Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Bahasa Indonesia = Bahasa Melayu?

24 Maret 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Soenjono Dardjowidjojo

  • Visiting Professor Universiti Malaya

    Ditelusuri dari kekerabatannya, bahasa Indonesia termasuk dalam satu rumpun bahasa yang sama dengan bahasa Melayu: rumpun Austronesia. Pada umumnya orang masih saja merasa bahwa kedua bahasa ini sama. Tetapi, kalau kita lihat lebih mendalam, akan kita rasakan bahwa bahasa Indonesia dan bahasa Melayu sudah makin jauh berbeda. Kedua bahasa ini tidak lagi memiliki interchangeability yang tinggi. Orang Indonesia paling rasanya hanya dapat memahami 55 persen sinetron Malaysia dan 85 persen warta berita di TV. Kalau mereka berbicara antara mereka sendiri, kita hanya mengerti maksimal 70 persen dari pembicaraan itu. Begitu juga orang Malaysia: mengalami kesukaran bila menyaksikan sinetron Indonesia di TV Malaysia atau memahami kita berbicara. Mari kita lihat apa yang sedang terjadi dengan kedua bahasa ini.

    Dari segi tata bunyi, kita tahu bahwa semua bunyi [a] bahasa Indonesia diucapkan sebagai bunyi pepet [e] pada akhir kata terbuka bahasa Melayu—saya menjadi saye, cinta menjadi cinte. Di samping itu, tekanan kata dan intonasi bahasa Melayu juga berbeda sehingga dalam waktu detikan saja kita sudah dapat mendeteksi bahwa yang sedang kita dengarkan adalah bahasa Melayu.

    Dari segi bentukan kata, kita temukan pula pemakaian afiks yang berbeda. Apa yang dalam bahasa Indonesia dipakai sufiks –i, dalam bahasa Melayu dipakai sufiks –kan: memulai menjadi memulakan. Sebaliknya bahasa Indonesia memakai –kan, tapi bahasa Melayu memakai –i: merasakan menjadi merasai. Ada pula afiks yang ditanggalkan dalam bahasa Melayu: digugur (tanpa –kan). Kebalikannya juga ada: bahasa Indonesia menjadi bahasa Melayu: berkhawin.

    Dari segi sintaksis, bahasa Indonesia dan bahasa Melayu memang masih mempunyai banyak kemiripan, tetapi ada bentuk-bentuk sintaksis yang asing bagi kita. Kita kesukaran memahami kalimat seperti Mereka akan terus berjuang sama ada disetujui kerajaan. Pada tataran frasa juga sama: kita mengerti kata-katanya, tapi tidak tahu maknanya. Pada lift kita temukan tulisan Orang Kurang Upaya—orang cacat. Kantor polisi daerah disebutnya Ibu Pejabat Polis Daerah; Visiting Professor dinamakan Profesor Pelawat.

    Dari segi kosakata, bahasa Melayu memiliki banyak sekali kata yang tidak ada pada bahasa Indonesia: seronok, teruk, bomba. Ada pula kata-kata yang sama tetapi maknanya berbeda: katil pada bahasa Melayu berarti ranjang, duduk berarti tinggal. Sepeda, mobil, sopir, dan tukang copet masing-masing mereka namakan sikal, kereta, pemandu, dan penyeluk saku. Juga ada kata-kata bahasa Melayu yang tidak atau jarang dipakai lagi di bahasa Indonesia: kasut (= sepatu), bilik (= ruang), kedai (buku), balik (= kembali).

    Dari contoh-contoh di atas tampak bahwa bahasa Melayu sudah tidak lagi menjadi saudara dekat dari bahasa Indonesia. Masing-masing telah berkembang sendiri-sendiri. Rasanya, ada dua penyebab utamanya. Pertama, penjajah kedua negara itu berbeda filosofinya sehingga meninggalkan pandangan hidup yang berbeda pula. Orang Melayu merasakan adanya manfaat dari penjajah Inggris, terutama dalam bidang pendidikan, sehingga sampai sekarang pun orientasi mereka tetap saja ke Britain. Karena itu, banyak kata yang berasal dari bahasa Inggris, di antaranya tayar, kes, berlesen. Orang Indonesia dijajah oleh Belanda, yang filosofinya hanyalah menyedot kekayaan dari negara yang dijajah. Tidak ada cinta di antara keduanya. Karena itu, tidak ada bentukan kata baru yang berbau Belanda.

    Faktor kedua adalah perkembangan di kedua negara. Dulu Malaysia memang merasa perlu untuk meniru Indonesia, tetapi dengan ekonomi yang kini lebih maju dan tata negara yang lebih tenteram, mereka tidak lagi merasa perlu mengikuti jejak kita, termasuk pengembangan bahasa dan budayanya. Dengan perekonomian yang lebih mantap, mereka mencoba mengembangkan jatidiri sebagai bangsa. Rasanya usaha ini tidak akan banyak berhasil selama Malaysia masih mendukung adanya tiga bahasa yang secara formal diakui. Di mana pun di Malaysia, kita hampir selalu mendengar bahasa Cina di antara suku Cina, dan bahasa Tamil di antara suku India. Bahasa pemersatunya kadang bukan bahasa Melayu, tetapi bahasa Inggris.

    Bahasa Indonesia dan bahasa Melayu tetap saja masih merupakan saudara kandung, tapi mereka berkembang sesuai dengan kondisi dan tuntutan zamannya masing-masing. Karena itulah maka kita hanya bisa menerka apa makna wacana di koran seperti berikut:

    Ketua Setiausaha Kementerian Luar… berkata, beberapa anggota EU yang tidak senang dengan situasi pencabulan hak asasi manusia… membayangkan hasrat mengambil tindakan termasuk mengenakan sekatan tertentu ke atas negara itu….

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus