Bahaya Ulah Manusia JOHN. A. KATILI* LEDAKAN bom atom, bintik-bintik matahari, dan letusan gunung api sering dituding sebagai penyebab perubahan iklim atau cuaca buruk. Letusan gunung api dan revolusi industri dicap sebagai penyebab utama perubahan cuaca. Keduanya merupakan pemasok terbesar debu dan gas-gas ke dalam atmosfer. Gejala itu memang hebat. Namun, ternyata itu belum seberapa dibandingkan dengan perubahan iklim di masa geologi lalu, yang oleh para ahli disebut kejadian langka (rare evens). Dengan pesatnya pengembangan teknologi kelautan, misalnya pengeboran laut dalam, ditemukan bukti-bukti bahwa Laut Mediteran pernah mengalami "pengeringan" dalam waktu geologi yang silam. Penelitian geofisika menemukan kubah-kubah garam berukuran raksasa di bawah Laut Mediteran, Teluk Meksiko, dan Atlantik Selatan. Proses pengeringan ini memerlukan perubahan iklim yang drastis. Dan disimpulkan bahwa garam berumur Kapur (kira-kira 65 juta silam) dari Atlantik Selatan itu merupakan residu air laut yang pernah terbentuk dalam lekuk-lekuk samudera yang mengalami pengeringan. Para ahli kini berpendapat bahwa perubahan drastis dalam suhu dan susunan kimiawi lautan adalah akibat bencana ekstraterestik, berupa benturan meteorit atau komet besar dengan bumi yang menyebabkan lenyapnya reptilia raksasa tadi. Kalau demikian halnya, adakah bukti seperti bekas-bekas benturan atau kawah besar bukan volkanik di dunia ini yang dapat memperkuat dugaan di atas? Memang, di beberapa tempat di bumi ini, telah ditemukan kira-kira 130 kawah benturan meteorit, seperti di Arizona. Namun, hal ini tak cukup untuk menjelaskan pemusnahan besar-besaran dinosaurus. Kini, setelah lebih dari sepuluh tahun penelitian, para ahli AS telah menemukan suatu kawah besar yang bundar, dengan diameter 180 km. Letaknya, di ujung utara Semenanjung Jukatan di Meksiko. Kawah ini bukan kaldera gunung api, yang biasanya hanya berdiameter tak lebih dari 10 km. Lagi pula, sifat lekukan ini mengandung "mineral-mineral benturan". Lokasi dan umur geologinya menunjukkan bahwa kemungkinan besar ini diakibatkan oleh suatu benturan yang menyebabkan terbunuhnya dinosaurus. Perhitungan menunjukkan bahwa sebuah asteroid atau komet yang berdiameter 8 km telah membentur bumi kira-kira 65 juta tahun silam. Akibat benturan ini, komet tadi menguap bersamaan dengan terlemparnya kira-kira 1.700 km3 bahan-bahan lepas berupa debu pasir halus di atmosfer. Partikel-partikel yang lebih halus menyelimuti bumi, menahan sinar matahari selama beberapa bulan. Dalam keadaan gelap dan sangat dingin itu, proses fotosintesis terhenti, tumbuh-tumbuhan dan tanaman musnah, beberapa spesies punah. Khusus reptilia raksasa dinosaurus punah semuanya. Memang perubahan-perubahan besar yang tak dapat dielakkan telah terjadi sepanjang sejarah bumi, tetapi perlu dicatat bahwa bencana-bencana global ini tak ada yang berhasil menyapu bersih seluruh kehidupan di bumi. Yang menjadi tanda tanya: apakah di masa depan benturan komet yang lebih besar dapat menyebabkan pemunahan kehidupan di bumi. Para astronom kini sudah dapat mengetahui beberapa tahun sebelumnya kalau asteroid akan menabrak bumi. Secara teoretis, dengan teknik perang bintang, suatu roket nuklir dapat menembak hancur suatu asteroid sebelum dia mencium bumi. Namun, para pakar kini mulai khawatir akan suatu bencana yang lebih besar dan lebih fatal. Ini, tak lain, disebabkan oleh ulah manusia sendiri atau "musibah antropegenik". Perubahan global dalam biosfer, hidrosfer, dan atmosfer berkaitan erat dengan ledakan penduduk, penggunaan sumber daya alam per kapita yang berlebihan. dan perusakan ekosistem yang sudah mapan. Di Amerika Utara, misalkan, binatang menyusui telah mengalami kepunahan 1.000 x lebih cepat setelah Homo Sapiens muncul di benua ini. Suatu kejutan ialah terjadinya perubahan yang begitu cepat dan mencemaskan pada iklim dunia disebabkan pemanasan global dan menipisnya lapisan ozon di daerah Kutub, malah juga di daerah Khatulistiwa. Perhitungan-perhitungan kasar menunjukkan bahwa berbagai aktivita energi manusia menghasilkan kira-kira lima gigaton (GT) karbon per tahun dalam bentuk emisi CO2. Pada tahun 2050, tingkat pelepasan gas-gas dalam atmosfer sebagai aktivita energi dapat mencapai 20 GT per tahun. Para pakar tahu bahwa manusia telah meningkatkan kadar CO2 di atmosfer sampai 25% sedari zaman pra-industri. Karbondioksida, yang menyebabkan terperangkapnya panas di atmosfer, berakibat pula atas terjadinya efek rumah kaca. Ini, menurut para pakar, akan memacu suhu bumi secara dramatis, 1,5 s/d 4,5 pada tahun 2030. Tudung-tudung es di Kutub akan meleleh dan menimbulkan banjir besar di wilayah yang rendah, seperti Negeri Belanda, Bangladesh, dan akan menenggelamkan sebagian besar pulau kecil di Lautan Pasifik. Indikasi terakhir dari pemanasan global ini adalah mulai berkurangnya es di lautan Kutub, kira-kira 2% dari tahun 1978 s/d 1987. Ekosistem global adalah sesuatu yang dinamis. Gerombolan fauna dan flora terus-menerus berpindah dan bergerak sebagai respon terhadap perubahan dalam tata lingkungan fisik. Penyelidikan menunjukkan bahwa tumbuh-tumbuhan yang dapat bertahan pada zaman interglasial (pemanasan bumi secara alamiah) bermigrasi ke arah selatan dan utara dengan tingkat kecepatan 20 km tiap abad. Perhitungan-perhitungan menunjukkan bahwa tingkat kenaikan temperatur bumi karena efek rumah kaca adalah 10 sampai 100 kali lebih besar dari pemanasan sewaktu zaman es berakhir. Ini berarti bahwa spesies akan dipaksa bermigrasi ratusan kilometer. Yang menjadi pertanyaan sekarang ialah: dapatkah manusia mengatasi bencana antropogenik, sebagai ulahnya sendiri, yang diduga akan lebih hebat akibatnya dari bencana alam terdahsyat seperti benturan asteroid. * Penasihat Ahli Menteri Pertambangan dan Energi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini