Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Pesan yang disampaikan oleh seorang ahli strategis komunikasi haruslah berbasis fakta, bukan tipu muslihat.
Pendengung bayaran sering menciptakan narasi tandingan untuk mengaburkan fakta.
Dalam sistem demokrasi modern, kebutuhan akan informasi yang tepat adalah hak asasi publik.
MASUKNYA buzzer alias pendengung ke pemerintahan Prabowo Subianto mencerminkan buruknya manajemen negara. Prinsip "the right man on the right place" kerap dikesampingkan demi kepentingan politik balas jasa. Polemik soal ini kembali mencuat setelah Kementerian Komunikasi dan Digital merekrut pendengung untuk memoles citra pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 13 Januari 2025, Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid melantik Rudi Sutanto alias Rudi Valinka sebagai Staf Khusus Menteri Bidang Strategis Komunikasi. Rudi, yang dikenal sebagai pemilik akun media sosial X dengan nama pengguna @Kurawa, telah lama dianggap sebagai pendengung pada era pemerintahan Joko Widodo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meutya berdalih bahwa Rudi dipilih berdasarkan rekam jejaknya sebagai ahli strategi komunikasi. Namun fakta menunjukkan hal berbeda. Rudi adalah lulusan sarjana akuntansi dari sebuah sekolah tinggi di Jakarta dengan pengalaman kerja lebih banyak di bidang perkebunan, pengelolaan, dan kegiatan operasional pelabuhan—jauh dari keahlian strategis komunikasi.
Jabatan strategis komunikasi membutuhkan kompetensi untuk menyampaikan pesan kepada audiens secara sistematis guna mencapai tujuan tertentu. Pesan yang disampaikan oleh seorang ahli strategis komunikasi haruslah berbasis fakta, bukan tipu muslihat. Namun kegiatan strategis komunikasi yang dijalankan oleh pendengung sering bertolak belakang dengan prinsip ini. Mereka cenderung memanipulasi opini publik melalui narasi yang menyesatkan.
Pendengung bayaran sering menciptakan narasi tandingan untuk mengaburkan fakta, terutama ketika kebijakan pemerintah menuai kritik. Dengan jumlah pengikut yang besar di media sosial, mereka memiliki kemampuan menggiring opini masyarakat. Jika kementerian memberikan ruang bagi praktik semacam ini, yang dirugikan adalah publik.
Kementerian Komunikasi, yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menyediakan informasi akurat dan menyaring hoaks, justru terperosok menjadi alat propaganda murahan. Langkah ini merendahkan muruah kementerian sebagai lembaga negara. Sebagai institusi yang bertanggung jawab dalam mengatur ketersediaan informasi yang benar dan relevan, kementerian semestinya berfungsi sebagai penjaga demokrasi. Dalam sistem demokrasi modern, kebutuhan akan informasi yang tepat adalah hak asasi publik.
Sejak era pemerintahan Joko Widodo, politik balas jasa seperti ini telah menjadi pola. Tidak sedikit pendengung yang ditempatkan dalam posisi strategis, termasuk sebagai komisaris di badan usaha milik negara. Contohnya adalah Kristia Budiyarto alias Dede Budhyarto, pemilik akun X, @kangdede78, yang menjadi Komisaris PT Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni) sejak 2020.
Latar belakang pendidikan Kristia pun menjadi sorotan setelah Universitas Hasanuddin, Makassar, membantah klaim bahwa ia adalah alumnusnya. Padahal Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN mengatur bahwa komisaris wajib memiliki kompetensi yang memadai di bidang usaha perseroan. Tanpa kompetensi yang jelas, sulit mengharapkan komisaris mampu menjalankan tugas utamanya dalam mengawasi dan memberikan nasihat soal kegiatan operasional BUMN.
Melibatkan pendengung dalam struktur kementerian mengingatkan kita pada Kementerian Pencerahan Publik dan Propaganda di era Adolf Hitler, yang bertujuan menyesatkan opini publik demi kepentingan kekuasaan. Indonesia seharusnya belajar dari sejarah kelam tersebut. Pemerintahan yang kredibel dan demokratis tidak akan pernah terwujud jika praktik buruk seperti itu terus berulang. ●