Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<font size=1 color=brown>Pemalsuan</font><br />Cerita Baru Surat ’Aspal’

Dugaan pemalsuan surat amar putusan Mahkamah Konstitusi kembali mencuat. Menyeret politikus Partai Demokrat.

6 Juni 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hari-hari Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md. sepanjang dua pekan lalu seolah tak lepas dari bayangan Partai Demokrat. Di mana pun Mahfud berada, pemburu berita selalu mengejarnya dengan pertanyaan soal dua politikus partai biru: Muhammad Nazaruddin dan Andi Nurpati.

Mahfud mengaku terganggu oleh kondisi itu. ”Anak saya protes karena saya selalu nongol di TV,” katanya Jumat pekan lalu. ”Saya juga bosan ditanya hal yang sama berulang-ulang.”

Setelah membongkar pemberian Sin$ 120 ribu oleh Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, kepada Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi Janedjri Gaffar, Mahfud menguak sebuah tabir baru. Cerita ini tak kalah menghebohkan: dugaan pemalsuan surat amar putusan Mahkamah yang melibatkan salah satu pengurus Partai Demokrat, Andi Nurpati.

Kasus dugaan pemalsuan surat panitera Mahkamah Nomor 112/PAN.MK/VIII/2009, tertanggal 14 Agustus 2009, itu terjadi ketika Andi menjabat komisioner Komisi Pemilihan Umum. Surat itu berisi amar putusan Mahkamah yang mengabulkan permohonan Partai Hati Nurani Rakyat soal jumlah suara yang diraih calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewie Yasin Limpo, di tiga kabupaten di Sulawesi Selatan. Surat palsu itu menyatakan jumlah suara Dewie bertambah 13.012, sehingga adik Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo itu berhak melenggang ke Senayan.

Namun belakangan terkuak putusan Mahkamah tidak seperti itu bunyinya. Total jumlah suara Dewie dari tiga kabupaten yang digugat adalah 13.012. Pemimpin Mahkamah kemudian menyusulkan surat bernomor 112/PAN.MK/VIII/2009 tertanggal 17 Agustus 2009. Komisi Pemilihan sempat menetapkan Dewie sebagai pemilik satu kursi dari daerah pemilihan Sulawesi Selatan I itu, berdasarkan surat tertanggal 14 Agustus.

Pada 11 September 2009, Mahkamah kembali mengirim surat ke Komisi Pemilihan tentang penegasan surat tertanggal 17 Agustus. Akibat surat penegasan ini, Komisi Pemilihan menganulir penetapan Dewie sebagai anggota legislatif. Satu kursi di DPR jatuh ke tangan Mestariyani Habie dari Partai Gerakan Indonesia Raya.

Dalam kasus pemalsuan ini, Mahkamah membentuk tim investigasi yang dipimpin oleh Abdul Mukthie Fadjar. Sumber Tempo mengungkapkan, hasil investigasi menyimpulkan pemalsuan surat juga melibatkan pegawai Mahkamah dan seorang mantan hakim. Kemudian kasus dugaan pemalsuan ini dilaporkan ke Markas Besar Kepolisian RI pada 12 Februari 2010.

Keterlibatan Andi Nurpati, kata sumber itu, adalah membiarkan Dewie mendapat kursi legislatif dengan menggunakan surat tertanggal 14 Agustus. Ia diduga menyembunyikan surat 17 Agustus yang diserahkan panitera Mahkamah kepadanya di salah satu studio stasiun televisi. ”Kalau tidak ikut memalsukan, setidaknya ia menyembunyikan dokumen asli,” kata sumber tadi.

Andi membantah terlibat persekongkolan memenangkan Dewie. ”Saya tak membuat atau menyembunyikan surat apa pun,” katanya kepada Febriyan dari Tempo. Andi juga mempertanyakan alasan membuka kembali kasus ini. ”Ini kan kasus lama, kenapa dipermasalahkan sekarang?” ujar Ketua Divisi Komunikasi Publik Partai Demokrat itu.

Mahfud menyatakan tak punya motif di balik laporan Mahkamah ke polisi yang melibatkan politikus Demokrat. Dia menambahkan, langkah itu dilakukan untuk menjawab tudingan motif politik di balik tindakannya melaporkan pemberian uang oleh Nazaruddin kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan tidak kepada aparat hukum.

Bola panas kasus ini sekarang berada di kepolisian. ”Sedang ditangani,” kata Direktur I Tindak Pidana Umum Badan Reserse Kriminal Polri Brigadir Jenderal Agung Sabar Santoso. Polisi menyatakan belum memeriksa saksi dan masih berkoordinasi dengan Mahkamah untuk mendapatkan dua versi surat itu. ”Untuk mulai menyelidiki, perlu dua surat itu,” kata Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Komisaris Besar Boy Rafli Amar.

Tito Sianipar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus