Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wilson Sitorus
PEDOMAN Perilaku Penyiaran & Standar Program Siaran (P3-SPS) Komisi Penyiaran Indonesia dianggap sebuah kebijakan yang efektif untuk mempercantik moral masyarakat pemirsa. Akibatnya, program Empat Mata di Trans7 harus berhenti mengudara karena telah mencederai P3-SPS. Inilah pertama kalinya Komisi Penyiaran Indonesia melakukan bredel gaya baru atas sebuah program siaran televisi. Tapi apakah Empat Mata akan menjadi korban yang terakhir?
Setidaknya ada tiga hal yang dapat dijadikan landasan untuk mendiskusikan program siaran televisi. Pertama, televisi adalah alat, bukan tujuan. Televisi tidak pertama-tama dimaksudkan untuk menggantikan fungsi babysitter, guru, dosen, maupun fungsi pengkhotbah. Karena itu televisi tidak boleh dimintai pertanggungjawaban atas kericuhan moral yang terjadi di masyarakat. Neil Postman (Amusing Ourselves to Death, NYU, 1985) justru mengkritik peran pemerintah dan lembaga penjaga moral yang dibentuk dari pajak masyarakat. Pengajar Universitas New York dan pakar media ini mensinyalir isi televisi merupakan representasi dari wajah sebuah pemerintahan.
Kedua, sistem pemeringkat atas sebuah program acara yang dimonopoli oleh Nielsen Media Research berpotensi memprovokasi televisi. Dalam kasus Empat Mata, saya mencatat setahun terakhir Tukul dan tim kreatifnya secara konsisten memaksakan isi acara yang berorientasi rating dengan cara mengeksploitasi perilaku masyarakat dalam bentuk seks, kekerasan, dan klenik. Pemaksaan isi acara itu terjadi setelah performa Empat Mata menurun mendekati titik jenuh. Pada pekan awal, program ini mencapai masa keemasannya dengan perolehan rating 5,5 dan share audience 24,3. Empat Mata merupakan salah satu program andalan Trans7 untuk menempatkan dirinya di posisi 6 dari sebelumnya di posisi 8.
Ada tiga hal yang perlu diluruskan dalam sistem pemeringkat Nielsen. Pertama, keengganan membuka identitas responden di sembilan wilayah (Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Medan, Makassar, Bali, Palembang) yang menjadi wilayah riset merupakan hal yang patut dicurigai dan mencemaskan.
Kedua, penentuan demografi strata sosial ekonomi AB Plus tidak sesuai dengan kenyataan. Berdasarkan terminologi Nielsen, seorang pemirsa digolongkan dalam strata AB Plus jika pengeluarannya mencapai Rp 1,5 juta sebulan. Minimal dia juga harus punya pemutar DVD, kulkas, dan alat pendingin udara. Khusus untuk Jakarta, yang menyumbang sampai 51 persen dari jumlah pemirsa total, pemirsa strata AB Plus yang dimaksud Nielsen adalah pegawai negeri golongan 3; satpam pusat belanja, atau office boy di kantor. Silakan bayangkan profil pemirsa ini dan bayangkan program televisi yang dipilih.
Pelurusan ketiga adalah sistem people meter yang sangat mungkin bias. Jika Anda termasuk responden Nielsen, pesawat televisi Anda akan terhubung dengan basis data Nielsen. Angka berapa pun yang Anda tekan pada remote control, yang menunjukkan channel dari sebuah stasiun televisi, Anda telah dinyatakan menonton channel tersebut. Bias akan terjadi jika Anda menekan channel tertentu kemudian Anda pergi mandi. Dengan sistem pemeringkat harian, bias yang terjadi akan semakin besar.
Landasan yang tak kalah penting, kenyataan bahwa sejauh ini Komisi Penyiaran Indonesia tak berusaha melakukan pendekatan kepada para pengiklan untuk tidak menjadikan rating sebagai satu-satunya alat ukur. Belum ada upaya serius dan cerdas dari Komisi Penyiaran untuk melaksanakan pertemuan antara Komisi Penyiaran -pengelola televisi-pengiklan dan Nielsen, dalam hal mendiskusikan dan menyatakan sikap terhadap rating dan akibat yang ditimbulkannya.
Para pengiklan tentu saja akan selalu memburu program yang rating-nya tinggi, untuk memenuhi CPRP (cost per running programme). Akibatnya, para kreator televisi dan produser terdorong untuk membuat program yang memenuhi angka rating (rating generic), yaitu yang bertema melodrama, seks, kekerasan, dan klenik. Kualitas seorang produser pada akhirnya ditentukan oleh rating.
Pemasang iklan sebenarnya sudah lebih cerdas dalam memilih program. Mereka tidak lagi mengandalkan commercial break semata, tetapi bergerak maju menjadi sponsor atas program-program yang berhubungan dengan produknya dalam ikatan join production. Simbiosis ini memungkinkan terjadi edukasi, sebab produser dan pengiklan sama-sama menyadari bahwa rating tidak lagi menjadi satu-satunya ukuran.
Proses mengurai benang kusut ini harus dimulai dari Komisi Penyiaran Indonesia. Eksistensi Komisi Penyiaran seharusnya tidak hanya menjadi pemadam kebakaran bagi penonton televisi, tapi juga memberikan wacana cerdas agar di kemudian hari tidak ada lagi Empat Mata jilid 2. Harus diakui, Empat Mata dibutuhkan pemirsa karena menghibur. Tukul melakukan pembukaan yang manis dan cerdas. Inilah satu-satunya program talk show dengan pembawa acara yang secara sadar mengejek penampilannya sendiri dan mengaku dirinya bukan orang pintar. Tukul menjadi antitesis dari kebekuan talk show yang selama ini semuanya terlalu diatur dan ingin terlihat pandai.
Tidak adil merampas dan menelikung hak pemirsa untuk terhibur, semata-mata karena Komisi Penyiaran ingin menyeragamkan moral pemirsa. Mudah-mudahan Empat Mata menjadi yang pertama dan yang terakhir
Selamat jalan, Empat Mata. Kembalilah ke laptop....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo