Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UNTUK kesekian kalinya jaksa terungkap ”main-main” dengan kasus narkoba. Belum lagi orang lupa tentang dua jaksa perempuan yang ketahuan menggelapkan barang bukti berupa pil ekstasi, sekarang muncul kasus jaksa Sultoni. Jaksa dari Kejaksaan Negeri Jakarta Barat—wilayah peredaran narkoba paling subur di Ibu Kota—itu dimintai tanggung jawab oleh kejaksaan tinggi lantaran kaburnya bandar narkoba yang sudah divonis masuk penjara. Kalau tak mau terus terjerembap ke lubang yang sama, sikap tegas Jaksa Agung dan perbaikan mekanisme tak bisa ditawar-tawar.
Agak membingungkan mengetahui Sultoni yang begitu lalainya membiarkan bandar narkoba Gunawan Tjahyadi kabur entah ke mana. Ternyata keanehan tak cuma itu. Pemilik sekitar 500 butir ekstasi itu hanya dituntut satu setengah tahun penjara. Padahal, menurut Undang-Undang Psikotropika, hukuman terhadap pengedar narkoba minimal empat tahun penjara. Artinya, sejak awal Sultoni sudah melakukan penyimpangan. Kalau mau, Sultoni bisa menuntut Gunawan minimal empat tahun penjara.
Seperti gayung bersambut, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat, yang menyidangkan perkara ini secepat kilat—hanya dalam dua hari—menjatuhkan vonis sesuai dengan tuntutan jaksa. Begitu vonis diketukkan, Februari lalu, celakanya Gunawan menghilang. Walaupun mengaku khilaf kepada pemeriksa, dan beralasan mengira Gunawan sudah dibawa petugas ke bui, ganjaran setimpal pantas dihadiahkan bagi jaksa Sultoni.
Sejumlah kejanggalan ”tercium keras”, baik pada tingkat penuntutan maupun proses dan hasil sidangnya. Tak masuk akal bila kejahatan narkoba, yang disejajarkan dengan korupsi karena menghancurkan bangsa, disidangkan cepat-cepat seperti itu. Hasilnya pun sama sekali tak memenuhi rasa keadilan rakyat. Padahal, menurut Pasal 59 Undang-Undang Psikotropika, untuk kasus seperti ini, pelakunya bisa dipenjara sampai 15 tahun dan denda hingga Rp 750 juta.
Jaksa Agung harus memeriksa semua yang terkait kasus ini. Atasan Sultoni, juga Kepala Kejaksaan Negeri, mesti ikut bertanggung jawab. Tidak mungkin untuk kasus narkoba itu Sultoni ”maju” ke pengadilan tanpa sepengetahuan atasannya. Jikapun atasannya mengaku dikelabui Sultoni, bukan berarti ia bisa lepas tanggung jawab. Di sini berarti fungsi pengawasan dalam proses pembuatan tuntutan tidak berjalan.
Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial mesti bergerak. Harus dicari tahu motif para hakim menghukum bandar narkoba begitu ringan. Mereka yang dianggap tak profesional menjalankan tugas juga layak ditindak. Apalagi jika para hakim itu terbukti menerima sesuatu sebagai imbalan atas vonis ringan tersebut.
Belajar dari kasus seperti ini, Jaksa Agung perlu membentuk tim khusus yang bertugas mengawasi penanganan kasus narkoba. Tim ini bisa merupakan gabungan dari berbagai unsur: jaksa dan anggota masyarakat yang memiliki integritas dalam memberantas narkoba. Komisi Kejaksaan juga bisa dilibatkan. Tim ini, misalnya, memiliki kewenangan meminta jaksa memperberat tuntutan hukuman tersangka kasus narkoba jika dipandang tuntutan yang dibuat jaksa terlalu ringan.
Dengan adanya tim ini, yang mengawasi secara ketat dari tahap penyidikan hingga penuntutan, kita berharap tak ada lagi jaksa yang bermain api dengan perkara narkoba. Tak ada lagi jaksa, misalnya, yang ”menyulap” pengedar menjadi pengguna demi mengusahakan tuntutan hukuman yang lebih ringan untuk sang bandar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo