Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Enam tahun setelah Jan Pieterszoon Coen meninggal di tengah kepungan tentara Mataram, 35 tahun setelah ia mendirikan Batavia di atas puing pertempuran dengan orang Inggris, VOC membangun enam benteng kecil di bekas wilayah Kerajaan Banten yang dikuasainya. Letak masing-masing sejauh dua kilo dari pusat, seperti menghadang tanah dan sawah di sekitar.
Pada 1656 itu, penduduk yang disebut "Jawa" dilarang hidup di dalam wilayah yang dilindungi tembok kota. Mereka ditempatkan di luar, di beberapa lokasi di wilayah Ommelanden itu. Sejarawan Remco Raben (yang menulis sebuah esai yang sangat informatif dalam Jakarta-Batavia: Socio-Cultural Essays, ed. P. Nas; KITLV: 2000) menyebut kejadian itu salah satu "perkembangan yang… mengubah penampilan Batavia secara dramatis".
Kemudian didatangkanlah orang-orang dari Ambon yang jadi tentara VOC. Mereka diberi tanah di perbatasan timur dengan Karawang. Setelah itu, dimasukkan orang Bugis dan Makassar. Juga para bekas pembangkang yang takluk, seperti pasukan Bali yang pada 1708 menyerah. Kampung-kampung pun dibentuk.
Dan penduduk pun bertambah. Bersama itu, ketenteraman mulai terganggu. Pada 1686, sebuah gardu kompeni diserang sejumlah besar "bandit" asal Bali. Dengan segera penguasa Batavia pun mengubah cara kontrolnya. Tiap komunitas diberi sepetak wilayah. Masing-masing dipimpin orang yang diangkat VOC dengan pangkat militer. Para penghuni dijauhkan dari pusat kota, harus bisa menopang sendiri hidup mereka, tapi selalu siap dimobilisasi untuk perang. Pada 1773 tercatat 17 kampung yang dipimpin "opsir bumiputra": antara lain dua kampung Jawa, lima Bali, tiga Bugis, satu Makassar, satu Melayu, satu Ambon—dengan nama yang masih terdengar sampai hari ini.
Tapi, menurut Raben, segregasi dari atas itu tak berjalan sesuai dengan rencana. Peraturan VOC itu praktis gagal. Para pemuda yang diberangkatkan perang tak selamanya mau kembali ke kampung asal mereka. Para opsir memperluas tanah milik, sering menjauh dari pusat, dan tanah pribadi itu punya pilihan permukiman tersendiri.
Tentu saja garis besar peta demografi tetap. Orang "Jawa" tinggal di arah perbatasan barat dan timur. Orang "Eropa" merapat ke pusat, mendirikan rumah tetirah mereka di tepi Ciliwung. Orang Cina—yang kebanyakan bekerja di ke-80 pabrik gula di wilayah sekitar itu—mencari lingkungan yang berhutan. Sementara itu, orang Bali, Bugis, Makassar, dan lainnya tak begitu jelas pola tinggalnya.
Pada akhirnya kerancuan terjadi—kerancuan selalu terjadi. Kekuasaan, dengan bedil dan buku, akhirnya hanya mirip deretan benteng darurat di luar tembok kota: ada jarak antara mereka dan pedalaman yang menyimpan pelbagai ketakmungkinan.
Dalam catatan Raben, pemasangan label etnis oleh VOC pada penduduk "bumiputra" tak pernah pas. Label itu tak mencerminkan, dan tak pula membangkitkan, perasaan kesukuan atau seasal-usul. Pertalian sosial ternyata tak berdasarkan "daerah"—mungkin karena definisi "daerah" juga hanya konstruksi administrasi.
Raben memberi contoh orang-orang "Ambon". Rombongan pertama sebenarnya berasal dari pelbagai pulau di kepulauan Ambon. Pada 1671 terjadi perkelahian di antara mereka sendiri—antara yang Kristen dan yang Islam. Mirip dengan itu, pada 1686, insiden meletus antara orang Bali yang lahir dan dibesarkan di Batavia dan orang Bali yang baru datang. Mereka tak hendak tinggal sekampung.
Yang lebih rawan dan ambigu hubungan antara orang Tionghoa dan penduduk lain, khususnya yang muslim. Oktober 1740, terjadi pemberontakan penduduk Cina terhadap VOC. Seorang pemimpinnya, Khe, punya ajudan seorang Cirebon yang disebut "Pangeran Dipati". Tapi tak banyak orang yang bukan Tionghoa yang memihak mereka. Mungkin karena tak merasa senasib, mungkin juga karena para pembangkang dianggap "bangsa" lain, "suku" lain.
Tapi apa sebenarnya "suku"? Saya tak tahu batasannya dan tak tahu kapan kata itu masuk percakapan sosial-politik Indonesia. Pada 1701, dan ditegaskan lagi pada peraturan bertahun 1766, pemerintah kolonial melarang perkawinan di antara golongan etnis yang berbeda. Tapi penduduk tak benar-benar taat, dan pelanggaran tak pernah dihukum. Tak semua orang, yang umumnya berhubungan dengan bahasa yang sama, bahasa Melayu, menyandang labelnya sendiri dengan mantap.
Raben punya kasus menarik: pada 1781, Hauwa, perempuan asal Bima, membuat surat wasiat di depan notaris. Ia dibantu dua orang Bali tetangganya, Samsuddin dan Nyoman. Dalam wasiatnya Hauwa menyebut Ma Samuel sebagai ahli waris hartanya; ia perempuan Bugis.
Dalam hidup nenek moyang kita, hampir dua abad mendahului Sumpah Pemuda 1928, sesuatu yang mirip cerita kuliner terjadi: asam di gunung, garam di laut, bertemu dalam belanga. Ada asam, ada garam—masing-masing terpisah-pisah—tapi kecuali itu ada kerja. Asam didatangkan dari pohon di dataran tinggi; garam dibawa dari kawah lumpur atau pantai datar. Kemudian sesuatu berlangsung dan sesuatu berubah. Tak ada lagi pucuk, tak ada lagi laut, tak ada lagi batas, kecuali batas yang sementara: belanga.
Dan belanga adalah wadah yang dibuat dari tanah, dipasang di dapur, dengan api, kayu bakar, arang, asap, debu—karena rasa lapar, karena kreativitas yang lahir dari lapar dan menggerakkan tangan dan mengeluarkan keringat. Dalam hal itu sejarah sebuah bangsa juga sejarah kebudayaan: cerita tentang lapar, tentang kreativitas dan tangan dan keringat manusia yang menembus batas.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo