Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Monumen kebangsaan-kita

Nasionalisme disebut sebagai suatu keinsyafan rak- yat menjadi satu bangsa. kebangsaan yang datang bersama kesepakatan berbangsa menjadi monumen ke- bangsaan yang akan ditentukan generasi penerus.

24 Agustus 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Monumen Kebangsaan-Kita UMAR KAYAM JIKA bulan ini kita melakukan lagi ritual merenung tentang kebangsaan kita, apakah yang nampak membayang di depan kita? Suatu bangsa, nasion yang masih bersosok tegar, yang mencerminkan keinginan yang kuat untuk menyatu dalam satu negara yang merdeka? Atau suatu bangsa yang tidak pusing lagi tentang sosok kebangsaan yang tegar, dan sudah mengendurkan batas-batas pagarnya, dan siap untuk masuk menjadi bagian dari kultur dunia? Barangkali dua sisi wajah tersebut masih tampil pada tahun ini, tahun ke-46 kita merdeka. Misalnya, para pemimpin "Petisi" yang kena cekal itu masih dengan semangat empat-lima memberi tahu kita bahwa mereka masih berprinsip right or wrong my country, sementara para mahasiswa kita yang belajar di Amerika sebagian sewot, merasa terhina, sebagian lagi tidak merasa apa-apa, waktu membaca Indonesia Watch melaporkan ketidakberesan di Timor Timur. Lalu belum terlalu lama berselang delegasi INGI yang berkonperensi di Washington menghadap Kongres Amerika, melaporkan hal-hal yang tidak lucu sedang terjadi di Tanah Air tanpa rasa risi, tanpa rasa rikuh. Nasionalisme, yang oleh Soekarno disebut sebagai "suatu keinsyafan rakyat menjadi satu bangsa" adalah suatu "keinsafan" yang aneh. Ia adalah suatu kerinduan kepada masa lampau yang besar dan menakjubkan, seperti Nehru selalu mengenang kesinambungan kultur India selama ribuan tahun, tetapi yang kemudian dipatahkan dan ditaklukkan oleh kekuasaan asing. Ia adalah suatu kepedihan menyaksikan proses pemiskinan yang berlarut-larut dan melihat prasarana demi prasarana ekonomi dan sosial runtuh. Kerinduan dan kepedihan itu menumbuhkan suatu kesadaran, suatu keinsafan, untuk bersepakat menjadi satu bangsa. Pada waktu keinsafan menjadi bangsa itu terwujud, kebangsaan itu adalah suatu milik yang tak ternilai. Bahkan juga milik yang dijaga dengan penuh rasa cemburu. Barangkali itulah yang disebut sebagai fanatisme kebangsaan. Yaitu kecemburuan yang berlebihan terhadap kemungkinan hilangnya milik yang belum lama didapatkan. Kebangsaan juga bisa berkembang menjadi kesombongan. Soekarno pada tahun dua puluhan sudah wanti-wanti, berpesan agar nasionalisme kita jangan menjadi suatu jingo-nationalism, suatu nasionalisme yang angkuh dan agresif. Meskipun kemudian pada waktu kebangsaan itu terwujud dan sejarah memberinya kesempatan untuk memimpin negeri ini, ia tidak bebas dari kecenderungan mengembangkan kesadaran berbangsa itu sebagai kesadaran yang berlebihan. Menurut Soekarno, kebangsaan-kebangsaan yang sedikit berlebihan itu penting karena bangsa kita sudah terlalu lama kehilangan kebanggaan akan dirinya karena penjajahan feodalisme dan kekuasaan asing yang terlalu tuntas menginjak-injak bangsa kita. Soekarno, Nehru, dan teman-teman seangkatan mereka berada pada jarak yang sangat dekat dengan proses terjadinya keinsafan rakyat serta menjadi saksi sejarah pula akan kepedihan menanggung kemiskinan serta kehinaan. Mereka dan pengikut-pengikut seangkatannya adalah aktor yang langsung terlibat dalam panggung nasionalisme itu. The Discovery of India dan otobiografi dari Jawaharlal Nehru adalah dokumen-dokumen yang indah tentang segala kesaksian kebangsaan itu. Pada waktu rasa kebangsaan itu sudah mulai mantap, anak dan cucu para pendiri kebangsaan itu mulai menjadi dewasa. Kesepakatan berbangsa itu sudah lama menjadi milik bersama. Demikian pula dengan batas-batas fisik yang membangun sosok kebangsaan itu. Kebanggaan yang datang bersama semua itu juga telah menjadi suatu monumen bersama. Mereka yang dulu ikut mengalami, bahkan ikut menjadi aktor, yang masih hidup masih dengan bangga dan cemburu juga memelihara monumen itu. Right or wrong my country adalah bahasa romantika dari para penjaga monumen tersebut. Akan tetapi, bagi anak dan cucu pembangun dan penjaga monumen itu, mungkin pernyataan tersebut kedengaran agak terlalu romantis, mungkin juga kuno. Apalagi bila pernyataan tersebut bukan dikaitkan dengan Lord Palmeraton, pahlawan penggelar jajahan Britania Raya, melainkan dengan Kumbakarna, adik Rah- wana raja Alengka yang angkara itu. Kata bersayap itu lantas menjadi bagian dari Tripama, dari Mangkoenagara IV, yang bagaimanapun mungkin indah, ia mewakili suatu kurun feodalisme, jauh dari napas kebangsaan baru. Anak dan cucu itu melihat kebangsaan sebagai sosok yang lebih lentur, yang tidak malu-malu, apalagi minder dan takut bertegur sapa dengan kebangsaan-kebangsaan yang lain. Karena itu, mungkin mereka bisa dengan dingin membaca Indonesia Watch dan dengan tersenyum menawarkan kepada editor risalah itu kemungkinan menerbitkan juga USA Watch yang akan meneropong borok-borok negara itu. Mungkin karena itu pula generasi anak cucu para pendiri monumen itu tidak merasa segan dan rikuh untuk berbicara tentang kekurangan negerinya di Washington atau di mana saja. Dunia agaknya sudah mereka lihat bagi suatu lahan akrab, familiar ground mereka. Akan tetapi, perkembangan di Soviet dan Eropa Timur memberi tahu kita akan kemungkinan lain. Yaitu keinginan untuk meninggalkan monumen-monumen kebangsaan yang besar dan megah, dan justru ingin kembali membangun monumen-monumen kebangsaan kuno mereka yang lebih kecil. Kuno, kecil, tetapi dibangun dengan semen dan bata dan peranti-peranti modern. Dan dalam menyatakan keinginan mereka itu mereka bertegur sapa, minta tolong, dengan kebangsaan-kebangsaan lain. Barangkali dunia memang sedang mengalami konfigurasi monumen kebangsaan yang baru. Sementara monumen besar dan megah tidak dapat lagi bertahan dan kembali dengan monumen-monumen kecil yang apik. Sedang sementara monumen kebangsaan besar yang lain masih bisa bertahan, entah sampai kapan. Akan halnya monumen kebangsaan kita sendiri? Biarlah itu diserahkan kepada anak dan cucu pembangun dan penjaga monumen. Mereka yang akan lebih tahu menentukan sosok monumen itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus