EDWARD Said adalah seorang Palestina yang berada di Amerika
Serikat, gurubesar kesusastraan terkemuka. Dua tahun yang lalu
ia menulis buku yang menarik perhatian banyak orang:
Orientalism.
Dengan 368 halaman itu, ia memang bisa mengasyikkan dan
sekaligus menyesakkan.
Ia mengasyikkan karena nadanya yang amarah, dan amarahnya yang
berdasar. Ia menyesakkan karena ia begitu kepingin mencakup
banyak hal, mengulas begitu banyak bahan, mendepa sejarah yang
panjang -- untuk mebuktikan dan mengecam satu perkara sikap kaum
"Orientalis ".
Samar-samar kita sudah tahu jenis apa kaum Orientalis ini.
Mereka adalah sekelompok manusia, umumnya sarjana Barat, yang
khusus mempelajari dan menulis tentang Dunia Timur. Edward Said
sendiri lebih luas tebaran jaringnya bila ia bicara tentang
Orientalisme: baginya ini adalah suatu gaya pemikiran, suatu
sikap, mungkin pula sindrom, tapi juga suatu institusi antara
pelbagai usaha yang sejalan.
Secara sangat sederhana bisa dikatakan bahwa usaha itu adalah
usaha untuk membedakan, juga memperlawankan, kenyataan dalam dua
kategori: "Timur" dan "Eropa". Yang "Timur" adalah suatu hakikat
yang harus diteliti, dipahami, diungkapkan dan dikontraskan
dengan yang "Eropa". Tentu saja bagi para penulis Barat itu
"Eropa" adalah sesuatu yang sudah dikenal dengan enak dan yang
"Timur" adalah sebaliknya.
Maka yang "Timur" bisa saja menarik, menakjubkan, tapi juga bisa
menakutkan, menjijikkan, dan pada dasarnya - menurut kaum
Orientalis itu kepada para pembacanya di Barat -- "lain dari
kita" Maka para Orientalis ini pun biasanya cenderung
"menimur-nimurkan Timur". Akhirnya timbunan "pengetahuan" mereka
itu pun memperoleh kekuatannya sendiri dari sini terciptalah
"Timur", yang pada dasarnya hanyalah Timurnya kaum Orientalis.
Lalu membanjirlah novel, kisah cinta atau petualangan, juga
penelitian ilmu sosial dan kebudayaan -- dan juga penjajahan.
Orientalisme dengan demikian juga mengandung tendensi
penaklukan. Sekelompok manusia ditinjau sedemikian rupa hingga
mereka cuma berdiri sebagai obyek. Mereka dilukis, ditampilkan,
seakan dalam keadaan tak bisa menampilkan diri mereka sendiri.
Tak pelak lagi, Edward Said telah menggugah banyak orang.
Apabila dasar sikapnya tak orisinal, itu hanya berarti bahwa
amarah yang tersirat dalam bukunya tak cuma milik dia. Di
Indonesia sendiri, di kalangan Islam, kata "Orientalis" sudah
lama hampir jadi kata makian.
Di kalangan para sarjana memang telah timbul masalah yang kurang
lebih bersifat epistemologis: bagaimanakah kenyataan
dikonstruksikan dalam pikiran kita? Dapatkah sebuah monograf
tentang lukisan klasik Cina atau sebuah laporan tentang
kemiskinan di Jawa terlepas dari riwayat pengetahuan dan cara
berpikir penyusunnya?
Dengan kata lain, pada akhirnya memang patut diragukan adakah
karya-karya ilmiah, juga jurnalisme, merupakan jembatan saling
mengerti antar manusia -- atau justru sekedar pernyataan baru
prasangka-prasangka lama. Kita bisa pesimistis. Kita bisa pula
optimistis.
Edward Said, di balik serangannya yang bergelombang terhadap
Orientalisme, adalah seorang optimis. Dalam menggebuk
Orientalisme sebenarnya ia mempertahankan kemungkinan dialog. Ia
mencakar Max Weber dan sejumlah ahli sosiologi serta
anthropologi, yang rajin menyebar luaskan kepercayaan bahwa ada
perbedaan ontologis antara "mentalitas" Barat dan Timur. Ia
mengakhiri bukunya dengan seruan untuk kebersamaan manusia,
setelah ide "Timur" itu ditanggalkan.
Maka ia tak menutup diri. "Saya tentu tak mempercayai pendirian,
bahwa hanya seorang hitam yang dapat menulis tentang orang-orang
hitam, hanya seorang Muslim tentang orang-orang Muslim, dan
seterusnya," begitulah kalimatnya di halaman 322.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini