MENGGARAP kroni mengepung Cendana. Barangkali inilah pelesetan strategi Mao Zedong yang sedang digemari Marzuki Darusman. Setidaknya begitulah kesan yang muncul setiap kali Jaksa Agung Republik Indonesia ini ditanya apa yang akan dilakukannya terhadap Mohamad (Bob) Hasan. Penangkapan pengusaha kalangan Cendana itu, menurut bekas Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ini, akan melempengkan jalan hukum untuk membawa Soeharto ke meja hijau.
Strategi ini sebenarnya bukan ide orisinal. Banyak pihak, termasuk majalah ini, rajin mengusulkan agar para kroni di era Orde Baru diprioritaskan untuk dijaring hukum bila upaya membawa Soeharto ke pengadilan memang hendak dilakukan. Karena itu, acungan jempol kepada Jaksa Agung diberikan atas implementasi strategi ini dan bukan ide cerdas di belakangnya.
Implementasi pun, agaknya, tak mungkin dilakukan tanpa kerja keras seorang Suripto bersama tim investigasinya. Adalah Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan ini yang berhasil mengumpulkan bukti-bukti pelanggaran hukum Bob Hasan hingga pihak kejaksaan punya alasan kuat untuk menggiring sang "raja hutan" ke ruang tahanan. Terlepas dari perdebatan apa motif di belakang Suripto, jerih upayanya terasa menyegarkan dalam memenuhi dahaga masyarakat pada upaya keadilan. Seperti kata pujangga kenamaan Shakespeare, "All's well that ends well" ("apa yang berakhir baik berarti baik").
Sayangnya, akhir baik yang sebenarnya masih jauh dari gapaian. Sebab, dari pandangan yang lebih luas, penahanan Bob Hasan baru merupakan langkah awal yang baik dan hasil akhirnya masih belum kelihatan. Masih ditunggu—dengan harap-harap cemas—sejauh mana Marzuki Darusman dan jajaran kejaksaan akan mampu memanfaatkan peluang tersandungnya Bob Hasan ke dalam perangkap hukum ini untuk menerobos benteng "kekebalan" yang memagari Cendana. Maklum, sudah menjadi rahasia umum bahwa kejaksaan dipenuhi oleh tikus-tikus yang selalu dapat dimanfaatkan oleh mereka yang berkantong tebal seperti para kroni Orde Baru. Ibarat petugas kebersihan, Marzuki Darusman dilengkapi dengan sapu yang kotor. Lantas, bagaimana berharap ia mampu membersihkan republik ini dari kotoran korupsi dan kolusi?
Syukur alhamdulillah, sejarah memberi kita bahan untuk tetap optimistis. Sekotor-kotornya aparat hukum di Chicago pada saat Al Capone berkuasa, masih ada seorang Elliot Ness dengan regu the untouchable-nya. Sehebat-hebatnya upaya jaringan mafia Al Capone menghilangkan bukti hukum untuk menjerat sang bos besar, ternyata ada saja peluang yang dapat dimanfaatkan. Ness berhasil membawa Al Capone ke penjara bukan karena mampu membuktikan pembunuhan, penganiayaan, perampokan, dan pemerasan yang dilakukan kepala penjahat itu, melainkan karena mendapatkan bukti pelanggaran pembayaran pajaknya. Maka, kalau banyak jalan ke Roma, mengapa tak banyak jalan ke Cendana?
Jalan Bob Hasan kini sudah dirintis. Tentu tak boleh lantas berhenti. Justru diharapkan akan semakin banyak jalan lain yang terkuak. Untungnya, isyarat ke arah ini sudah terlihat samar-samar. Namun, hambatan, boleh jadi, malah akan datang dari kutub yang tidak diperkirakan. Itulah semangat Presiden Abdurrahman Wahid yang begitu menggebu-gebu untuk memberi maaf kepada banyak orang, utamanya kepada Soeharto.
Memaafkan, dari pandangan agama apa pun, sebenarnya adalah sebuah kegiatan yang mulia. Hanya, dalam konteks keadaan bangsa Indonesia saat ini, ada prasyarat yang seharusnya dipenuhi dulu sebelum soal maaf-memaafkan diperdebatkan. Di antaranya pengakuan telah melakukan kesalahan dari mereka yang akan dimaafkan itu dan janji tulus tak akan mengulanginya kembali di masa depan. Pasalnya, bukan mustahil, mereka yang sekarang menjadi incaran hukum itu tidak merasa bersalah. Karena itu, pemberian maaf kepada mereka tidak akan ditanggapi dengan rasa terima kasih, tapi dianggap sebagai pelecehan yang harus dilawan.
Masalahnya, harus diakui, banyak perkara korupsi, kolusi, dan nepotisme terjadi pada kegiatan yang sebenarnya bertujuan mulia. Ambil contoh tujuan yang disebut dalam proyek mobil nasional, perlindungan petani cengkeh melalui Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC), atau pemetaan hutan nasional. Boleh dikata, tak ada secuil pun noktah negatif dalam tujuan kebijakan pemerintah itu. Celakanya, begitu memasuki wilayah pelaksanaan—terutama mengenai siapa yang mendapatkan proyek, berapa nilainya, dan bagaimana proses tender dilakukan—segala tujuan mulia itu seperti disulap menjadi kebejatan yang tiada tara.
Begitulah, pada akhirnya, beban yang jatuh di pundak kita semua. Bagaimana membuka kulit tujuan mulia yang membungkus berbagai bisul penyelewengan di masa lalu agar semua nanah campuran penyalahgunaan kekuasaan masa lalu dapat dikeluarkan hingga tubuh bangsa ini kembali sehat. Kita juga harus menyiapkan orang ramai agar tidak tersesat oleh upaya para kroni untuk berlindung di balik tujuan baik proyek dengan mengampanyekan pendapat bahwa tujuan itu yang sekarang diserang.
Tapi tujuan baik pun tidak menghalalkan semua cara untuk mencapainya. Sebab, reformasi pada hakikatnya adalah upaya kembali ke jalur demokrasi. Dan intisari demokrasi adalah keyakinan bahwa hanya proses yang baik akan menjamin hasil yang baik pula.
Memang banyak jalan ke Cendana, tapi akhirnya kita tetap harus memilih hanya yang sesuai dengan hukum. Bukan hal mudah, bahkan mungkin terasa bertele-tele dan menjengkel-kan, tapi tetap saja harus dilakukan. Sabarlah. Bob dahulu, Soeharto kemudian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini