra. Saya lebih mencintai beliau. Karenanya, saya menjaga jangan sampai beliau terjerumus ke jurang pertikaian. Akibatnya, timbul kelompok-kelompok baru yang promanusia tertentu dan anti-Islam secara keseluruhan. Bahkan ada yang mengafirkan tiga khalifah sebelum Ali ra. dengan alasan bukan berdasarkan Islam. Berdasarkan rentetan paket tindakan yang kurang Islami itu, telah muncul satu sejarah yang berubah sifatnya. Dari masa Rasulullah saw. dan dua khalifah sebelum Sayidina Ali ra. Dengan demikian, para ahli sejarah berpendapat bahwa "sejarah Islam yang murni" adalah hanya sampai berakhirnya Khalifah Umar bin Khattab ra. Masa sesudah itu boleh dibilang "masa fitnah yang besar". Saudara Alwi Shihab mengatakan, ia bukan Syiah melainkan Suni. Ini terasa, ada udang di balik batu. Ia, tampaknya, melakukan taqiyah, menyembunyikan coraknya. Tetapi orang sudah mengetahui siapa dia sebenarnya. Ia, mungkin, khawatir perusahaannya, pengirim TKW ke Arab Saudi, akan menimbulkan salah paham bagi pemerintah Arab Saudi. PROF.DR. FUAD MOHD. FACHRUDDIN Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus