Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM menghadapi ancaman penyebaran flu babi (swine influenza) pemerintah kelihatan belajar banyak dari kasus flu burung. Antisipasi yang dilakukan cukup memadai walaupun tak ada salahnya kami mengingatkan agar terus waspada. Maklum, wabah flu mematikan yang berasal dari Meksiko itu menjalar ke belasan negara dalam tempo singkat dan mungkin saja segera sampai di Indonesia.
Berjaga-jaga merupakan keharusan, mengingat ganasnya serangan. Penyakit yang disebabkan oleh virus H1N1 itu menewaskan lebih dari 150 orang di Meksiko hanya dalam dua pekan. Jumlah ini melebihi korban tewas akibat flu burung di Indonesia—100 orang dalam waktu lima tahun. Kecepatan penyebarannya juga mencengangkan: dalam sehari flu babi telah merambah ke dua negara. Inilah yang membuat Badan Kesehatan Dunia (WHO) beberapa kali menaikkan status bahaya.
Akhir pekan lalu statusnya sudah satu level di bawah skala pandemi—dinyatakan sebagai wabah global. Tentu tak seorang pun ingin pandemi seperti flu spanyol pada 1918, yang menewaskan 40 juta orang, terjadi lagi. Bila wabah mencapai skala tertinggi, lalu lintas manusia antarnegara akan dibatasi, WHO akan mengkarantina Meksiko, tiap negara mesti mengumumkan skenario pencegahan dan pengobatan, dan produksi vaksin mesti digencarkan. Padahal vaksin yang melumpuhkan flu babi belum ditemukan.
Pemerintah, syukurlah, cukup sigap. Memang tak seharusnya melokalisasi penyebaran virus setelah banyak orang menjadi korban seperti pada kasus flu burung. Kali ini pemerintah melakukan koordinasi yang jauh lebih dini.
Buktinya, sejumlah langkah sudah dikerjakan. Penutupan keran impor babi untuk sementara, pemasangan pemindai panas di sepuluh bandara, travel warning ke Meksiko, pelatihan petugas hotel dan agen perjalanan wisata agar cepat mengenali wisatawan asing yang sakit, dan pengawasan peternakan babi yang tersebar di seluruh Indonesia. Satu lagi yang penting: pemerintah mulai mendistribusikan Tamiflu yang telah direkomendaasikan WHO ke semua provinsi.
Hanya, sosialisasi tentang bahaya dan pencegahan wabah ini belum optimal. Dalam tahap sekarang pencegahan tak perlu dilakukan dengan menutup peternakan atau membunuh semua ternak babi. Tindakan menutup peternakan babi tanpa alasan kuat seperti yang terjadi di Cisarua, Jawa Barat, tak bisa dibenarkan. WHO pun mengecam keras pembantaian 300 ribu babi dalam sehari di Mesir pekan lalu.
Masyarakat mesti diberi tahu bahwa H1NI merupakan perpaduan materi genetik virus yang biasa ditemukan pada manusia, unggas, dan babi. Jadi, babi yang terkena flu tidak otomatis menular ke manusia. Babi di sebuah peternakan di Malang, Jawa Timur, misalnya, pernah terjangkit flu, toh peternaknya sehat-sehat saja. Meski pengawasan ketat terhadap peternakan babi tetap diperlukan, WHO menekankan yang harus diwaspadai justru penularan virus H1N1 antarmanusia. Sebagian pengidap virus ini di Meksiko, Amerika, Spanyol, dan Selandia Baru terbukti tak bersentuhan dengan babi.
Penjelasan gamblang diperlukan tapi tak usah menggampangkan persoalan. Pernyataan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari yang menyebut virus flu babi hanya hidup di negara empat musim jelas tidak tepat. Tak ada yang bisa memastikan—bahkan WHO—bahwa negara tropis bebas dari flu babi, meski sejauh ini belum ada kasus yang ditemukan. Daripada berkomentar yang tak perlu, lebih baik semua aparat bekerja menutup setiap celah masuknya virus berbahaya ini ke Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo