Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Antoni Putra
Peneliti di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan, kini memasuki babak baru. Tim gabungan pencari fakta (TGPF) kasus Novel, yang dibentuk Kepala Kepolisian RI, Jenderal Tito Karnavian, enam bulan lalu, telah selesai bekerja. Hasilnya, tim merekomendasikan agar dibentuk tim teknis lapangan yang akan bekerja selama tiga bulan sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pembentukan tim teknis ini memicu kontroversi. Sebagian mendukung dengan alasan pembentukan tim itu adalah bukti dari komitmen negara dalam mengupayakan penegakan hukum yang berkeadilan untuk Novel.
Sebagian lagi menolak karena pembentukan tim itu dilakukan hanya untuk meredam kritik dalam pengungkapan kasus Novel karena hasilnya sudah dapat ditebak, yakni tidak akan menghasilkan apa-apa. Anggapan ini tidak sepenuhnya salah karena hal serupa pernah terjadi, seperti kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia, Munir Said Thalib. Meski TGPF kasus Munir telah dibentuk dan selesai bekerja, hasilnya tidak pernah diungkap ke publik. Hingga kini, otak dari pembunuhan Munir belum terungkap.
Menurut saya, tidak ada yang salah dengan pembentukan tim teknis tersebut sepanjang bertujuan menegakkan keadilan untuk Novel. Apalagi mengingat serangan yang diterima Novel memiliki efek domino yang panjang. Bila terungkap, kasus ini akan menjadi pintu untuk mengungkap kasus teror lain terhadap KPK. Terungkapnya kasus tersebut juga akan menjadi pemantik semangat bagi banyak pihak untuk terus berjuang melawan korupsi dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap kepolisian.
Sebaliknya, bila kasus tersebut gagal diungkap, itu menjadi kekalahan negara karena telah gagal melawan teror terhadap orang-orang yang berjuang melawan korupsi. Kegagalan penegak hukum dalam mengungkap kasus Novel juga akan berbuntut panjang terhadap upaya pemberantasan korupsi. Pihak-pihak yang selama ini berjuang dalam memberantas korupsi akan waswas dan selalu merasa terancam keselamatannya karena penegak hukum tidak mampu memberikan rasa aman.
Kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan terjadi pada 11 April 2017 setelah Novel salat subuh di Masjid Ihsan di dekat rumahnya, di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Ia diserang oleh dua orang tidak dikenal yang berboncengan dengan sepeda motor. Akibatnya, mata kiri Novel rusak parah.
TGPF kasus Novel telah bekerja keras selama enam bulan. Walaupun gagal mengungkap pelaku, tim punya beberapa temuan yang dapat ditindaklanjuti oleh tim teknis.
Satu-satunya kegagalan TGPF yang patut disoroti adalah menghadirkan fakta. Dalam pemaparannya, tim malah menyatakan Novel telah menggunakan kekuasaan secara berlebihan dan motif dari pelaku penyerangan adalah balas dendam. Tim menyebutkan enam kasus yang diduga menjadi penyebab penyerangan terhadap Novel, yakni kasus korupsi KTP elektronik, korupsi mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi, korupsi mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Muchtar, korupsi mantan Bupati Buol Amran Batalipu, korupsi Wisma Atlet, dan penembakan pencuri sarang burung walet di Bengkulu.
Temuan tersebut hanya berupa dugaan karena "menyerang" pribadi Novel, yang dalam kasus ini menjadi korban. Jangan sampai upaya penegakan hukum yang dilakukan untuk Novel malah melukai semangat pemberantasan korupsi itu sendiri.
Menyatakan Novel telah menjalankan kewenangannya secara berlebihan sehingga kasus penyiraman itu terjadi sejatinya sama saja dengan menyerang KPK secara tidak langsung. Bila Novel yang disalahkan, itu akan berdampak luas terhadap mental penyidik lain KPK dalam memberantas korupsi karena penegak hukum telah gagal memberikan rasa aman kepada mereka yang berjuang memberantas korupsi.
Jika melihat kinerja penegak hukum saat ini, ada kekhawatiran kasus Novel tidak akan terungkap. Apalagi mengingat kasus tersebut sudah terjadi lebih dari 800 hari.
Setidaknya terdapat dua kemungkinan yang berkaitan dengan penegakan hukum terhadap kasus Novel. Pertama, memang pelaku sulit diungkap sehingga penegak hukum membutuhkan waktu yang lama untuk mengetahui siapa pelakunya. Kedua, sebenarnya penegak hukum hanya bermain-main, sementara kasus tersebut memang sengaja didiamkan.
Bila kemungkinan pertama yang terjadi, lambat laun pelakunya pasti terungkap. Sebaliknya, bila kemungkinan kedua yang terjadi, Novel tidak akan pernah mendapatkan keadilan. Dalam hal ini, kinerja penegak hukum akan stagnan tanpa membuahkan hasil. Terlihat terus berjalan tapi hasilnya tidak ada. Mereka hanya menunggu waktu masyarakat lupa akan kasus tersebut atau menemukan "kambing hitam".
Terlepas dari hal itu, kita yakin kepolisian akan memberikan hasil yang memuaskan. Kita tidak bisa berhenti berharap karena kalau bukan kepada mereka, kepada siapa lagi kita akan berharap agar keadilan dalam kasus Novel segera terungkap?
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo