CHRIS Siner Key Timu, 40 tahun tampak santai belakangan ini.
Berangkat ke kantor tak tentu jamnya. "Pulangnya juga tak tentu.
Saya ke kantor hanya untuk membereskan beberapa hal saja,"
ujarnya Senin lalu.
Ada alasan Chris untuk santai. Pada 28 Juli lalu ia telah
mengirim surat pada rektor Universitas Atma Jaya menyatakan
pengunduran dirinya dari jabatan Kepala Biro Kemahasiswaan.
Jabatan ini dipegang ayah dari 3 orang anak itu sejak 1974.
"Saya mengambil tindakan ini untuk kepentingan Atma Jaya,"
katanya.
Pengunduran diri Chris adalah buntut dari serentetan peristiwa.
Dimulai pada 9 Juni 1980 tatkala rektor Atma Jaya dipanggil oleh
Irjen Departemen P&K yang meminta agar rektor mengambil tindakan
terhadap Chris. Alasannya Chris ikut menandatangani Petisi
Keprihatinan -- yang lebih terkenal sebagai Petisi 50.
Setelah pertemuan itu, Irjen P&K kembali menelepon rektor. "Tapi
menurut peraturan intern Atma Jaya, rektor tidak dapat mengambil
tindakan apapun terhadap saya," cerita Chris. Rektor meminta
agar Departemen P&K berhubungan dengan pihak Yayasan Atma Jaya.
"Saya ini menjadi rektor diangkat oleh Yayasan. Saya bilang
kepada Irjen, yayasanlah yang berhak untuk mensganlbil tindakan
terhadap Chris. Saya sendiri mempunyai prinsip dasar tidak akan
memberhentikan dia. Kalau saya melakukan hal ini, berarti saya
sudah menjadi alat politik," tegas dr. K.S. Gani, 58 tahun,
Rektor Universitas Katolik Atma Jaya.
Menurut Gani, Chris hanya mengundurkan diri sebagai Kepala Biro
Kemahasiswaan, namun sebagai pegawai dia tidak akan
diberhentikan "Kalau Chris sampai diberhentikan sebagai pegawai
di lingkungan Atma Jaya, saya akan meletakkan jabatan sebagai
rektor," tegas dokter lulusan FKUI tahun 1961 ini. Alasannya
Chris Siner menandatangani Petisi 50 bukan sebagai pegawai Atma
Jaya. "Kalau orang melakukan tindakan politik tanpa
mengatasnamakan universitas, itu adalah haknya sebagai
warganegara," ujar Gani.
Pengunduran diri Chris tampaknya merupakan jalan keluar bagi
Atma Jaya. Ini akibat ultimatum Departemen P&K tertanggal 2Z
Juli pada Pengurus Yayasan Atma Jaya. Ditandatangani Sekjen
Soetanto Wirjoprasonto atas nama Menteri, surat itu mengancam
hendak meninjau kembali status dan segala pemberian bantuan yang
selama ini pernah diberikan, kalau Atma Jaya tidak dapat
mengambil tindakan atas diri Chris Siner Key Timu.
Rektor dan yayasan kemudian menyerahkan pada Chris untuk
bersikap. "Demi kepentingan lebih dari 3.000 mahasiswa, saya
meletakkan jabatan saya," kata Chris. Menurutnya, Petisi 50
ditandatanganinya sebagai warga negara, bukan sebagai Kepala
Biro Kemahasiswaan. "Saya tidak pernah mempengaruhi mahasiswa
dengan pandangan politik saya," tambah bekas Ketua Presidium
PMKRI (Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia) antara
1971-1977 ini.
Chris Siner bukan sendirian. Dokter Judilherry Justam, 32 tahun,
sejak akhir Agustus lalu telah diberhentikan dengan hormat dari
jabatan negeri selaku Asisten Ahli Madya golongan III/a pada
Fakultas Kedokteran Ul. Putusan Menteri P&K tanggal 7 Agustus
ini ditandatangani Sekjen Departemen P&K. Alasan pemberhentian:
untuk penyederhanaan suatu satuan organisasi, dan Judilherry
dinyatakan sebagai pegawai negeri sipil yang berkelebihan.
"Kenapa tidak terang-terangan saja saya diberhentikan karena
menandatangani Petisi 50?," komentar Judil yang lulus sebagai
dokter pada 1976. Sebagai tokoh mahasiswa UI, ia pernah ditahan
karena dianggap tersangkut peristiwa 15 Januari. Ia juga
terkenal karena pernah mencalonkan diri menjadi Presiden
menjelang Sidang Umum MPR 1978.
Judil, yang mengaku telah lulus Penataran P-4 ini, mulai bekerja
di Bagian llmu Kesehatan Masyarakat dan llmu Kedokteran
Pencegahan FKUI sejak 1977 dan diangkat menjadi pegawai negeri
sejak Maret 1979. Pasal kelebihan tenaga yang dijadikan alasan
penghentiannya, menurutnya terlalu dicari-cari. "Padahal dalam
rapat Bagian akhir Agustus diputuskan bahwa Bagian tidak
kelebihan tenaga. Malah Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat masih
kekurangan tenaga," kata Judil.
Meski telah diberhentikan, Judil akan mendapat "uang tunggu".
Menurut keputusan pemberhentian, sampai Agustus 1981 dia akan
menerima 80% dari gaji pokok, dan setelah itu sampai Agustus
1985 sebesar 75%. Gaji pokoknya Rp 34.100. Judil tidak khawatir
akan masa depannya. "Sebagai dokter, saya tidak mungkin tidak
makan," kata dokter yang membuka praktek di Kramat Sentiong,
Jakarta ini.
Nasib yang sama juga menimpa Prof. Dr. Kasman Singodimedjo dan
Dr. Anwar Harjor -- keduanya dosen di IAIN ,Sjarief Hidayat
Jakarta yang juga menandatangani Petisi 50. Sejak masa kuliah
September ini keduanya tak lagi mengajar. Menurut rektor IAIN
Dr. Harun Nasution, tak ada larangan untuk mengajar, namun
mereka mengundurkan diri. "Alasannya tidak jelas," ujarnya Senin
lalu.
Lain lagi penjelasan Kasman. "Bukan saya yang minta, tapi mereka
berusaha agar saya mengundurkan diri," katanya. Menurut orang
tua ini, mata kuliah Hukum Acara Perdata dan Pidana yang
diperuntukkan Fakultas Syariah tingkat Doktoral I dan II dan
diajarkannya dihentikan pihak IAIN. Alasannya karena tidak
diujikan lagi. "Kalau begitu saya mengundurkan diri," kata
Kasman menirukan ucapannya di IAIN pekan lalu.
Menteri P&K Daoed Joesoef menolak berbicara mengenai masalah
ini. Alasannya, menurut Kepala Humas Departemen P&K
Haryoseputro: "Pak Daoed mengatakan, semuanya sudah selesai."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini