Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MESKIPUN kesan intervensi tak terelakkan, tindakan Menteri Pemuda dan Olahraga membekukan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia, beberapa waktu lalu, punya sisi positif. Perkumpulan yang berdiri pada 1930 untuk melawan penjajahan itu sekarang justru diduga kuat "dijajah" suap, pengaturan skor, dan perjudian. Akibatnya, jangankan berprestasi internasional, di tingkat regional saja PSSI menjadi bulan-bulanan.
Maka pengakuan Balbalan Sakti-bukan nama sebenarnya-di depan polisi pekan lalu bahwa dia merupakan kaki tangan mafia sepak bola perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya. Kesaksian itu merupakan modal penting bagi polisi, yang selama ini terlihat kurang sungguh-sungguh menangani suap bola dengan alasan bukti tak cukup. Sang anggota "mafia" sudah siap menyerahkan data nomor rekening para pemain yang disangka menerima suap.
Suap sepak bola merupakan tindak pidana. Ini adalah pengkhianatan luar biasa atas publik yang sudah menonton dan membayar tiket pertandingan, sponsor yang membayar mahal, serta stasiun televisi yang membeli hak siar dengan harga selangit. Maka sangat menyakitkan mendengar indikasi suap pertandingan tim nasional Indonesia di bawah usia 23 tahun melawan Vietnam di SEA Games Singapura dua pekan lalu.
Kesaksian Balbalan Sakti, yang memperdengarkan rekaman percakapannya dengan relasinya dari negeri jiran, bahwa skor pertandingan Indonesia versus Vietnam sudah diatur sebelumnya, patut menjadi pembuka jalan menguak dugaan rasuah bola ini. Percakapan Balbalan dengan seseorang berlogat Melayu itu-yang diyakini Balbalan sebagai bagian mafia bola-menginformasikan Indonesia akan kalah 0-4 di babak pertama dan ketambahan gol di babak kedua. Tepat: Indonesia kalah 0-5.
Belum tentu Balbalan Sakti berkata benar. Tak jelas juga seberapa banyak data yang dikantonginya. Patut diragukan juga bila tim nasional Indonesia-yang dari siaran televisi kelihatan bekerja keras-menerima suap dari Vietnam, yang harus diakui kualitasnya sekarang ini di atas tim Indonesia. Namun, demi membersihkan sepak bola Indonesia, polisi wajib meneruskan kasus ini.
Polisi juga perlu menginvestigasi pengakuan bekas pelatih Persidafon Jayapura dan Persegres Gresik, Agus Yuwono, serta Gunawan, bekas pelatih Persid Jember dan Deltras Sidoarjo. Keduanya menyatakan pernah diminta mengalah dalam kompetisi Liga Super Indonesia 2010-2015. Mereka siap blakblakan dan menjadi saksi di pengadilan.
Jangan pula dilupakan kasus Johan Ibo. April lalu, mantan pemain Arema ini diperiksa Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya karena diduga menyuap tiga pemain Borneo FC untuk membuat tim mereka kalah oleh Persebaya Surabaya dalam Liga QNB. Tapi, lantaran polisi kekurangan bukti, Johan Ibo dibebaskan. Dengan munculnya tiga orang "whistleblower" tersebut, Kementerian Pemuda dan Olahraga seyogianya melakukan koordinasi dengan kepolisian sekaligus Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Data mafia pengaturan skor para "peniup trompet" itu mesti segera diserahkan kepolisian. Rasanya tidak terlalu pelik menelusuri rekening para pemain atau nama-nama lain yang diduga terlibat oleh saksi-saksi itu.
Bila kelak semua dugaan ini terbukti di pengadilan, tanggung jawab mesti dipikul pengurus PSSI. Mereka sudah tidak punya hak moral lagi untuk memimpin sepak bola kita. Sebenarnya, kekalahan beruntun 0-5 oleh Thailand dan Vietnam di SEA Games sudah lebih dari cukup memberi isyarat: pengurus PSSI tak mampu menghasilkan prestasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo