Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Indonesia diperkirakan akan menikmati bonus demografi hingga 2030.
Namun masih sedikit penduduk usia produktif yang mengenyam pendidikan tinggi.
Pandemi Covid-19 mempercepat revolusi industri 4.0.
Agus Sartono
Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Pendidikan dan Moderasi Beragama Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hasil sensus penduduk pada September 2020 menunjukkan, selama sepuluh tahun terakhir, jumlah penduduk Indonesia meningkat hingga 32,56 juta hingga mencapai 270,20 juta jiwa. Jumlah penduduk yang sangat besar ini didominasi (70,72 persen) oleh penduduk usia produktif (15-64 tahun). Besarnya proporsi penduduk usia produktif inilah yang kemudian membuat Indonesia dikatakan akan menikmati bonus demografi hingga 2030.
Jika kita lihat lebih detail, komposisi penduduk Indonesia saat ini terbagi menjadi tiga generasi, yaitu generasi X (kelahiran 1965-1980), generasi Y (kelahiran 1981-1996), dan generasi Z (kelahiran 1997-2012). Generasi X masih memegang peranan penting saat ini. Namun, pada 25 tahun mendatang, mereka akan masuk kategori orang lanjut usia. Adapun generasi Y (25,78 persen) saat ini menjadi generasi paling produktif dan sangat familiar dengan Internet of things serta mampu mengerjakan banyak tugas dalam satu waktu (multitasking). Generasi Z saat ini masih duduk di bangku kelas III sekolah dasar hingga baru saja lulus kuliah. Masa depan Indonesia ada di tangan generasi Z, yang pada 2045 (Indonesia Emas) akan memegang peranan penting dalam pemerintahan dan segala sektor penting lainnya.
Dari profil angkatan kerja, sebagian besar generasi X hanya berpendidikan sekolah dasar. Hal ini terkait dengan program SD inpres yang baru dilaksanakan pada 1973 sebagai bentuk perluasan layanan pendidikan dasar. Program ini memang ditargetkan untuk mengurangi angka buta huruf, sehingga sebagian besar penduduk usia sekolah pada kurun waktu tersebut ditargetkan minimal lulus sekolah dasar.
Mayoritas generasi X bekerja di sektor pertanian yang hingga saat ini masih banyak dilakukan dengan cara manual dan mesin sederhana. Sektor pertanian tersebut tidak menarik bagi generasi milenial atau generasi Y, yang lebih memilih bekerja di sektor lain yang lebih banyak menggunakan kompetensi mereka di bidang Internet of things dan pekerjaan lain yang tidak harus banyak menggunakan tenaga fisik. Kondisi ini membuat percepatan mekanisasi dan automasi pertanian menjadi hal penting yang harus segera dilakukan. Keterlambatan akan berdampak sangat buruk pada ketahanan dan kemandirian pangan. Dengan tren laju pertumbuhan penduduk 1,25 persen per tahun, penduduk Indonesia akan mencapai 310 juta jiwa pada 2045. Hal ini juga akan meningkatkan kebutuhan pangan. Rendahnya minat generasi milenial terhadap sektor pertanian dan masifnya konversi lahan pertanian akan membuat kita bergantung pada impor. Kondisi ini merupakan salah satu bentuk bencana demografi.
Pandemi telah membuat revolusi industri 4.0 lahir lebih cepat karena semua sektor dipaksa menyesuaikan diri sebagai akibat dari disrupsi. Semua sektor yang berbasis manual beralih pada kegiatan berbasis digital, dari sektor pendidikan, ekonomi, hingga layanan kesehatan. Internet menjadi kebutuhan pokok masyarakat dalam menjalani kehidupan dengan gaya hidup baru yang muncul akibat pandemi.
Kondisi yang tidak menentu karena pandemi membuat berbagai keputusan harus diambil dengan cepat untuk merespons fluktuasi angka kasus Covid-19. Kebijakan pemerintah yang kerap kali berubah untuk mengantisipasi lonjakan angka kasus juga berdampak pada mekanisme operasional sektor lain, terutama yang berkaitan dengan logistik, transportasi, dan pendidikan. Setelah lebih dari satu tahun ajaran proses pembelajaran dilakukan secara daring, para siswa, guru, dan orang tua mendesak agar satuan pendidikan segera dibuka untuk penyelenggaraan pembelajaran tatap muka. Desakan ini bukan tidak beralasan, mengingat banyaknya kendala yang dihadapi selama pembelajaran jarak jauh, dari keterbatasan infrastruktur dan jaringan Internet hingga rendahnya kepemilikan gawai.
Kondisi ini menjadi potret seberapa jauh kesiapan kita dalam menyongsong revolusi industri 4.0. Apalagi jika dikaitkan dengan lonjakan demografi Indonesia pada beberapa tahun ke depan. Besarnya angka penduduk usia produktif tidak serta-merta dapat kita katakan sebagai bonus demografi. Banyak hal yang harus diupayakan agar angka yang besar ini dapat benar-benar menjadi bonus, bukan sebaliknya. Dari 72,72 persen penduduk usia produktif, ternyata hanya 13 persen yang mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi. Sedangkan sisanya didominasi oleh lulusan sekolah menengah pertama dan 25 persen di antaranya lulusan SMA/SMK. Dengan profil angkatan kerja seperti ini, produktivitas nasional dipastikan jauh tertinggal bila dibanding negara maju, yang angkatan kerjanya didominasi oleh lulusan pendidikan tinggi.
Tantangan selanjutnya adalah ketersediaan lapangan kerja. Sebagai gambaran, setiap tahun terdapat 3,7 juta anak lulus dari SMA/SMK/MA. Keterbatasan daya tampung perguruan tinggi, tingginya biaya pendidikan tinggi, dan kemampuan akademik secara otomatis menyeleksi anak-anak yang dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Setiap tahun, rata-rata sekitar 1,9 juta anak dapat masuk ke perguruan tinggi, sedangkan 1,8 juta lainnya harus masuk pasar tenaga kerja. Pada saat yang sama, setiap tahun terdapat 1,65 juta lulusan perguruan tinggi. Jadi, setidaknya terdapat 3,45 juta pencari kerja baru setiap tahun, yang terdiri atas lulusan pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.
Lantas, apakah lapangan kerja yang ada dapat menampung mereka semua? Badan Pusat Statistik mencatat saat ini terdapat 8,75 juta pengangguran (Februari 2021). Dengan kondisi ini, setidaknya diperlukan 12,2 juta lapangan kerja. Sementara itu, transformasi digital dan revolusi industri 4.0 mengakibatkan perubahan struktural di dunia kerja. World Economic Forum (2020) menunjukkan data bahwa setidaknya 80 persen pekerjaan di dunia akan digantikan dengan mesin-mesin canggih dan 50 persen menggunakan automasi. Untuk mengantisipasi kondisi ini, kita harus mampu menciptakan pekerja yang siap dengan digitalisasi, automasi, dan kecerdasan buatan. Para pekerja perlu berlatih lagi bahkan berganti keterampilan untuk terus dapat bertahan di tempat kerjanya.
Kondisi tersebut membutuhkan perhatian serius dari pemerintah. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi harus bersiap segera mendesain ulang konten pendidikan tinggi, yaitu dengan membekali mahasiswa dengan kewirausahaan. Dengan bekal kewirausahaan yang cukup, diharapkan tidak semua lulusan pendidikan tinggi akan menjadi pencari kerja baru. Mereka dapat menciptakan lapangan kerja untuk menyerap pencari kerja, baik dari lulusan perguruan tinggi maupun pendidikan menengah.
Pemerintah harus menyiapkan kewirausahaan sehingga angka pengangguran tidak semakin besar. Pembangunan kawasan ekonomi baru dan pengembangan industri yang bersifat intensif pekerja masih diperlukan. Revitalisasi pendidikan dan pelatihan vokasi yang telah dijalankan sejak 2016 perlu mendapat perhatian serius. Keterlambatan dan kegagalan mencetak kewirausahaan baru dapat menjadi bencana demografi saat merayakan Indonesia Emas 2045.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo