Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ada beberapa mantan terpidana korupsi dalam daftar calon sementara anggota legislatif.
KPU seharusnya mengumumkan status mereka kepada publik.
Komitmen untuk menghadirkan calon pejabat publik yang bebas dari korupsi tampak semakin jauh.
Seira Tamara
Staf Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Waktu menuju pelaksanaan Pemilihan Umum 2024 semakin dekat, tapi komitmen untuk menghadirkan calon pejabat publik yang bersih dan bebas dari korupsi tampaknya semakin jauh. Hal ini secara jelas dapat dilihat dari sikap Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku penyelenggara pemilu dan partai politik sebagai peserta pemilu yang sama-sama bersikap permisif terhadap mantan narapidana korupsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam daftar calon sementara (DCS) anggota legislatif yang dirilis KPU pada 19 Agustus lalu, Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan setidaknya 39 nama mantan koruptor. Rinciannya, 9 orang di tingkat Dewan Perwakilan Rakyat, 6 orang di Dewan Perwakilan Daerah, dan 24 orang di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Masih diusungnya mantan koruptor dalam pemilihan umum legislatif menunjukkan bahwa partai politik sama sekali tak menganggap tindak pidana korupsi sebagai masalah serius. Alih-alih memberikan sanksi internal sebagai efek jera, bekas koruptor justru tetap disambut dan dijagokan kembali sebagai bakal calon legislator. Buktinya, dari DCS di tingkat DPR dan DPRD, 19 bakal calon diberi nomor urut unggulan, yaitu urutan 1 dan 2.
Fenomena ini menggambarkan bahwa partai politik telah gagal dalam melakukan kaderisasi serta proses rekrutmen politik yang berbasis kinerja dan rekam jejak yang baik. Sebagai pemasok calon pengisi berbagai jabatan publik, seharusnya proses rekrutmen dan kaderisasi dilakukan dengan penyaringan seketat mungkin. Ini penting agar partai politik bisa mengirim kader-kader terbaiknya untuk berkontestasi dalam pemilihan umum. Khusus untuk calon anggota legislatif, mereka yang terpilih nanti menjalankan fungsi penting dalam pembentukan produk legislasi. Dalam kondisi demikian, bagaimana kita bisa berharap akan lahir kebijakan pemberantasan korupsi yang progresif di masa mendatang jika bakal calon legislator yang disuguhkan hari ini pun pernah duduk di kursi pesakitan sebagai terpidana korupsi?
Selain partai politik, KPU terkesan menutupi keberadaan eks koruptor dalam DCS. KPU menyatakan bahwa tidak ada mandat dari undang-undang untuk mengumumkan status hukum sebagai mantan terpidana para bakal caleg. Akibatnya, nama mantan koruptor dalam DCS dipublikasikan tanpa ada informasi dan penanda khusus apa pun mengenai status hukum mereka. Ketika ramai pemberitaan mengenai nama bekas terpidana korupsi dalam DCS, barulah KPU merilis nama bakal caleg yang berstatus sebagai mantan terpidana. Itu pun hanya daftar untuk DCS di tingkat DPR dan DPD.
Merujuk pada ketentuan dalam Undang-Undang Pemilu, perintah untuk mengumumkan status sebagai mantan terpidana memang ditujukan kepada individu yang menjadi bakal caleg. Namun bukan berarti bahwa KPU tidak bisa atau tak diperbolehkan ikut mengumumkan informasi tersebut kepada masyarakat. Ada semangat untuk melindungi hak masyarakat sebagai pemilih agar mengetahui secara jelas informasi dan rekam jejak para bakal caleg dalam undang-undang tersebut. KPU sebagai penyelenggara pemilu jelas berwenang mengakomodasi semangat tersebut. Apalagi KPU memiliki akses terhadap Sistem Informasi Pencalonan (Silon), yang diklaim mempermudah pendataan bakal caleg oleh partai politik, termasuk mengenai status hukum calon sebagai mantan terpidana. Dengan data yang sedemikian lengkap, KPU seharusnya bisa meneruskan informasi tersebut kepada masyarakat. Hal ini jauh lebih bermanfaat dibanding informasi tersebut hanya disimpan di lingkup internal KPU sendiri.
Upaya untuk mencegah mantan narapidana korupsi bisa kembali mencalonkan diri dalam pemilihan umum legislatif sebenarnya sudah dilakukan oleh KPU periode sebelumnya. Pada 2018, KPU mengeluarkan peraturan yang secara spesifik menggariskan bahwa bekas narapidana korupsi, pelaku kejahatan seksual terhadap anak, dan bandar narkotik dilarang maju sebagai calon anggota legislatif. Namun Mahkamah Agung kemudian memutuskan bahwa mantan narapidana korupsi tetap bisa mencalonkan diri. Setelah putusan Mahkamah keluar pada September 2018, KPU pada Januari dan Februari 2019 secara bertahap mengeluarkan daftar nama caleg yang berstatus sebagai eks terpidana korupsi. Praktik baik yang pernah dilakukan oleh KPU periode sebelumnya itu seharusnya bisa diteruskan KPU periode sekarang.
Pengumuman status mantan terpidana korupsi itu bukan sebatas karena adanya perintah undang-undang atau tidak. Diperlukan iktikad dan niat baik KPU sebagai penyelenggara pemilu untuk mencegah masyarakat tidak memilih calon pejabat yang bermasalah. Apalagi KPU juga memiliki mandat untuk menyelenggarakan pemilu sesuai dengan prinsip jujur, terbuka, dan akuntabel.
Partai politik masih memiliki waktu untuk mencoret bakal caleg yang berstatus sebagai mantan terpidana korupsi dan menggantinya dengan orang-orang yang berintegritas serta memiliki rekam jejak yang baik. KPU juga harus mengumumkan jika masih ada nama eks napi korupsi yang diusung partai politik dalam DCT nanti. Jika tidak, partai politik dan KPU dapat dituduh telah melindungi bekas koruptor serta secara sengaja mengabaikan hak konstitusional masyarakat sebagai pemilih.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo