Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AJI mumpung para pejabat negara dalam berlomba mencari hidup melalui kekuasaan makin memualkan dan mencemaskan. Tak cukup mereka sendiri yang maju lagi sebagai calon anggota legislatif pusat dan daerah, mereka juga menyorongkan anak-anak, istri, suami, hingga keponakan untuk berebut suara menjadi legislator dalam Pemilihan Umum 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Telaah Tempo dan Indonesia Corruption Watch mendapati setidaknya 150 orang dalam daftar calon sementara anggota Dewan Perwakilan Rakyat punya hubungan kekerabatan. Undang-Undang Pemilu memang tak melarang hubungan kekerabatan di antara sesama calon legislator. Setiap orang juga punya hak konstitusional bertarung dalam pemilu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi keikutsertaan keluarga pejabat dan elite penguasa bisa memicu penyalahgunaan wewenang. Anak-anak pejabat negara yang menjadi calon legislator akan memanfaatkan jabatan orang tua mereka saat berkampanye ataupun mendapatkan suara. Hal itu terlihat, misalnya, ketika Putri Zulkifli Hasan menggelar bazar minyak goreng murah di Bandar Lampung pada awal Juli lalu.
Putri adalah anak Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan yang juga menjabat Ketua Umum Partai Amanat Nasional. Sebagai menteri yang mengurus minyak goreng, Zulkifli punya akses ke pengusaha-pengusaha minyak goreng yang memungkinkannya mendapat minyak goreng dengan harga spesial untuk dijual anaknya dalam bazar yang ia adakan itu.
Selain anak Zulkifli, anak Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Ananda Tohpati, maju sebagai calon legislator dari partai yang sama dengan ibunya, Partai NasDem. Ada pula pengusaha media Hary Tanoesoedibjo yang memajukan anak-anak dan istrinya sebagai calon legislator dari Partai Perindo.
Banyaknya keluarga pejabat negara dan elite partai yang menjadi calon legislator berbahaya bagi demokrasi. Pemilihan calon legislator di tiap partai tak akan berjalan demokratis karena elite partai mementingkan keluarganya di nomor jadi. Kaderisasi partai, dengan begitu, tak akan berjalan. Demokrasi kita tak akan terisi oleh politikus yang membina karier politik dengan hidup bersama masyarakat yang diwakilinya.
Setelah para kerabat itu terpilih, partai akan tumpul sebagai alat demokrasi. Jika partainya saja tak demokratis karena sudah mengandung nepotisme, bagaimana pula kita mengharapkan demokrasi Indonesia yang berkualitas? Demokrasi menuntut checks and balances. Putri Zulkifli pasti tak akan mengkritik kebijakan ayahnya yang keliru jika kelak menjadi anggota DPR.
Demokrasi, kata para ahli, menjadi berkualitas justru oleh etika yang tak tertulis dalam hukum-hukum konstitusi. UU Pemilu, karena terbatas oleh hak tiap orang, tak akan secara tegas melarang kekerabatan dalam politik. Tapi, bagi politikus yang sadar diri, ia akan melarang sanak familinya sama-sama terjun ke dunia politik, apalagi ketika ia sedang berkuasa. Ada fasilitas publik dan popularitas yang melekat dalam jabatan mereka sehingga menimbulkan ketidakadilan bagi calon-calon legislator lain.
Maraknya kekerabatan dalam politik kita terjadi karena patron mereka, Presiden Joko Widodo, tanpa beban juga mencontohkannya. Tak hanya mengizinkan, ia juga menyokong anak, menantu, dan iparnya menjadi pejabat publik. Jokowi kini bahkan dikabarkan menyorongkan Gibran Rakabuming Raka, anak sulungnya yang menjadi Wali Kota Solo, maju sebagai calon wakil presiden.
Sekali lagi, Jokowi dan para pendukungnya bisa berkilah bahwa pilihan ada di tangan rakyat. Mereka lupa bahwa sosok Jokowi sebagai kepala negara dan pejabat publik turut menentukan pilihan rakyat yang tak hirau akan nasib demokrasi Indonesia. Publik kita yang masih terpesona pada tokoh, bukan pengetahuan atau gagasan, tak akan menghiraukan bahaya yang mengintai dari masifnya kekerabatan dalam politik.
Kita bisa menderetkan dampak buruk dari lemahnya checks and balances dalam demokrasi. Jokowi yang didukung mayoritas partai bisa leluasa melahirkan UU Cipta Kerja, memereteli kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi, ataupun suka-suka membuat proyek mercusuar tanpa perhitungan. Kelak, jika lembaga perwakilan diisi oleh para kerabat pejabat eksekutif, kita akan menyaksikan lebih banyak lagi kebijakan absurd yang merugikan para pemilih mereka dan publik secara keseluruhan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo