Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WALAU 2017 hampir berlalu, laporan keuangan bank kuartal ketiga tahun ini masih dalam status "baru diterbitkan" sehingga perlu dan layak dilihat lebih dalam. Paling tidak karena status terbaru itu akan mempunyai dampak terhadap prospek ekonomi 2018. Analisis ini didasarkan pada data nisbah indikator utama, seperti return on assets (ROA), non-performing loan (NPL), dan net interest margin (NIM), dari 90 lebih bank konvensional yang ada-di luar bank perkreditan rakyat, perbankan syariah, dan rep office bank asing.
Data yang terkumpul menunjukkan masih banyak cerita model "sinetron" yang bisa dibaca pada laporan keuangan. Ini sejalan dengan selera masyarakat Indonesia yang suka cerita sedih dan sensasional. Misalnya, masih ada beberapa bank yang mempunyai laba negatif atau memiliki biaya operasional lebih besar daripada pendapatan operasional. Dengan kata lain: nisbah biaya operasional pendapatan operasional (BOPO) di atas 100 persen. Belum lagi fakta adanya beberapa bank yang 90 persen pendanaannya bersumber dari dana mahal, seperti deposito. Ini menyedihkan karena bank-bank itu sulit hidup dalam jangka panjang. Alih-alih berperan, mereka mungkin akan menjadi beban ekonomi nasional.
Selain cerita sedih, tentu ada cerita sensasional, seperti bank yang mempunyai NIM mendekati 15 persen sehingga kita patut bertanya: jika marginnya saja sudah begitu tinggi, ditambah dengan biaya dana, berapa suku bunga yang dibebankan kepada debitor kredit? Tentu margin tinggi ini adalah cerita tentang bank kecil yang dampaknya mungkin tak terasa secara ekonomi makro. Namun angka seperti ini tetap memberi sinyal yang salah tentang bagaimana tidak seriusnya sebagian perbankan menanggapi ikhtiar pemerintah menuju single-digit interest rate demi menekan biaya produksi sektor riil.
Masih dalam konteks mendorong ekonomi, cerita sedih dan sensasional juga tecermin dari angka kredit bermasalah. Walau secara agregat rasio kredit bermasalah (NPL) terus turun menjauhi angka 3 persen, tetap saja masih ada belasan bank dengan nisbah NPL di atas 5 persen. Jika aturan Otoritas Jasa Keuangan diikuti, bank tersebut semestinya sudah mengalami pergantian manajemen atau tidak bisa memberikan kredit untuk sementara waktu.
Kita juga perlu melihat aspek kredit kualitas rendah (KKR). Isu KKR jarang dikutip dan kerap kurang dipahami padahal sangat relevan. KKR memasukkan bukan hanya NPL, tapi juga kredit yang tampaknya sudah masuk kategori lancar, yang sebenarnya hasil restrukturisasi kredit. Masalahnya bukan pada isu apakah restrukturisasi itu diperbolehkan dan didukung oleh rezim lama OJK, meski kini sudah diperketat kembali oleh pengurus OJK baru. Persoalannya adalah seberapa besar keyakinan kita bahwa kredit hasil restrukturisasi ini tidak kembali merosot menjadi kredit macet. Apalagi masih ada empat-lima bank dengan nisbah KKR di atas 15 persen. KKR di atas 10 persen saja sudah mengganggu, dan jumlahnya cukup banyak.
Situasi tambah mengerikan melihat cukup banyak bank yang bahkan tidak mempunyai kecukupan pencadangan untuk menutup kredit macetnya. Nisbah antara NPL dan pencadangan selayaknya ada di bawah 100 persen. Artinya, ada dana yang cukup untuk menutupi NPL.
Jadi apa yang Anda pikirkan jika melihat ada cukup banyak bank dengan kredit NPL empat-lima kali lebih besar daripada pencadangan kredit yang dimiliki?
Mana yang Penting?
Apakah kita harus khawatir terhadap semua cerita ini? Mungkin ya, mungkin tidak. Bisa saja sebuah bank baik dalam indikator efisiensi dan NIM, tapi buruk dalam hal kualitas kredit. Maka kita perlu bertanya mana yang lebih penting: NIM atau NPL atau KKR?
Semua cerita ini bermuara pada penentuan dan perhitungan bobot indikator. Bobot ini yang akan menjawab apakah capital adequacy ratio (CAR) lebih penting daripada NIM atau BOPO lebih berharga ketimbang ROA. Bobot indikator ini kemudian dapat ditranslasi menjadi peringkat bank. Implikasinya: bagi regulator ataupun manajemen bank jelas sangat penting untuk melakukan perbaikan.
Dua komponen utama yang terpenting saat membicarakan kinerja antarbank adalah indikator profitabilitas dan efisiensi. Tidak ada yang sensasional di sini. Kedua indikator ini mempunyai bobot sekitar 40 persen.
Indikator pengelolaan kredit macet dan pencadangannya cukup penting karena mempunyai bobot sekitar 20 persen. Adapun pengelolaan neraca dan dana pihak ketiga mempunyai bobot sekitar 10 persen. Dengan demikian, indikator-indikator yang umum dan kerap dipakai mempunyai bobot sekitar 70 persen.
Perdebatan muncul karena hasil perhitungan statistik menunjukkan bahwa aktivitas fee-based yang sering dibicarakan mungkin hanya penting sebagai jargon diversifikasi dan juga mungkin penting untuk menambal pendapatan. Namun aktivitas fee-based tidaklah menjadi pembeda kinerja yang serius antarbank. Bobotnya dalam perbandingan kinerja keuangan bank kurang dari 5 persen.
Tidak jauh nasibnya dari fee-based adalah nisbah CAR, yang tampaknya hanya penting untuk memenuhi ketentuan regulator, tapi tidak ada pengaruhnya sebagai pembeda kinerja bank. Translasi modal yang menjadi keuntungan bagi pemegang saham adalah pekerjaan rumah yang masih perlu dipikirkan oleh regulator, pemegang saham, dan manajemen bank. CAR yang tinggi tapi profitabilitas rendah menunjukkan misallocation of resources yang mungkin perlu dijawab dengan memfokuskan ulang orientasi bisnis, perubahan manajemen, atau akuisisi.
Peringkat Bank
Berbekal hasil ini, peringkat bank dengan mudah disusun. Hasilnya cukup mengejutkan. Hanya BCA dan BRI dari kelompok bank umum kegiatan usaha (BUKU) 4 yang berada di peringkat 10 teratas. Bank badan usaha milik negara lain ada di peringkat 20 ke atas. Jika dibedah, tentu karena faktor profitabilitas, efisiensi, dan kredit bermasalah yang memang saat ini menjadi titik lemah tiga bank BUMN lain. Masih ada yang lebih menyedihkan, yaitu dua bank kelompok BUKU 3 yang aktif dimiliki asing ternyata masuk peringkat 80-an (dari 91 bank). Tampaknya mitos bahwa pemilik bank asing akan menyebabkan kinerja bank lokal membaik adalah pemikiran yang terlalu simplistik karena faktanya tidak seperti itu.
Menemani kedua bank milik asing ini di posisi 20 terbawah adalah bank-bank kelompok BUKU 1 dan BUKU 2. Semuanya karena masalah struktural yang sama.
Menilik kondisi bank-bank dengan peringkat rendah, saya agak bersyukur. Pertama, karena umumnya ini adalah bank-bank kecil yang tidak memberikan risiko sistemik kepada ekonomi Indonesia. Untuk bank-bank kecil ini, saya sangat yakin tentunya OJK dan Lembaga Penjamin Simpanan sudah berhitung dengan cermat dalam hal pre-emptive supervision serta biaya penutupannya. Atau bahkan mungkin saja bank-bank ini masuk daftar proses merger dan akuisisi yang akan menjadi cerita seru pada 2018. Kedua, kalaupun dua bank kelompok BUKU 3 ini tumbang, semestinya pemilik mereka sadar bahwa reputasinya akan rusak secara global sehingga semestinya pemilik memperbaiki kedua bank ini dengan cepat.
Ada dua hal yang perlu kita pikirkan. Pertama, kita mesti sadar bahwa perbaikan kondisi perbankan yang buruk saat ini tidak akan terjadi otomatis. Sebab, tidak akan ada tarikan dari lingkungan makro 2018 yang hangat-hangat kuku. Artinya, OJK perlu berusaha lebih keras dan tegas membalikkan keadaan. Jangan harap ada dorongan prosiklikal.
Kedua, perbankan bukan cuaca yang bisa berubah setiap saat. Kondisi perbankan sekarang adalah warisan pengawasan OJK pada masa lalu. Artinya, OJK saat ini tak hanya perlu memperbaiki manajemen bank, tapi juga melihat lingkup internal serta memperbaiki sistem dan manajemen pengawasan perbankan. Inilah janji para nakhoda OJK baru pada saat uji kelayakan dan kepatutan. Semoga kita bisa melihat hasilnya pada laporan keuangan pertengahan tahun depan.
Pengajar Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Katolik Atma Jaya (tulisan Ini Pendapat Pribadi, Tidak Mencerminkan Pendapat Institusi Tempat Penulis Berafiliasi)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo