Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Berkat konsili vatikan ii

Setelah lahir konsili vatikan ii, diakui bukan hanya mereka yang katholik saja yang mendapat keselamatan. prancis yang dulu hanya mengakui katholik sekarang terbuka bagi penganut kepercayaan lain.

16 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CALAS adalah seorang Protestan. Kota Toulouse telah membunuhnya. Ini terjadi di tahun 1761. Ini terjadi di kota ketujuh Prancis itu, di mana orang Katolik berkuasa, dan di mana tak seorang Protestan pun jadi advokat, atau dokter, atau pemilik rumah obat, pedagang kelontong atau tukang cetak. Syahdan, di tahun 1748 pernah seorang wanita didenda 3000 francs. Kesalahannya: ia memakai paraji yang beragama Protestan. Dan Jean Calas harus menghadapi itu, serta malapetaka yang datang beruntun. Anak perempuannya berpindah ke agama Katolik, tapi bukan itu bencananya. Yang lebih keras terjadi ketika seorang anak lelakinya bunuh diri. Adalah sebuah undang-undang di Toulouse waktu itu, bahwa setiap orang yang bunuh diri mayatnya harus dipajang bugil pada sebuah gawang, dengan wajah tertelungkup. Tubuh beku itu lalu diarak. Di ujung jalan, ia akan digantung pada sebuah tonggak. Ke sana masyarakat akan mengirimkan sumpah serapahnya. Jean Calas mencoba menghindarkan nasib yang begitu nista bagi jenazah anaknya. Ia pun meminta kepada para sanak famili dan kenalan, untuk sudi bersaksi bahwa si anak meninggal bukan karena bunuh diri, melainkan karena kematian yang wajar. Hasilnya jauh lebih buruk. Bisik-bisik Bapak Calas diterima dengan desas-desus. Kata orang, ia telah membunuh anaknya sendiri -- agar tak jadi masuk agama Katolik seperti saudaranya yang perempuan. Tanpa diperiksa lebih dulu, Calas. ditahan. Ia disiksa, mati dan keluarganya berantakan. Sebagian jadi buruan, dan lari ke Ferney. Di Ferney ada seorang tua berumur 70-an tahun tempat mereka bisa mengadu. Namanya Voltaire. Sastrawan dan pemikir besar itu sejak saat itu tak bisa tinggal diam. Dari seluruh dirinya membludag tulisan: risalah yang terang tajam seperti petir, penuh listrik, dan berseru: Ecrase l'infame! Ganyanglah kekejian itu ! Motto itu dipakainya tiap kali, dan seorang penulis biografinya berkata: sejak peristiwa Toulouse, "Voltaire menjadi seorang yang benar-benar serius." Mungkin karena ia memang harus menghadapi masalah yang sangat serius: Tuhan yang diciptakan begitu baik di satu pihak dan para penganut yang bisa berbuat begitu buruk di lain pihak. Begitu muramnya panorama yang ia lihat dalam sejarah, hingga pada akhirnya Voltaire bukan saja menggugat Gereja. Ia juga meragukan agama-agama. Tapi ia bukan seorang kebatinan bukan pula seorang atheis. Ia seorang theis, dengan definisi yang ia berikan sendiri: "Ia menertawakan Lorette dan juga Mekah: tapi ia menolong yang fakir dan membela yang tertindas." Agaknya itulah sikap idealnya, sikap yang ia praktekkan sampai ujung hidup -- sampai semuanya berakhir tanpa diberkati bapa pastor tapi dikekalkan dengan kata-katanya sendiri: "Aku mati memuja Tuhan, mencintai kawan-kawan, tak membenci lawan . . . " Kita tak tahu adakah Voltaire pulang ke surga. Jika surga dibayangkan sebagaimana oleh Konsili Florence di tahun 1442, pasti tidak. Bagi Konsili itu, siapa saja yang berada di luar Gereja akan "masuk ke dalam api abadi" -- sebuah massa damnata, yang tak akan kebagian hidup kekal. Adapun Konsili Florence dimaklumkan setengah abad sebelum orang Eropa menemukan benua Amerika. Dunia masih sempit, spektrum warna masih terbatas, kepastian-kepastian masih belum lekang. Tapi sejak itu revolusi-revolusi terjadi, perubahan berkecamuk --melintasi setengah millenium, 500 tahun yang payah dan panjang. Lalu lahir Konsili Vatikan ke-II. Konsili bersejarah ini pada akhirnya mengakui, bahwa bukan hanya mereka yang dibaptis dan taat beribadat saja yang dapat memperoleh penyelamatan. Toulouse pun telah berubah. Prancis tak cuma menerima orang Protestan, tapi juga Yahudi -- dan Islam agama terbesar kedua di negeri Eropa itu. Akankah Voltaire lebih berbahagia di zaman ini? Mungkin tidak juga. Kesempitan, ketertutupan, kecurigaan, permusuhan -- dengan darah atau tidak -- masih tak lapuk oleh hujan atau oleh tragedi manusia. Tapi setidaknya Amerika telah ditemukan, dan bulan mudah dijangkau. Juga kebaikan orang lain, keindahan ajaran dan pikiran yang semula jauh. Meskipun kita sering kecewa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus