MAR'IE Muhammad akan menerima beban Rp 9,1 trilyun. Itu adalah uang yang harus dikumpulkan pemerintah dari pajak menurut tahun anggaran sekarang. Apabila jumlah itu tak dapat dikumpulkan, Mar'ie, sebagai dirjen pajak yang baru, merupakan orang pertama yang akan bertanggung jawab, sekalipun dia tidak terlibat dalam penetapan anggarannya. Siapa pun tahu sasaran penerimaan pajak sebesar itu (25% lebih tinggi dari anggaran tahun sebelumnya) sangat ambisius, karena harus dicapai dalam keadaan ekonomi yang masih tersendat-sendat. Tapi tampaknya pemerintah memang tak bisa menghindar dari sasaran yang ambisius. Pemerintah harus berusaha secara all out dalam mengumpulkan pajak, karena turunnya penerimaan dari minyak. Bekerja all out bagi Mar'ie bukan hal baru. Saya tahu hal ini ketika kami sama-sama aktif dalam organisasi mahasiswa pada 1960-an. Saya tahu dalam tubuh Mar'ie yang ceking tersimpan energi dan tekad yang luar biasa. Suatu ketika, pada 1966, Mar'ie harus tergeletak di rumah sakit, karena ada yang tak beres pada kelenjar pankreasnya. Bukan satu penyakit yang ringan. Waktu itu aksi-aksi KAMI masih berada pada puncaknya. Tanpa diketahui dokter, Mar'ie yang masih sakit parah melarikan diri dari rumah sakit dan bergabung dengan pemimpin mahasiswa lainnya untuk mengatur siasat aksi-aksi berikutnya. Bukan itu saja keistimewaan Mar'ie. Siapa pun yang mengenal Mar'ie pasti kagum dengan kemampuan intelektualnya, sesuatu yang tak bisa disembunyikan di balik kaca matanya yang tebal dengan minus 15 itu. Dalam rapat-rapat mahasiswa, kami sering dibikin kagum dengan cara Mar'ie menganalisa situasi. Dia bisa mencernakan dengan cepat masukan-masukan yang ruwet. Selain itu, cara Mar'ie mengemukakan satu logika ke logika lain cukup mempesonakan. Argumennya sangat persuasif. Terus terang, sult untuk berdebat dengan Mar'ie. Mendengarkan Mar'ie berbicara dalam forum terbatas kadang-kadang merupakan sebuah entertainment tersendiri. Dia seorang pakar untuk banyak topik. Mar'ie adalah seorang politikus. Tapi ia tak bisa berpidato. Dia bukan orator yang bisa membakar massa. Dia lebih banyak berperan di belakang layar dalam nenentukan manuver-manuver politik. Sering tindakannya begitu berani dan jauh, hingga beberapa kawan sering secara naif menganggap Mar'ie "melanggar prinsip". Padahal, yang dilakukan Mar'ie saat itu tak lebih dari mencari the art of the possible, satu aturan main yang kenal setiap politikus di mana saja. Mar'ie, yang tamat akuntan dari FEUI pada 1969, toh punya sebuah liability. Pada dasarnya ia adalah sebuah pribadi yang tak merasa comfortable di tengah orang banyak. Kesan saya, Mar'ie selalu ingin menghindari kontak dengan luar. Pemunculannya bukan bagi pribadi yang ramah, yang mengundang keakraban. Kecuali bagi mereka yang sudah kenal dekat. Mar'ie bukan pribadi yang out going. Inilah barangkali hambatan pertama yang dihadapi Mar'ie sebagai dirjen pajak. Dalam menjalankan tugasnya, dia akan banyak berhadapan dengan masyrakat, akan banyak berdiplomasi, membujuk dan menggugah. Yang dipertaruhkan Mar'ie bukan saja jumlah penerimaan yang besar, tapi juga sebuah citra dari aparat yang dipimpinnya. Krisis citra ini harus diselesaikan Mar'ie dengan tuntas, hingga setiap warga negara yang harus membayar pajak dengan tulus ikhlas memenuhi kewajibannya. Tanpa merasa sakit hati. Kenapa sakit hati? Karena mereka belum yakin bahwa setiap sen yang mereka setorkan ke kas negara akan digunakan dengan semestinya. Mereka masih waswas, jangan-jangan sebagian setoran pajak mereka nyasar ke kran yang bocor. Memang harus diakui, tugas Mar'ie dan aparatnya adalah mengumpulkan uang untuk negara. Bagaimana uang itu akan digunakan, itu tanggung jawab bagian lain, di luar kekuasaan Mar'ie. Tapi dia bisa berperan banyak dalam meluruskan persepsi masyarakat terhadap pajak yang selama ini kurang menguntungkan. Yang akan banyak membantu tugas Mar'ie adalah pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Mar'ie memerlukan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang lebih cepat tahun ini, karena PPH dan PPN bergantung sekali pada kegiatan ekonomi. Tapi perkembangan ekonomi beberapa bulan terakhir ini justru memberi rasa waswas. Ekspor nonmigas, yang diharapkan berfungsi sebagai lokomotif ekonomi Indonesia, tampaknya sudah mentok pada angka US$ 800 juta per bulan. Padahal, dia harus menembus US$ 940 juta supaya sasaran neraca pembayaran 1988-1989 tercapai. Rasa waswas juga disebabkan oleh harga minyak yang lebih rendah dari harga perkiraan APBN -- sekurangnya untuk pengapalan Juli dan Agustus. Selain itu, beberapa industri masih mengalami kelebihan kapasitas, karena pasaran belum berkembang. Banyak juga yang mengalami tekanan pada margin laba, karena harga bahan mentah masih mahal, akibat deregulasi belum tuntas. Produksi dan penjualan kendaraan bermotor merosot dibanding tahun lalu. Semua ini bukan berita baik buat Mar'ie. Tapi Mar'ie adalah orang yang cepat mengenal medan. Dalam waktu dekat akan muncul kiatnya sebagai respons terhadap situasi yang dihadapi. Yang boleh jadi bukan berita baik buat para wajib pajak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini