PEGAWAI negeri pada kantor Departemen Koperasi Bojonegoro, Jawa Timur, akhir bulan lalu mendadak harus diambil sumpahnya lagi oleh kepala kantornya, Noersodik, B.Sc. Kasus yang baru pertama kali terjadi itu - karena karyawan pemerintah sudah diambil sumpahnya ketika diangkat pertama kali sebagai pegawai negeri - berlangsung di sebuah ruangan kantor itu lengkap dengan seorang petugas dari kantor Pengadilan Agama Bojonegoro. Satu per satu karyawan yang berjumlah 43 orang itu diambil sumpahnya dengan Alquran di atas kepalanya. Bunyi sumpah itu antara lain: "Apabila saya membocorkan rahasia yang ada dalam kantor Departemen Koperasi Bojonegoro, maka saya siap dilaknat Tuhan, termasuk seluruh keluarga saya." Sebelum meninggalkan ruangan, masing-masing harus membubuhkan tanda tangannya di atas kertas sumpah tadi. Acara pengambilan sumpah yang makan waktu hampir satu hari kerja itu terhitung tidak biasa. "Sumpah itu sangat terpaksa kami lakukan, terlalu berat bagi kami maupun keluarga," ujar beberapa orang karyawan kantor koperasi yang tidak mau disebut namanya. "Tidak main-main, Mas. Soalnya ada embel-embel laknat Tuhan segala," tambah yang lain. Tapi hampir semua karyawan tidak mengetahui latar belakang pengambilan sumpah itu. Tapi bagi Noersodik, perintah pengambilan sumpah atas pegawainya itu bukan tanpa alasan. "Benar, saya sudah tidak punya cara lain dan jengkel karena di kantor ini sudah sering terjadi kehilangan. Biar sekalian mereka kena laknat Tuhan," ujar Noersodik, 42, di ruang kerjanya, memberi alasan sewaktu ditemui Jalil Hakim dari TEMPO. "Bukan hanya dokumen-dokumen penting saja yang hilang, melainkan sampai duit yang saya simpan di dalam laci ini," tambah Noersodik dengan nada tinggi. Dokumen yang dimaksud berisi catatan tentang ribuan ton pupuk yang disimpan di luar gudang koperasi. "Semua karyawan sudah saya tanya, tapi tidak ada yang mengaku, padahal kehilangan itu bukan untuk yang pertama kalinya," kata Noersodik, yang telah tiga tahun memegang jabatan itu. Seminggu sebelum pengambilan sumpah, katanya, dia sudah mengingatkan pegawai untuk mengembalikan uang dan dokumen yang dicuri. Jika malu, bisa mengembalikannya secara diam-diam. Menurut pengakuan Noersodik, usahanya itu ternyata berhasil. Uang Rp 650 ribu kembali utuh walaupun lembaran-lembarannya sudah berubah. Sedangkan dokumennya tidak kunjung kembali. "Akhirnya, saya putuskan untuk melakukan sumpah, biar mereka kapok kalau nanti ada apa-apa," kata Noersodik tegas. "Masih mendingan bukan sumpah pocong yang saya pakai 'kan lebih berat," sambungnya. Mengapa kasus kehilangan dokumen dan uang itu tak dilaporkan kepada polisi? "Buat apa lapor ke polisi? Sudah sering saya laporkan, tapi hasilnya tetap nihil. Jadi, lebih baik diurus sendiri," kata lulusan Akademi Koperasi Yogyakarta ini. "Saya tahu bahwa mereka telah disumpah, ketika diangkat sebagai pegawai negeri, tapi ini saya lakukan untuk kalangan dalam saja. Dan saya siap menerima tindakan apa pun yang diberikan, jika saya dianggap bersalah." Yang jelas, "Saya sudah sering dibuat jengkel. Dan, saya harus bertindak ekstra keras selama memimpin kantor ini," tambahnya. Pengambilan sumpah itu memang inisiatif Noersodik sendiri. "Selama ini kami tidak pernah menurunkan kebijaksanaan seperti itu," tutur Drs. H. Rosmawi Hasan, Kakanwil Koperasi Jawa Timur. "Mungkin saja waktu itu dia sedang grogi, sehingga memutuskan untuk mengambil sumpah." Grogi atau tidak, yang jelas sumpah Noersodik itu, oleh sementara pihak, dianggap keterlaluan. "Itu sudah kelewatan. Untuk apa dilakukan sumpah semacam itu walaupun untuk kalangan intern?" tutur Hadi Suryanegara, anggota DPRD dari F-PDI. Makna sumpahnya toh sama saja dengan sumpah Korpri, hanya sumpah kali ini ada kata-kata laknat Tuhan, dan ini sudah tidak benar. Yang sangat disayangkan adalah ikut tersangkutnya anggota keluarga pegawai tersebut. "Apa salah mereka yang di rumah, kok ikut pula terbebani untuk terkena laknat Tuhan?" tanya Hadi sungguh-sungguh. Rudy Novrianto Laporan Jalil Hakim (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini