Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Seremoni Baju Adat Jokowi

Pakaian adat yang dikenakan Presiden hanya artifisial dan melupakan hak masyarakat adat. Simbol tanpa makna.

19 Agustus 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAKAIAN adat yang dikenakan Presiden Joko Widodo dan para pejabat negara dalam setiap acara resmi tahunan baru sebatas seremoni dan mengabaikan substansi. Buktinya, pemerintah masih melupakan persoalan menahun, yakni pengakuan atas wilayah dan hak masyarakat adat.

Presiden selama delapan tahun terakhir selalu mengenakan pakaian adat setiap kali berpidato dalam dua agenda resmi tahunan. Mengenakan pakaian adat merupakan penghormatan bagi masyarakat adat, karena setiap baju adat memiliki makna dan pesan.

Baju adat Paksian dari Bangka Belitung, misalnya, yang dipakai Presiden pada 16 Agustus 2022, bermakna kerukunan. Adapun baju adat Dolomani dari Buton, Sulawesi Tenggara, yang dihiasi corak motif bunga rongo, yang dikenakan Presiden pada peringatan Hari Kemerdekaan, melambangkan hidup pemimpin bagaikan roda berputar: berasal dari bawah, naik menjadi pemimpin, lalu akan turun kembali menjadi rakyat biasa.

Ironisnya, baju adat yang merupakan kekayaan masyarakat adat di Nusantara itu cuma jadi simbol tanpa makna dan mencederai janji Presiden kepada masyarakat adat. Lihat saja, pada 2020, Presiden Jokowi tampil berpidato mengenakan baju adat Sabu Raijua khas Pulau Sabu, Nusa Tenggara Timur (NTT), dalam sidang MPR. Sehari kemudian, masyarakat adat Besipae di Timor Tengah Selatan, NTT, mengalami kekerasan oleh aparat. Rumah-rumah di tanah wilayah mereka dihancurkan. Hak-hak mereka diabaikan. Ini menunjukkan pemerintah justru sama sekali tidak menghargai hak-hak masyarakat adat.

Pengakuan negara terhadap hak-hak masyarakat adat selama ini lambat, bahkan lebih mementingkan urusan bisnis. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyebutkan, penggusuran wilayah adat dialami masyarakat adat Laman Kinipan di Kalimantan Tengah oleh perusahaan sawit. Ada juga eksploitasi hutan Akejira, yang menjadi ruang hidup Orang Tobelo Dalam, oleh perusahaan nikel; serta perampasan tanah adat di Boven Digoel, Papua, oleh perkebunan sawit.

Landasan konstitusional masyarakat adat sebenarnya sudah tertuang dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Pasal itu secara jelas menyatakan negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya, sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara yang diatur dalam undang-undang. 

Namun, begitulah, pengakuan akan hak-hak masyarakat adat semakin termarginalkan. Menurut data Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), per Agustus 2022 total jumlah wilayah adat sebanyak 1.594, dengan total luas wilayah pengakuan mencapai 15 juta hektare. Data tersebut baru teregistrasi sebanyak 1.351 (84,76 persen) dan terverifikasi di 149 wilayah (9,35 persen). 

Dengan gambaran ini, untuk urusan pengakuan di tingkat terendah saja masyarakat adat mesti tertatih-tatih mengurus hak-hak mereka. RUU Masyarakat Adat semakin mendesak disahkan menjadi undang-undang. Tapi, alih-alih mengesahkan RUU Masyarakat Adat yang sudah diusulkan sejak 2009, pemerintah dan DPR justru ngotot mengesahkan omnibus law yang berpotensi mengesampingkan hak masyarakat adat.

Mereka yang menolak dihantui bayang-bayang bahwa RUU ini akan menjadi hambatan bagi pembangunan dan investasi. Pada praktiknya, rencana investasi yang tak dibarengi dengan perlindungan atas hak-hak masyarakat adat dipastikan akan diikuti dengan konflik. Tujuan RUU Masyarakat Adat adalah menjembatani negara dengan masyarakat adat. Negara mesti hadir melindungi hak masyarakat adat, bukan malah sebaliknya. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus