CALAS adalah seorang Protestan. Kota Toulouse telah membunuhnya.
Ini terjadi di tahun 1761. Ini terjadi di kota ketujuh Prancis
itu, di mana orang Katolik berkuasa, dan di mana tak seorang
Protestan pun jadi advokat, atau dokter, atau pemilik rumah
obat, pedagang kelontong atau tukang cetak. Syahdan, di tahun
1748 pernah seorang wanita didenda 3000 francs. Kesalahannya: ia
memakai paraji yang beragama Protestan.
Dan Jean Calas harus menghadapi itu, serta malapetaka yang
datang beruntun. Anak perempuannya berpindah ke agama Katolik,
tapi bukan itu bencananya. Yang lebih keras terjadi ketika
seorang anak lelakinya bunuh diri.
Adalah sebuah undang-undang di Toulouse waktu itu, bahwa setiap
orang yang bunuh diri mayatnya harus dipajang bugil pada sebuah
gawang, dengan wajah tertelungkup. Tubuh beku itu lalu diarak.
Di ujung jalan, ia akan digantung pada sebuah tonggak. Ke sana
masyarakat akan mengirimkan sumpah serapahnya.
Jean Calas mencoba menghindarkan nasib yang begitu nista bagi
jenazah anaknya. Ia pun meminta kepada para sanak famili dan
kenalan, untuk sudi bersaksi bahwa si anak meninggal bukan
karena bunuh diri, melainkan karena kematian yang wajar.
Hasilnya jauh lebih buruk. Bisik-bisik Bapak Calas diterima
dengan desas-desus. Kata orang, ia telah membunuh anaknya
sendiri -- agar tak jadi masuk agama Katolik seperti saudaranya
yang perempuan.
Tanpa diperiksa lebih dulu, Calas. ditahan. Ia disiksa, mati dan
keluarganya berantakan. Sebagian jadi buruan, dan lari ke
Ferney. Di Ferney ada seorang tua berumur 70-an tahun tempat
mereka bisa mengadu. Namanya Voltaire.
Sastrawan dan pemikir besar itu sejak saat itu tak bisa tinggal
diam. Dari seluruh dirinya membludag tulisan: risalah yang
terang tajam seperti petir, penuh listrik, dan berseru: Ecrase
l'infame! Ganyanglah kekejian itu !
Motto itu dipakainya tiap kali, dan seorang penulis biografinya
berkata: sejak peristiwa Toulouse, "Voltaire menjadi seorang
yang benar-benar serius."
Mungkin karena ia memang harus menghadapi masalah yang sangat
serius: Tuhan yang diciptakan begitu baik di satu pihak dan para
penganut yang bisa berbuat begitu buruk di lain pihak.
Begitu muramnya panorama yang ia lihat dalam sejarah, hingga
pada akhirnya Voltaire bukan saja menggugat Gereja. Ia juga
meragukan agama-agama. Tapi ia bukan seorang kebatinan bukan
pula seorang atheis. Ia seorang theis, dengan definisi yang ia
berikan sendiri: "Ia menertawakan Lorette dan juga Mekah: tapi
ia menolong yang fakir dan membela yang tertindas."
Agaknya itulah sikap idealnya, sikap yang ia praktekkan sampai
ujung hidup -- sampai semuanya berakhir tanpa diberkati bapa
pastor tapi dikekalkan dengan kata-katanya sendiri: "Aku mati
memuja Tuhan, mencintai kawan-kawan, tak membenci lawan . . . "
Kita tak tahu adakah Voltaire pulang ke surga.
Jika surga dibayangkan sebagaimana oleh Konsili Florence di
tahun 1442, pasti tidak. Bagi Konsili itu, siapa saja yang
berada di luar Gereja akan "masuk ke dalam api abadi" -- sebuah
massa damnata, yang tak akan kebagian hidup kekal.
Adapun Konsili Florence dimaklumkan setengah abad sebelum orang
Eropa menemukan benua Amerika. Dunia masih sempit, spektrum
warna masih terbatas, kepastian-kepastian masih belum lekang.
Tapi sejak itu revolusi-revolusi terjadi, perubahan berkecamuk
--melintasi setengah millenium, 500 tahun yang payah dan
panjang. Lalu lahir Konsili Vatikan ke-II.
Konsili bersejarah ini pada akhirnya mengakui, bahwa bukan hanya
mereka yang dibaptis dan taat beribadat saja yang dapat
memperoleh penyelamatan. Toulouse pun telah berubah. Prancis tak
cuma menerima orang Protestan, tapi juga Yahudi -- dan Islam
agama terbesar kedua di negeri Eropa itu.
Akankah Voltaire lebih berbahagia di zaman ini? Mungkin tidak
juga. Kesempitan, ketertutupan, kecurigaan, permusuhan -- dengan
darah atau tidak -- masih tak lapuk oleh hujan atau oleh tragedi
manusia. Tapi setidaknya Amerika telah ditemukan, dan bulan
mudah dijangkau. Juga kebaikan orang lain, keindahan ajaran dan
pikiran yang semula jauh.
Meskipun kita sering kecewa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini