Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Empat tahun memerintah Amerika, Trump terus menggelorakan nasionalisme sempit dan mengabaikan nilai demokrasi.
“Wabah” Trumpisme menjalar cepat ke banyak negara, termasuk Indonesia.
Gejala Trumpisme tampak jelas ketika para pemimpin politik yang terpilih secara demokratis justru melemahkan sistem demokrasi.
Kemenangan Joe Biden dalam pemilihan Presiden Amerika Serikat tak hanya membuat para pendukungnya berpesta. Terpilihnya Biden juga sedikit melegakan napas masyarakat dunia, termasuk sebagian orang Indonesia, yang cemas karena pemimpinnya semakin sering meniru kelakuan Donald Trump.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Empat tahun memerintah Amerika, Trump terus menggelorakan nasionalisme sempit, mengabaikan nilai demokrasi, dan menghalalkan segala cara untuk mempertahankan kekuasaan. Dia keranjingan menebar tuduhan palsu serta menyebut pengkritik pemerintah sebagai musuh rakyat Amerika. Trump pun tak menganggap penting isu hak asasi manusia. Ketika Covid-19 melumpuhkan sistem kesehatan Amerika, Trump malah melecehkan sains dan para epidemiolog.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Warga Amerika yang masih waras tak menunggu terlalu lama untuk “menghukum” pemimpinnya yang mempertajam pembelahan sosial itu. Namun tersingkirnya Trump tak serta-merta menyembuhkan luka yang dia torehkan. Apalagi, meski kalah, Trump memperoleh tambahan 7,3 juta suara dibanding raihannya pada Pemilu 2016. Trumpisme telanjur mengakar di sebagian masyarakat Amerika.
Sejak Trump terpilih pada 2016, banyak yang bertanya-tanya mengapa negara seperti Amerika, dengan pengalaman demokrasi yang demikian panjang, bisa melahirkan seorang presiden yang anti-demokrasi? Lalu, bagaimana dengan negara yang pengalaman demokrasinya masih seujung kuku? Ketika pertanyaan tersebut belum terjawab tuntas, “wabah” Trumpisme menjalar cepat ke banyak negara, termasuk Indonesia.
Di negeri ini, gejala Trumpisme tampak jelas ketika para pemimpin politik yang terpilih secara demokratis justru melemahkan lembaga negara penopang sistem demokrasi. Pemerintah Joko Widodo, misalnya, terang-terangan melumpuhkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang lahir dari rahim reformasi. Jokowi dan DPR pun tak mengindahkan gelombang protes mahasiswa dan masyarakat yang menolak pelumpuhan terhadap KPK.
Senada dengan Trumpisme, pragmatisme pembangunan dan kebijakan ekonomi pada masa Jokowi juga kerap mengabaikan perlindungan hak asasi. Yang terbaru, demi memudahkan investasi, pemerintah dan DPR menyepakati omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja yang merugikan hak buruh dan kelestarian lingkungan hidup.
Di sini, aparat juga semakin mudah menuduh penentang pemerintah sebagai musuh negara. Di alam nyata, mereka yang kerap mengkritik pemerintah harus siap berhadapan dengan polisi yang suka main kriminalisasi. Di dunia maya, pengkritik pemerintah pun harus tahan atas serangan pendengung bayaran tanpa nama.
Sebelum terlambat, warga Indonesia sudah saatnya bergerak bersama untuk membersihkan halaman rumah sendiri dari Trumpisme.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo