RUMAH kecil di sebuah gang di Kecamatan Rambipuji, Kabupaten
Jember, Jawa Timur, itu kelihatan penuh sesak. Ruang depan
berlantai tanah yang ukurannya sekitar 2 x 3 meter itu kini
digelari tikar dan dihuni oleh tujuh orang "tamu". "Mereka
datang dari Desa Kaliwining, Jenggawah, yang mengungsi ke mari,"
cerita Basuki Arif, 37 tahun, pemilik rumah.
Pemandangan serupa juga tampak di Masjid Rambipuji, sekitar
setengah kilometer dari rumah Basuki. Tak kurang dari 25 orang
"pengungsi" kini menetap di situ. Di beberapa masjid lain di
sekitar Jenggawah juga dijumpai pemandangan yang sama. "Kami
terpaksa mengungsi ke masjid karena tak punya famili di sini,"
ucap salah satu di antara "pengungsi" tadi. Basuki dikenal
sebagai tempat bertanya para petani Jenggawah sejak kasus
Jenggawah pada 1978/1979 hingga rumahnya pun dijadikan tujuan
mereka.
Pengungsian itu terjadi karena beredarnya desas-desus Bakal ada
penangkapan besar-besaran pada para peuni penggarap di PTP-27.
Hingga terjadilah "gerakan" meninggalkan desa itu.
Apa yang sebenarnya terjadi? Kamis dinihari lalu pihak yang
berwajib melakukan penangkapan di beberapa desa sekitar
Jenggawah. Delapan orang kemudian ditahan. Empat di antaranya,
Imam Chudori, Djuli, Mulyani dan Rusdiono, adalah mereka yang
sudah dijatuhi hukuman oleh Pengadilan Negeri Jember dalam kasus
Jenggawah, dan sedang menunggu putusan banding.
Sumber TEMPO di Kodim Jember menjelaskan penangkapan ke-8 orang
itu "untuk menegakkan wibawa pemerintah." Perintah penahanan itu
datang dari Panglima Kodam VIII/Brawijaya selaku Laksusda
Ja-Tim. Mereka dituduh menghasut petani untuk menyerahkan tanah
garapan mereka pada PTP-27.
Sudah tiga tahun ini PTP tidak bisa menggarap tanah seluas 3.200
hektar sehingga, seperti dikatakan seorang pejabat PTP-27,
perusahaan itu kehilangan pemasukan sekitar Rp 4 milyar.
Tanah yang terletak di desa-desa Ajung, Gayasan, Cangkring dan
Kaljwining (semuanya termasuk Kecamatan Jenggawah) ini mula-mula
milik perkebunan tembakau swasta Belanda NV LMOD. Sejak 1918
penduduk setempat diperbolehkan membuka hutan di tanah ini
dengan perjanjian selama 5 bulan dalam 2 tahun mereka diharuskan
menanam tembakau yang kemudian dibeli LMOD. Sembilanbelas bulan
sisanya boleh ditanami padi atau palawija.
Hak Guna Usaha (HGU) tanah ini kemudian jatuh pada PTP-27 yang
pada 1977 melakukan penertiban lewat pengkaplingan kembali:
petani penggarap-yang jumlahnya sekitar 6 ribu orang harus
memiliki surat penunjukan PTP dengan syarat bersedia menyerahkan
tanahnya kalau diperlukan untuk menanam tembakau. Namun setiap
pemegang surat penunjukan itu anya boleh meng garap tanah
seluas 0,3 hektar.
Para petani yang semula mempunyai hak garap melebihi 0,3 hektar
kemudian protes. Timbul berbagai insiden yang memuncak pada Juli
1979 (TEMPO,11 dan 18 Agustus 1979) yang berakhir dengan
diajukannya beberapa petani ke pengadilan.
Namun pengaplingan yang menghebohkan itu kemudian dibatalkan.
Pada Juli 1979 itu juga para penggarap mengirim surat pada
Mendagri memohon ditinjaunya kembali HGU PTP-27 agar bisa
menjadi tanah hak milik mereka.
Pada 30 Agustus 1980 Dirjen Agraria mengirim surat menolak
permohonan mereka. Keputusan itu menurut Bupati Soepono telah
disampaikan pada para petani lewat beberapa pertemuan, namun
mereka tampak kurang berminat menghadirinya. Akhirnya awal
Februari 1981 Mendagri mengirim surat langsung pada Haji Cholil
dkk, yang mengatasnamakan para pemohon dengan penegasan yang
sama menolak permohonan mereka.
Bantuan Militer
Tatkala PTP-27 merencanakan penanaman tembakau untuk musim tanam
Juni mendatang, maksud itu diumumkan secara tertulis dan
langsung akhir April lalu. Pihak parpol diminta pula membantu
menjelaskan. "Tapi kami tak bisa memenuhi karena ada surat dari
Dewan Pimpinan Wilayah PPP yang melarang kami ikut campur
tangan," kata Kiai Mursyid, Ketua PPP Jember.
Dalam penjelasan langsung itu, Komandan Kodim 0824 Jember Letkol
Sutomo sudah mengisyaratkan akan mempergunakan bantuan militer
jika upaya pengambilan tanah itu mengalami kesulitan.
Kemudian dilakukan pematokan di beberapa desa seperti di
Kaliwining dan Cangkring, namun patok-patok itu dicabuti para
petani. Suasana mulai tegang. Patroli mulai kelihatan di
sana-sini.
Para petani tampaknya bersikeras menolak menyerahkan kembali
tanah mereka dan tidak mau tahu keputusan Dirjen Agraria
tersebut. Hingga kemudian terjadilah penangkapan pada delapan
"penghasut" tersebut.
Sehari setelah penangkapan itu, sekitar 100 orang -- kebanyakan
wanita-mendatangi Kores Jember menuntut pembebasam rekan mereka.
Mereka tidak mau neninggalkan tempat itu sebelum para tahanan
dibebaskan. Namun siangnya para petugas berhasil membujuk mereka
agar meninggalkan tempat itu. Sejak itulah kemudian beredar
berbagai desas-desus yang menimbulkan arus "pengungsian " tadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini