Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Rumah kecil di sebuah gang

Soal jenggawah hangat lagi. para petani penggarap tidak mau menyerahkan tanah garapan mereka kepada ptp-27. 8 orang yang dianggap penghasut ditahan. (nas)

16 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUMAH kecil di sebuah gang di Kecamatan Rambipuji, Kabupaten Jember, Jawa Timur, itu kelihatan penuh sesak. Ruang depan berlantai tanah yang ukurannya sekitar 2 x 3 meter itu kini digelari tikar dan dihuni oleh tujuh orang "tamu". "Mereka datang dari Desa Kaliwining, Jenggawah, yang mengungsi ke mari," cerita Basuki Arif, 37 tahun, pemilik rumah. Pemandangan serupa juga tampak di Masjid Rambipuji, sekitar setengah kilometer dari rumah Basuki. Tak kurang dari 25 orang "pengungsi" kini menetap di situ. Di beberapa masjid lain di sekitar Jenggawah juga dijumpai pemandangan yang sama. "Kami terpaksa mengungsi ke masjid karena tak punya famili di sini," ucap salah satu di antara "pengungsi" tadi. Basuki dikenal sebagai tempat bertanya para petani Jenggawah sejak kasus Jenggawah pada 1978/1979 hingga rumahnya pun dijadikan tujuan mereka. Pengungsian itu terjadi karena beredarnya desas-desus Bakal ada penangkapan besar-besaran pada para peuni penggarap di PTP-27. Hingga terjadilah "gerakan" meninggalkan desa itu. Apa yang sebenarnya terjadi? Kamis dinihari lalu pihak yang berwajib melakukan penangkapan di beberapa desa sekitar Jenggawah. Delapan orang kemudian ditahan. Empat di antaranya, Imam Chudori, Djuli, Mulyani dan Rusdiono, adalah mereka yang sudah dijatuhi hukuman oleh Pengadilan Negeri Jember dalam kasus Jenggawah, dan sedang menunggu putusan banding. Sumber TEMPO di Kodim Jember menjelaskan penangkapan ke-8 orang itu "untuk menegakkan wibawa pemerintah." Perintah penahanan itu datang dari Panglima Kodam VIII/Brawijaya selaku Laksusda Ja-Tim. Mereka dituduh menghasut petani untuk menyerahkan tanah garapan mereka pada PTP-27. Sudah tiga tahun ini PTP tidak bisa menggarap tanah seluas 3.200 hektar sehingga, seperti dikatakan seorang pejabat PTP-27, perusahaan itu kehilangan pemasukan sekitar Rp 4 milyar. Tanah yang terletak di desa-desa Ajung, Gayasan, Cangkring dan Kaljwining (semuanya termasuk Kecamatan Jenggawah) ini mula-mula milik perkebunan tembakau swasta Belanda NV LMOD. Sejak 1918 penduduk setempat diperbolehkan membuka hutan di tanah ini dengan perjanjian selama 5 bulan dalam 2 tahun mereka diharuskan menanam tembakau yang kemudian dibeli LMOD. Sembilanbelas bulan sisanya boleh ditanami padi atau palawija. Hak Guna Usaha (HGU) tanah ini kemudian jatuh pada PTP-27 yang pada 1977 melakukan penertiban lewat pengkaplingan kembali: petani penggarap-yang jumlahnya sekitar 6 ribu orang harus memiliki surat penunjukan PTP dengan syarat bersedia menyerahkan tanahnya kalau diperlukan untuk menanam tembakau. Namun setiap pemegang surat penunjukan itu anya boleh meng garap tanah seluas 0,3 hektar. Para petani yang semula mempunyai hak garap melebihi 0,3 hektar kemudian protes. Timbul berbagai insiden yang memuncak pada Juli 1979 (TEMPO,11 dan 18 Agustus 1979) yang berakhir dengan diajukannya beberapa petani ke pengadilan. Namun pengaplingan yang menghebohkan itu kemudian dibatalkan. Pada Juli 1979 itu juga para penggarap mengirim surat pada Mendagri memohon ditinjaunya kembali HGU PTP-27 agar bisa menjadi tanah hak milik mereka. Pada 30 Agustus 1980 Dirjen Agraria mengirim surat menolak permohonan mereka. Keputusan itu menurut Bupati Soepono telah disampaikan pada para petani lewat beberapa pertemuan, namun mereka tampak kurang berminat menghadirinya. Akhirnya awal Februari 1981 Mendagri mengirim surat langsung pada Haji Cholil dkk, yang mengatasnamakan para pemohon dengan penegasan yang sama menolak permohonan mereka. Bantuan Militer Tatkala PTP-27 merencanakan penanaman tembakau untuk musim tanam Juni mendatang, maksud itu diumumkan secara tertulis dan langsung akhir April lalu. Pihak parpol diminta pula membantu menjelaskan. "Tapi kami tak bisa memenuhi karena ada surat dari Dewan Pimpinan Wilayah PPP yang melarang kami ikut campur tangan," kata Kiai Mursyid, Ketua PPP Jember. Dalam penjelasan langsung itu, Komandan Kodim 0824 Jember Letkol Sutomo sudah mengisyaratkan akan mempergunakan bantuan militer jika upaya pengambilan tanah itu mengalami kesulitan. Kemudian dilakukan pematokan di beberapa desa seperti di Kaliwining dan Cangkring, namun patok-patok itu dicabuti para petani. Suasana mulai tegang. Patroli mulai kelihatan di sana-sini. Para petani tampaknya bersikeras menolak menyerahkan kembali tanah mereka dan tidak mau tahu keputusan Dirjen Agraria tersebut. Hingga kemudian terjadilah penangkapan pada delapan "penghasut" tersebut. Sehari setelah penangkapan itu, sekitar 100 orang -- kebanyakan wanita-mendatangi Kores Jember menuntut pembebasam rekan mereka. Mereka tidak mau neninggalkan tempat itu sebelum para tahanan dibebaskan. Namun siangnya para petugas berhasil membujuk mereka agar meninggalkan tempat itu. Sejak itulah kemudian beredar berbagai desas-desus yang menimbulkan arus "pengungsian " tadi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus