Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Berharap Kepada Bulog

Tugas dan kewenangan Bulog akan diperluas. Perlu kehati-hatian melaksanakan revitalisasi lembaga negara ini.

22 Juni 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KITA bisa memahami kegeraman pemerintah Joko Widodo terhadap mafia beras yang begitu mudah mempermainkan harga bahan pokok itu. Menghadapi mafia yang demikian digdaya, dan karena ketidakberdayaan Badan Urusan Logistik membendung perbuatan yang sarat mudarat bagi orang banyak itu, muncul dorongan untuk mengembalikan Bulog ke fungsi 17 tahun silam, ke masa Orde Baru.

Pergantian Direktur Utama Bulog Lenny Sugihat dengan Djarot Kusumayakti dilakukan sebagai awal pembenahan Bulog, yang sebelumnya berorientasi keuntungan, kembali menjadi stabilisator harga pangan nonprofit. Dan kewenangan Bulog pun bakal diperluas. Presiden Joko Widodo mengatakan pembenahan mutlak dilakukan karena Bulog akan menyandang tugas lebih banyak.

Harapan dan tuntutan terhadap lembaga yang belakangan berstatus badan usaha milik negara berbentuk perusahaan umum melalui Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2003 ini melambung tinggi. Namun sikap realistis dan penuh kehati-hatian tetap diperlukan ketika fungsi Bulog dikembalikan sepenuhnya sebagai penyangga pangan nasional tanpa dibebani cari keuntungan.

Menghadirkan masa lalu memang khayalan yang kerap muncul bila kenyataan sekarang terasa menyakitkan. Sejak awal Januari lalu, harga beras lepas landas. Memasuki Februari, kenaikan harga bahkan melambung hingga 30 persen. Bahkan di Samarinda, Kalimantan Timur, dilaporkan harga beras meroket hingga 80 persen. Dalam ketidakberdayaan ini, ingatan akan periode "swasembada beras" (1970-1984), tatkala produksi beras nasional meningkat dari 1,8 ton per hektare menjadi 3,01 ton per hektare, kelihatan sebagai alternatif yang menjanjikan.

Menghadapi perkembangan seperti ini, tampaknya kita harus selalu berpikir dengan analogi yang tepat, perbandingan yang "apple to apple". Melalui Bulog-didirikan dengan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1969-orientasi kebijakan pangan Orde Baru senantiasa diarahkan pada penurunan dan stabilisasi harga beras. Untuk menurunkan harga beras, waktu itu Departemen Pertanian mengintervensi harga faktor produksi penanaman padi dengan pemberian subsidi pupuk, pembunuh hama, air irigasi, penyediaan bibit unggul, alih teknologi, dan sebagainya. Pemberian subsidi ini memang menguras anggaran negara, tapi Indonesia masih bisa diselamatkan oleh boom minyak pada 1973.

Membandingkan Indonesia pada periode itu dengan saat ini tidak "apple to apple". Pertama, Indonesia bukan lagi eksportir minyak yang dapat menikmati boom minyak bumi. Kedua, sejak reformasi 1998, era sentralisasi kekuasaan yang menjadi ciri Orde Baru telah digantikan oleh desentralisasi, yang pada akhirnya mengurangi dominasi negara hampir di setiap sektor. Ketika krisis ekonomi menerpa Asia pada 1997, Dana Moneter Internasional (IMF) berhasil memaksa Soeharto mengurangi fungsi Bulog sebatas mengurus komoditas beras.

Tuntutan IMF itu pun dipatuhi Soeharto dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1998, yang membatasi tugas pokok Bulog hanya menangani komoditas beras. Sedangkan komoditas pangan lain yang sudah ditangani Bulog selama era Orde Baru dilepaskan ke mekanisme pasar, termasuk penentuan harganya. Era "pengaruh IMF" boleh jadi telah berakhir. Namun pengaruh reformasi yang mengurangi peran negara tak bisa ditampik, dan itulah kehendak sejarah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus