KETIKA Nabi Ya`qup a.s. melepas anak-anaknya pergi ke Mesir, mencari Yusuf, ia berpesan, "Wahai anak-anakku, kamu janganlah masuk dari satu pintu, melainkan masuklah dari berbagai pintu yang berbeda-beda" -- (Q., 12:67). Nabi Ya`qup yang bergelar Israil (artinya, hamba Allah) adalah lambang jiwa kebapakan yang penuh kesabaran dan tawakal karena yakin setiap masalah tentu akan diberi Tuhan jalan keluarnya. Dialah nenek moyang bangsa Yahudi, yang juga disebut Israil (Anak-turun Israil), yang dari bangsa itu banyak tampil nabi-nabi dan rasul-rasul. Sedangkan Nabi Yusuf adalah personifikasi keadilan dan kemakmuran berkat kemampuannnya memandang jauh ke depan. Ia juga melambangkan ketulusan yang tidak sedikit pun menyimpan rasa dendam kepada saudara-saudaranya yang dahulu pernah menyia-nyiakannya. Ia adalah simbol moralitas yang tinggi, yang tidak mempan godaan bangsawan cantik Zulaikha. Ia adalah juga wujud dari kebenaran. Nah, siapa tahu perkembangan sosial-politik tanah air kita menjelang pemilu sekarang ini mencerminkan makna dan semangat di balik metaformetafor dan lambang-lambang di atas. Pertama, ada gejala yang sepintas lalu seperti menunjukkan bahwa orang mulai bosan dengan pemilu. Barangkali yang benar bukanlah gejala bosan melainkan cermin dari sikap jiwa yang dapat disebut "keraguan sehat" (healthy scepticism) akibat daya kritis yang semakin meningkat. Gejala "keraguan sehat" itu merupakan indikasi bagi gejala lain yang lebih sehat dan lebih penting lagi, yaitu mulai tumbuhnya kemampuan orang banyak melihat alternatifalternatif. Artinya, orang tidak lagi melihat sesuatu sebagai satu-satunya yang ada atau satu-satunya pilihan. Maka tanggapan kepada suatu fakta tidak lagi dalam kerangka serba mutlak melainkan nisbi belaka. Akibatnya, mereka sanggup melihat bahwa perpindahan dari satu noktah ke noktah yang lain bukanlah suatu tabu yang melanggar kesakralan melainkan sekadar tindakan memilih suatu alternatif yang dipandangnya relatif lebih baik daripada yang lain dalam deretan berbagai kemungkinan pilihan yang tersedia. (Tentu saja oportunisme tetap tidak dapat diterima karena ia menunjukkan jiwa tak bermoral dalam berpindah dan membuat pilihan). Kebetulan "memilih" dalam bahasa Arab adalah ikhtiyar, yang arti etimologisnya ialah menentukan dan mengambil sesuatu yang relatif paling baik dari berbagai kemungkinan yang ada. Karena itu secara logika orang tidak dapat disebut "memilih" jika di depannya tersedia hanya satu-satunya pilihan. "Memilih satu-satunya pilihan" adalah sebuah kontradiksi dalam terminologi. Demokrasi sebagai sikap hidup menghendaki adanya kemungkinan alternatif pilihan yang cukup banyak. Dan adanya berbagai alternatif itu sendiri menghendaki suasana yang memungkinkan orang untuk tidak melihat sesuatu sebagai serba sempurna. Ini tentu saja menyangkut pandangan hidup. Pada urutannya, ini menghendaki adanya kesediaan mereka yang berjiwa demokratis "untuk menerima dan hidup menurut aturan berfungsinya cita-cita secara parsial belaka". Perfeksionisme dan demokrasi adalah dua hal yang tidak pernah bertemu. Sebab perfeksionisme mengimplikasikan pandangan yang serba mutlak, padahal demokrasi menuntut adanya pandangan kenisbian sampai batas yang cukup jauh. Karena itu demokrasi dengan sendirinya juga memerlukan kesediaan untuk melakukan kompromi-kompromi. Sikap "tidak kenal kompromi" adalah suatu absolutisme dan hanya cocok untuk orang yang mempunyai kecenderungan tiranik. Kita harus ingat bahwa setiap orang mempunyai bakat untuk menjadi tiran, yaitu ketika ia tidak merasa perlu kepada orang lain. Maka meskipun secara pribadi seseorang mungkin benar mempunyai komitmen kepada idealisme, perwujudan komitmennya itu dalam masyarakat harus mengizinkan adanya pengawasan orang banyak. Ia harus bersedia mendengar pendapat orang lain tentang apa yang baik dan benar dan tentang bagaimana caranya mewujudkan yang baik dan benar itu dalam konteks nyata ruang dan waktu. Dan pengawasan orang banyak (social control) dengan sendirinya akan macet kalau mereka yang bersangkutan mengenakan sikap "tak kenal kompromi". Jadi kompromi yang sehat dan benar sesungguhnya adalah wujud hikmah "Wani ngalah duwur wekasane", yaitu mengalah untuk tidak memaksakan pendapat sendiri. Inilah "partial functioning of ideals". Namun, sikap mengalah itu justru akan membawa kemenangan akhir, yaitu terwujud dan terpenuhinya kebaikan orang banyak dan kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Dan ajaran musyawarah (makna etimologisnya, "saling memberi isyarat") persis mengandung semangat kesediaan melakukan kompromi sehat itu. Jadi kalau suasana kampanye pemilu sekarang ini terasa adem ayem saja, itu mungkin adalah pertanda bahwa kita sedang mengalami proses kedewasaan politik yang menentukan. Katakanlah dalam deretan ungkapan yang gampang dan sederhana: adem ayem berarti secara positifnya tidak ada kefanatikan, itulah jiwa demokratis dengan pandangan kenisbian secukupnya dan kesediaan melakukan kompromi-kompromi sehat. Jadi memang tidak hanya ada satu pintu menuju Yusuf, tokoh nabi lambang masyarakat adil makmur. Kita harus melihat juga pintu-pintu yang lain. Kalau tidak, maka akan terjadi situasi "eitheror" atau "ya-atau-tidak" yang mempersempit kemungkinan untuk berhasil dan merugikan diri sendiri. Maka para kontestan pemilu kiranya tidak perlu gusar dengan adanya suasana adem ayem dalam masa kampanye ini. Suasana kurang antusias itu tidak ada urusannya dengan masalah pamor kontestan yang merosot. Suasana itu justru dapat ditafsirkan secara positif seperti di atas. Maka melihat jauh ke depan dengan tabah dan tawakal (meneladani Nabi Ya`qub dan Nabi Yusuf) kita harus terus-menerus melatih diri untuk mampu melihat bahkan menyediakan alternatif pilihan dalam spektrum kanan kiri yang sebanyak-banyaknya dan deretan yang sepanjang-panjangnya. Di masa mendatang akan tiba saatnya kita sungguh-sungguh dapat dengan bebas untuk "hire and fire the government" seperti di negeri-negeri yang demokrasinya telah benar-benar mapan. Itulah harapan dan doa kita menjelang pemilu ini. Semoga Tuhan mengabulkan dan memberkati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini