Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Bahasa Sang Pemimpi

11 Januari 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marco Kusumawijaya
*) Editor www.rujak.org

SANG Pemimpi bukan film pertama yang membuat kita merenungkan kembali bahasa setempat. Sebelumnya, salah satu film, Perempuan Punya Cerita oleh Nia Di Nata, berbahasa Sunda hampir menyeluruh di dalamnya, sesuai dengan lingkungan ceritanya. Sarah Sechan dan Annisa Nurul Shanty, dua pemeran tokoh utama dalam film itu, kebetulan menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa ibu mereka. Maka bahasa Sunda dalam film itu sangat berhasil.

Yang unik pada film Sang Pemimpi antara lain Landung Simatupang, keturunan Batak, yang harus berbahasa Belitung, padahal sehari-hari di Yogya ia berbahasa Jawa. Begitu pula ayahnya, yang saya kenal sebagai guru di Sekolah Menengah Atas De Britto, Yogyakarta. Kami memanggilnya Pak Sim, kependekan dari Simatupang. Beliau tidak seperti Pak Mustar yang diperankan Landung. Meskipun tegas, ia senada dengan bahasa yang beliau gunakan sehari-hari di rumahnya, bahasa Jawa, yang, menurut orang, lemah lembut. Bahasa Indonesianya pun kental, medhok, dengan aksen Jawa. Sedang Nugie, generasi yang sehari-hari berbahasa Indonesia ”pusat”, tampak kesulitan melantunkan bahasa Belitung.

Bahasa setempat mau tidak mau harus dipikirkan serius ketika dunia film Indonesia ingin bercerita tentang keadaan di seluruh Indonesia. Sebab, kenyataannya, di hampir seluruh Indonesia, kecuali di Jakarta dan sekitarnya, menggunakan bahasa setempat masih merupakan kelaziman dalam kehidupan sehari-hari di ruang privat, semi-khalayak, ataupun di ruang khalayak tertentu. Bahkan di sekolah-sekolah: bahasa Indonesia memang digunakan di ruang kelas, tapi di halaman sekolah ketika jam istirahat, sebagian besar siswa berbahasa setempat. Jadi bagaimana?

Ada banyak pilihan. Saya hanya ingin menawarkan salah satu kemungkinan: perlakukan bahasa setempat sebagai suatu bahasa yang utuh dan bukan bawahan. Karena itu, pertama-tama saya gunakan ”bahasa setempat”, bukan ”bahasa daerah”. Yang belakangan ini mengandung tafsir hierarkis dan siratan inferior, karena ”yang daerah” selalu memiliki konotasi di bawah ”yang nasional”. Secara asal-usul, bahasa-bahasa memang dapat dijelaskan seperti suatu pohon keturunan atau dalam rumpun. Tapi, makin lama, karena pergaulan yang tak henti dan makin kencang serta kental, setiap bahasa mengembangkan identitasnya sendiri melalui peramuan serapan yang unik. Bukan hanya bahasa Indonesia yang berhak dan telah menyerap kata dari bahasa-bahasa setempat di seluruh Indonesia. Bangka, sebuah pulau di sebelah Belitung, menurut Profesor Teuku Jacob (dalam percakapan pribadi), berasal dari bahasa Aceh yang berarti pohon bakau. Pengaruh Kesultanan Aceh memang pernah sampai ke Bangka, dan pengaruh itu datang mungkin terutama dari arah barat. Pantai barat Pulau Bangka adalah hutan bakau lebat dan luas, setidaknya di masa lalu. Tidak mengherankan kalau ditemukan beberapa kata bahasa Bangka yang lebih menyerupai bahasa Aceh daripada bahasa Palembang atau Sumatera Selatan.

Oleh keserupaan gramatika dan kosakata, bahasa memperoleh identitas keserumpunan. Tapi, bahkan dalam bahasa-bahasa serumpun itu terdapat ungkapan khas, yang terkait dengan alam dan budaya setempat. Karena keadaan kepulauan yang terkadang terasing, yang setempat itu berkembang cukup kuat. Inilah kekayaan tak terhingga yang seharusnya tak boleh hilang, yang dapat ditawarkan kepada siapa saja di masa depan. Ia mengandung pengetahuan dan kearifan setempat. Menggunakan bahasa setempat semestinya bukan hanya menggunakan gramatika dan kosakata, tapi juga ungkapan khasnya itu. Melaluinya kita memelihara keanekaragaman budaya dan alam.

Apakah bahasa Indonesia akan melemah kalau kita memupuk bahasa setempat? Ah, bahasa Indonesia adalah kesepakatan, yang sudah pula bertuah banyak dan disadari sepenuhnya. Tumbuh kembangnya bahasa-bahasa setempat akan memperkaya keanekaragaman budaya, yang terkait pula dengan keanekaragaman hayati. Lalu terserah bagaimana bahasa-bahasa itu mau bergaul dalam suatu kerangka interkulturalisme, bukan lagi multikulturalisme. Dalam interkulturalisme, tiap-tiap budaya tumbuh kembang sambil sengaja giat bergaul dengan yang lain, tidak sekadar membiarkan involusi dalam diri masing-masing. Hasil akhirnya nanti kita tidak pernah akan tahu. Buat apa tahu? Apalagi khawatir? Tidak perlu ada fobi akan kebinekaan.

Saya membayangkan makin banyak film Indonesia menggunakan bahasa setempat sesuai dengan keperluan lingkungan dan isi cerita, sepenuh hati tanpa tanggung-tanggung. Lalu adakan saja subtitle bahasa Indonesia, yang dengan demikian berarti diperlakukan sebagai suatu bahasa tersendiri pula, bukan sekadar perkembangan dari bahasa Melayu. Tidak perlu segan menggunakan tiap-tiap bahasa setempat sebagaimana ia digunakan lazimnya dalam kehidupan sehari-hari di tempat bersangkutan, kalau memang pendekatannya adalah realisme yang ingin menceritakan secara wajar kehidupan di tiap tempat. Bukankah kira-kira akan makin banyak bahasa dan budaya setempat yang kita hormati hidup dan tampil dalam ruang khalayak bernama Indonesia dan dunia, setidaknya mungkin melalui media yang bersifat massal seperti film?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum